Dari Tuban armada kapal berlayar menuju Gresik. Sesampai di Gresik kapal-kapal berlabuh. Saat itulah A Liong mendatangi mereka, menceritakan kalau dirinya jadi budak di dapur. "Mengintip matahari saja susah, aku memasak terus dan menumbuk cabai. Kalau tidak percaya lihat mataku jadi merah karenanya. Kali ini aku mengemis-ngemis agar diizinkan keluar sejenak. Bisa saja aku melarikan diri, tapi aku ingat nasib kalian dan Nimas."
"Pantas kamu seperti jelaga," kata Paman Bayu. "Tapi apa kamu sudah mendapat kabar tentang keberadaan Nimas?"
"Bagaimana, Paman?" tanya Pring tidak sabar.
Hanya sedikit, tapi mungkin ini petunjuk baik. Katanya, ada beberapa kapal yang dihukum karena melanggar disiplin, termasuk mereka yang telah berbuat kriminal. Hukum laut, hukuman mati. Tapi kudengar ada beberapa kapal yang menghilang, entah ke mana. Kalaupun Nimas dulu bersama kapal itu, kemungkinan besar dia berada di kapal Bauchuan, karena banyak keluarga istana yang berada di kapal Laksamana Cheng Ho. Nalarnya, di kapal itu banyak diperlukan dayang-dayang. Siapa tahu Nimas ada di sana."
"Tapi, bagaimana caranya agar kita bisa ke kapal Cheng Ho? Bukan pekerjaan mudah untuk ke sana. Pengawalannya pasti sangat ketat. Belum tentu Panglima Hong Bao bisa membantu kita," kata Paman Bayu.
A Liong termenung, demikian pula Pring. "Menurutku, keberadaan Nimas di kapal lain kemungkinannya lebih kecil. Karena kebanyakan kapal itu kapal-kapal prajurit. Sebagai anak kecil Nimas tidak bisa membantu apa-apa, bisa saja dikerjakan di dapur, tapi kemungkinan itu kecil," kata A Liong. "Aku tidak punya waktu banyak, kalau aku tidak segera kembali ke kapalku pasti kalian juga mendapat kesulitan. Kita bertiga telah dicatat sebagai orang asing yang bersaudara."
"Baiklah, segera kembali ke kapalmu tapi cari keterangan sebanyak mungkin," kata Paman Bayu. "Kalau memungkinkan, saat pendaratan berikutnya kita bertemu lagi. Cari cara agar kamu bisa memberi kabar."
"Baiklah. Kalian lebih beruntung, lihat saja Pring lebih gemuk," kata A Liong tertawa dan menghilang di balik kerumunan. Sepekan armada itu berada di Gresik. Setelah itu armada kapal berlayar lagi menuju Surabaya. Paman Bayu mendapat keterangan bahwa di kapal makanan ada seorang gadis kecil yang menjadi anak angkat juru mudinya. Tapi, harus diyakinkan apakah itu Nimas atau bukan. Pring sudah tidak sabar, ingin segera terbang memastikannya.
Pring menuju ruang juru mudi dan bertanya, "Apakah kapal ini nanti akan merapat ke kapal bahan makanan?" Tentu saja juru mudi Tiongkok itu bingung karena tak tahu bahasa Melayu. Tapi setelah Pring menerangkan dengan merapatkan tangannya dan menunjuk kapal makanan, juru mudi itu tahu dan menggelangkan kepala. Pring kecewa. Ketika ada kesempatan bertemu Panglima Hong Bao, Pring bertanya, "Apakah kapal ini bisa merapat ke kapal makanan, Tuan?"
"Tidak, kapal-kapal sudah punya jalul sendili. Kita tidak sembalangan melapat. Karena jalulnya sudah di atul," jawab Panglima Hong Bao. Pring semakin sedih. Kenapa dirinya dulu tak berlatih renang dengan baik, agar bisa berenang menunju kapal makanan itu. Pring mendapat kesempatan ketika ketika Abu dan beberapa juru masak turun dengan perahu hendak menuju kapal makanan. "Paman Abu, tolong tanyakan apakah anak angkat juru mudi kapal makanan itu bernama Nimas?" kata Pring memohon.
"Pasti akan kucari untukmu, berdoalah mudah-mudahan itu adikmu," kata Abu. Pring lalu tak sabar menunggu perahu itu pulang dari kapal makanan, sangat gelisah. Sampai akhirnya Abu kembali dan mengabarkan bahwa gadis kecil itu berasal dari palembang dan bernama Sayu. Pring sempat berpikir buruk tentang nasib adiknya. Tapi dia sangat yakin kalau Nimas masih hidup. Pring menangis di ruang bahan makanan mentah, di tumpukan sayur dan beras.
"Sudahlah, kita berdoa agar Nimas baik-baik saja," hibur Paman Bayu.
"Percayalah akan ketentuan langit," kata Sim Po. "Bila adikmu diizinkan bertemu kamu lagi maka waktunya akan tiba." Beberapa kali Pring melihat sesuatu yang mengerikan di kapal itu, yaitu ketika ada prajurit yang dihukum cambuk karena melanggar disiplin. Setiap kali lecutan itu mengenai tubuh si terhukum Pring terjingkat layaknya tubuhnya yang tercambuk. Setelah dicambuk terhukum disekap di ruang tahanan. Tergantung berapa besar awak kapal itu melakukan kesalahan.
Berkali-kali Pring dilatih bermain senjata lempar oleh Sim Po, mulai dari pisau sampai senjata-senjata kecil seperti jarum, juga dengan biji-biji kacang. "Senjata rahasia sangat banyak. Bukan hanya pisau-pisau kecil atau jarum, bisa juga serpihan besi atau kancing baju," kata Sim Po.
Abu lebih sering asyik di pojok dapur dengan kegiatannya. Hanya sesekali saja dia mendekat dan mengajak bercakap Paman Bayu. Pring kadang tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Suatu malam, ketika Pring tidak bisa tidur maka dia keluar dari dapur dan naik ke geladak. Ketika baru saja duduk dia mendengar suara mencurigaikan dari lambung kiri kapal. Pring melongok melihat ke bawah. Samar dia melihat seseorang turun dari kapal dan terus berenang. Beberapa penjaga tidak menyadari itu. Pring segera memanggil mereka, tapi karena perbedaan bahasa maka cukup lama dia menerangkannya. Penjaga melihat ke arah yang ditunjuknya tapi sudah tidak apa-apa lagi kecuali air yang bergolak diterjang laju kapal.
Paginya dengan berbisik Pring menceritakan hal itu kepada Paman Bayu. Dia juga bercerita kepada Sim Po, sampai mata Sim Po bulat lebar karena heran. "Betulkah bisiknya?" setelah itu Sim Po tergesa-gesa pergi meninggalkan dapur. Getahnya, Pring dimarahi pamannya karena cerita itu bisa membahayakan jiwa mereka. Beberapa saat kemudian ada perintah agar mereka berkumpul di geladak. Panglima Hong Bao menyuruh anak buahnya menghitung jumlah orang yang ada di kapal. Utuh, termasuk orang yang ada di ruang tahanan. "Pring, kamu jangan suka mengarang cerita," bisik Sim Po sambil menekan lengan Pring keras-keras. Pring diam menahan sakit, uh, kenapa Sim Po kasar padanya?
Malam berikutnya terjadi kegemparan. Prajurit yang sedang bergiliran jaga dua-duanya ditemukan tewas dengan panah besi. "Posisi lukanya menunjukkan kalau mereka dibidik dari bawah. Pasti dari dalam air," kata Sim Po. "Panah bolt berhasil menembus baju besinya." Setelah dilakukan pencatatan seperlunya maka yang mati dibuang ke laut, tapi sebelumnya diadakan upacara penghormatan yang dipimpin Panglima Hong Bao.
"Mengapa bisa terjadi? Bukankah kapal dalam keadaan melaju cukup kencang?" bisik Paman Bayu kepada Abu.
"Sudah kukatakan, di kapal ini banyak harta. Upeti dari orang Tiongkok perantauan. Mungkin ada komplotan dalam yang akan merampok kapalnya sendiri. Bidikan dari air pastilah pelakunya sangat mahir, pasti dilakukan orang-orang terlatih di lautan," bisik Abu. "Bila Panglima Hong Bao tidak terlibat dalam komplotan itu maka jiwanya terancam, dia bisa terbunuh. Tampaknya ada kasak-kusuk di antara anak buahnya, termasuk Sim Po." Paman Bayu meminta Pring untuk lebih berhati-hati, juga dalam berbicara.
Kematian demi kematian menyergap prajurit kapal Panglima Hong Bao. Tapi panglima itu belum meminta tambahan prajurit. "Tapi memperhatikan kejadian-kejadian yang beruntun, aku yakin ini dilakukan oleh orang-orang terlatih," kata Panglima Hong kepada seorang penghubung dengan kapal induk. Panglima Hong Bao menyuruh prajuritnya lebih waspada, diam-diam dia menyuruh anak buahnya mengawasi Abu dan Paman Bayu. Tapi malam berikutnya kecurigaian itu terbantahkan, karena ada kematian prajurit jaga lagi. Anak panah bolt menembus punggungnya tepat di jantung. Hanya saja ada yang melihat kejadian itu tapi keburu si penyerang melompat ke air dan menghilang. Panglima Hong Bao gusar, karena belum bisa memecahkan teka-teki pembunuhan prajurit-prajuritnya.