Chereads / SKATER MAUT / Chapter 13 - Berakhirnya Persekutuan Jahat

Chapter 13 - Berakhirnya Persekutuan Jahat

Sim Po makin jarang terlihat di dapur, mungkin sibuk urusan lain. Urusan dapur dia menyuruh orang untuk menyampaikan perintah-perintahnya. Mungkin benar perkiraan Abu, kalau Sim Po terlibat dalam persekutuan jahat. Sim Po sering dipergoki Pring sering melakukan pertemuan-pertemuan rahasia. Tapi, Pring bersyukur juga ketemu Sim Po, dia sudah agak mahir bermain senjata rahasia. Iring-iringan kapal sudah mendekati Surabaya dan siap berlabuh. Anehnya, ketika kapal lain melipat layar dan menggunakan dayung, kapal Panglima Hong Bao malah memasang layar penuh. Pring yang sedang berada di atas geladak melihat keanehan kapal mereka, sehingga dia bergegas turun menemui pamannya dan Tengku Abu Salam. "Kapal kita tidak merapat ke darat seperti yang lain!" seru Pring.

Saat itu juga ada benda putih meluncur ke arah Pring diiringi tawa Sim Po, tapi sebelum sampai kepada Pring, Tengku Abu salam melempar pisau dapur yang baru dipakainya mengiris daging kambing. Senjata rahasia itu patah sebelum sampai ke tubuh Pring. Sementara pisau Abu tetap melesat dan menancap dinding kapal. Sim Po terkejut dengan serangannya yang gagal, tapi dia tertawa sinis dan suara tawanya bukan banci lagi. Jadi selama ini dia menyamar. "Sudah kuduga sejak awal, kalian bukanlah orang-orang sembarangan sehingga berani masuk ke kapal ini."

Berkata demikian Sim Po lalu berkelebat layaknya terbang menerjang Abu, beberapa senjata rahasianya meluncur membabi buta. Ada beberapa yang menuju Paman Bayu dan ditangkis dengan tongkatnya. Pisau-pisau kecil menancap di kayu tongkat. "Berlindung Pring!" teriak Paman Bayu. Pring segera tiarap lalu beringsut menghindari hujan senjata rahasia Sim Po. Pring pun meraih sebuah wajan besar yang tergantung di dinding dapur lalu menutupi tubuhnya layaknya seekor kura-kura. Tapi, matanya mengintip melihat pertempuran antara Sim Po melawan Abu dan Paman Bayu. Silat tiongkok bertemu dengan silat Aceh dan Jawa. Sim Po sangat garang, tidak lemah gemulai lagi.

"Minggirlah!" teriak Abu kepada Paman Bayu. Abu pun kini sendirian melawan Sim Po. Kelebat Sim Po yang cepat dilawan dengan gerak cepat Abu. Beberapa kali Abu terkena tendangan kaki Sim Po dan beberapa kali pukulan telak sehingga harus terdorong surut ke belakang. Perkelahian mereka sangat seru di dapur kapal yang sempit. Dengan ketrampilan silat mereka yang tinggi maka perkelahian itu semakin seru. Merasa terdesak, Abu pun mencari kesempatan menuju tangga dan melompat menuju geladak. Sim Po yang tidak mau kehilangan mangsa segera memburunya. Senjata rahasianya beberapa kali menancap di tangga kapal. Paman Bayu berlari menyusul. Pring ikut menyusul tanpa melepas wajan. Sampai di geladak, Pring tiarap dengan wajan menutupi badannya sambil mengintip. Di tempat lapang tampaknya Abu lebih leluasa dan tenang melayani gerak Sim Po. Kini Sim Po yang terdesak, berkali-kali tinju Abu bersarang di badannya sehingga menyebabkan sesak napas dan batuk.

Berkelebat bayangan lain dari atas tiang layar dengan berayun tali, dengan panah bolt membidik Abu. Tapi sebelum tembakannya dilepaskan keburu Paman Bayu melompat ke tiang layar terdekat dan berayun di tali menyusul orang itu. Paman Bayu menendang orang itu yang langsung terjengkang jatuh. Tapi, dia bukan sembarangan orang karena bisa salto dengan mulus dan melayani terjangan-terjangan Paman Bayu. Pring jadi mengkhawatirkan pamannya yang tampak kesulitan melawan orang itu. Sebagai mantan pelaut yang mengenal kerasnya samudera telah menempa pamannya sebagai petualang sekaligus pendekar laut. Mereka bertarung di antara tiang layar dengan saling berayun di tali. Dilihatnya orang itu membawa sebilah belati pendek melengkung, sementara pamannya memakai tongkatnya. Sesaat mata Pring terpana ketika melihat ujung tongkat pamannya berkilat, ternyata sudah menjadi tombak! Kapan pisau itu dipasang?

Tak-tak-tak! Senjata rahasia Sim Po masih sempat singgah di wajannya. Kura-kura besi itu merunduk lalu mengintip lagi. Matanya lebih tertuju kepada pamannya. Siapakah lawan pamannya itu? Beberapa prajurit datang dan membantu Sim Po, Abu dikeroyok beramai-ramai, tapi Sim Po yang paling berbahaya sehingga beberapa senjata rahasianya mengenai badan Abu. Anehnya Abu tetap tegar. Prajurit lain berusaha mengeroyok Paman Bayu, tapi mereka dengan susah payah naik ke tiang layar.

Bagaimana ini, pikir Pring. Di saat mereka tak begitu memperhatikan Pring, dia pun dengan wajannya merayap turun menuju gudang. "Aku harus memberi tahu kapal lain. Tapi di mana panglima Hong Bao?" Pring bergegas menuju ruang panglima. Ternyata dia dijaga oleh beberapa puluh prajurit dengan pedang terhunus, termasuk Hoe Ho yang sedang membentak-bentak Panglima Hong Bao. Pring segera berkelit agar tidak terlihat. Pring semakin bingung, saat itulah matanya tertumbuk kepada satu benda berbentuk kerucut dengan sumbu di bawahnya. "Oh, itu kiranya panah api itu," bisik Pring lalu mengambilnya. Dia ambilnya kayu yang masih ada bara di ujungnya. Dibawanya benda itu di jendela kapal, benda kerucut itu diarahkannya ke darat, tempat kapal-kapal lain siap berlabuh. Di sulutnya sumbu, setelah itu terdengar suara desis dan benda itu segera terbang dengan mengeluarkan ekor api berwarna merah.

Pring melihat seseorang menuju dirinya dengan pedang terhunus, Pring meraih biji jagung yang tidak jauh dari tempatnya berdiri lalu melontarkannya ke arah orang itu. Jagung pertama masuk ke lubang hidung orang itu yang langsung mendengus bersin, biji kedua masuk ke lubang satunya. Selanjutnya yang ketiga dan keempat membuat orang itu belingsatan karena bidikan Pring mengenai kedua matanya. Pring berlari dan berlindung. Dia mengintip keluar lewat celah jendela kapal, roketnya berhasil meraih perhatian kapal-kapal lain sehingga mengerahkan perahu-perahu cepat dengan banyak prajurit.

Pring kembali ke atas, tapi sebelumnya mengambil wajannya dulu. Perkelahian masih berlangsung. Dia semakin cemas ketika pamannya semakin berada di ketinggian tiang layar dan bertempur. Sementara prajurit yang mencoba ikut mengeroyok pamannya terjatuh di geladak dengan kaki-kaki yang patah. Abu tekah menghunus rencong yang menyala kebiruan, beberapa kali senjata rahasia Sim Po ditangkis dengan senjatanya. Beberapa prajurit yang ikut mengroyok Abu tak bisa mendekat karena Abu sangat garang seperti banteng terluka. Meskipun rencong senjata pendek, tapi prajurit bertombak yang mengeroyoknya tak dibuat berkutik. Gagang tombak mereka kutung tersabet rencong.

Suatu saat Sim Po meloncat menjauh dan ancang-ancang melontarkan senjata rahasianya. Pring segera bertindak, beberapa biji jagung segera disentil kencang ke arahnya. Beberapa biji jagung jatuh di sambit tangan Sim Po, tapi ada yang sempat melesak masuk mulutnya sehingga tersedak. Kesempatan baik itu digunakan Abu untuk menghajar dadanya dengan tendangan, Sim Po terpental ke belakang dan membentur tiang layar. Mulut Sim Po berdarah tapi tiba-tiba dari mulutnya menyembur benda-benda menuju Abu. Abu sengaja menerima benda-benda itu dengan tangan kirinya. "Gigi-gigi busuk! Kiranya hanya kamu yang bisa memainkan senjata rahasia!" seru Abu. Lalu sekali sentak tangan kiri Abu mengembalikan senjata rahasia Sim Po. Gigi-gigi Sim Po menembus dada Sim Po. Koki kapal itu terjengkang dan tewas.

Sebuah anak panah menuju Pring, tapi kura-kura besi itu telah siap. Thing! Tidak mempan, dilihatnya prajurit yang memanahnya terjungkal kerena tusukan rencong Abu. "Berlindung Pring, kalau perlu terjun ke laut!" teriak Abu. Panglima Aceh itu segera melompat ke atas tiang layar sambil berteriak, "Aku lawanmu kalajengking edan!" Dilihatnya Paman Bayu susah payah melawan musuhnya, ya, kakinya yang cacat sangat mempengaruhinya. Pring berdoa agar pamamnya tidak terluka.

"Biar aku saja yang melawannya!" seru Paman Bayu.

Abu sudah semakin mendekati perkelahian dua orang itu. "Lindungi Pring! Biarkan setan laut ini kubereskan!" Mengkhawatirkan keselamatan Pring, pamannya tak berdebat. Segera berayun turun dengan tali. Sementara Sindunoto atau Kalajengking Maut yang hendak menyerang Paman Bayu pun dihadang Abu. Perkelahian di atas tiang layar semakin seru.

"Bagaimana Panglima Hong Bao?" tanya Paman Bayu.

"Disekap Hoe Ho bersama prajuritnya!" jawab Pring.

Pring dan Paman Bayu segera turun lalu menuju ruang Panglima Hong Bao. Saat mereka melewati ruang Sim Po mereka mendengar pintu yang digedor-gedor dari dalam. Ternyata prajurit Tiongkok yang disekap, pasti bukan pemberontak. Tapi Paman Bayu hati-hati lalu bicara dulu dengan bahasa mereka. Setelah pasti itu prajurit setia maka pamannya ambil kuda-kuda lalu mendobrak sehingga pintu itu berderak pecah. Prajurit-prajurit itu serentak keluar dan mengambil senjata seadanya, pisau dapur, palu, atau lainnya dan segera menuju ruang Panglima Hong Bao. Tapi begitu sampai mereka tertegun karena Hong Hoe menempelkan ujung pedangnya di leher Panglima Hong Bao. Prajurit yang setia pada panglimanya mundur dan meletakkan senjata. Saat anak buahnya meletakkan senjata itulah Panglima Hong Bao secepat kilat menendang lutut Hoe Ho sampai terpental tanpa sempat pedangnya menyentuh kulit lehernya. Prajurit yang meletakkan senjata kembali mengambil senjata dan menyerbu.

Ketika Hoe Ho berdiri dan menyerang Panglima Hong Bao, Paman Bayu menghadangnya dengan tongkat belatinya. Hoe Hoe segera menerjang dengan mata gelap, tapi pedangnya segera membentur belati Paman Bayu lalu mereka bertempur sengit.

Prajurit pemberontak berhadap-hadapan dengan prajurit yang setia dengan Panglima Hong Bao. Hoe Ho cukup perkasa melawan Paman Bayu. Tapi Paman Bayu yang menantu orang Tiongkok bisa meladeninya dengan baik, mungkin pernah dilatih beladiri oleh mertuanya. Saat Paman Bayu terjajar di dinding kapal, Hoe Ho dengan tertawa lebar melangkah mendekat hendak membelah badan Paman Bayu yang sudah tak ada celah untuk menghindar. Begitu pedang besar itu diayunkan Pring berteriak dan menutupi matanya. Begitu dia membuka mata ternyata Hoe Ho hanya membelah ruang kosong, karena pamannya sudah lebih dulu bergeser dan merunduk. Dinding ruang Panglima pecah. Pada saat yang sama tongkat Paman Bayu mendarat di perut Hoe Ho. Pring memalingkan muka.

Anak buah Hoe Ho tahu pimpinannya tewas lalu berlari ke arah geladak dan dikejar beramai-ramai, termasuk Pring. Yang dikejar terjun ke air sambil mengambil tabung bambu untuk ambil napas di air. Tapi, up, tabung bambu mereka tersumbat dan mereka pun gelagepan. Tapi di bagian gudang bahan makanan ada yang berteriak-teriak. Pring turun lagi, ada prajurit pemberontak yang mengambil labu dan memegang obor hendak meledakkan kapal. Paman Bayu berteriak dengan bahasa Tiongkok. Orang itu menarik sumbu dari labu tapi tidak menyala karena mesiunya basah kuyup. Tahu gagal orang itu melompat jendela gudang makanan lalu lari dan terjun ke laut, tapi nasibnya sama dengan teman-temannya. Tabung bambunya tidak bisa digunakan sehingga gelagepan.

"Tangkap para pengkhianat itu!" seru Panglima Hong Bao murka. Pring tak peduli dengan perintah Hong Bao, dia berlari lagi ke atas. Abu masih berkelahi dengan Sindunoto di atas ketinggian tiang layar. Kapal-kapal komando lain mulai merapat ke kapal mereka. Bahkan puluhan prajurit dari kapal lain sudah ada yang melompat dengan tali ke kapal Panglima Hong Bao dengan posisi siap tempur. Tapi mereka hanya melihat pertunjukan di atas tiang layar.

"Abu! Betulkah itu? Tak kusangka, dia mahil sekali bertempul," kata Panglima Hong Bao.

"Betul, Panglima. Tapi dia ternyata bukan tukang masak," jawab Paman Bayu.

"Ha-ha, saya sudah tahu. Dia itu salah satu panglima Kelajaan Aceh. Memang Sultan Aceh minta izin kepada Laksamana Cheng Ho untuk menitipkan salah satu panglimanya untuk mencali buron kelajaan. Bulhubung kamu sudah tahu maka saya buka saja lahasia ini."

Mungkin karena kesulitan melawan Abu, Sindunoto pilih terjun dari ketinggian menuju laut. Tapi Abu menyusulnya layaknya camar menyambar ikan. Mereka berdua hilang di balik air. Tidak lama kemudian air laut merah, dan muncul Abu dengan menarik tubuh Kalajengking Maut yang tewas.

Prajurit segera memeriksa ruang Sim Po dan Hoe Ho. Ternyata dinding kapal di ruang mereka ada lubang-lubang rahasia untuk melakukan pertemuan. Selain itu, ada lubang rahasia untuk keluar dan masuk ke kapal. Jadi pembunuhan demi pembunuhan itu dilakukan oleh orang-orang Hoe Ho. Jadi, Kalajengking Maut sengaja dipelihara Hoe Ho dan Sim Po untuk merampok kapal. Alasan yang masuk akal adalah karena mereka mengincar harta di kapal itu. Hukum laut menjatuhkan hukuman mati bagi orang-orang yang melakukan makar di kapal. Pemberontak di bawa oleh perahu-perahu prajurit ke tengah laut, dan dieksekusi.

Pring sempat bertanya kepada Abu tentang senjata-senjata rahasia Sim Po yang tidak mempan di badannya, Abu tertawa dan membuka bajunya, ternyata dia melapisi tubuhnya dengan kain berlapis-lapis. Dan ada kepingan-kepingan logam. "Aku ikut-ikutan membuat baju besi meskipun belum sempurna," bisik Abu sambil tertawa.

Perkembangan lain terjadi, gara-gara pembrontakan di kapal Panglima Hong Bao armada kapal itu menemukan pulau kecil. Di pulau itu ternyata teman-teman pemberontak sudah menunggu. Jadi, saat Pring menembakkan roket teman pemberontak yang berada dipulau kecil itu membalas dengan tembakan roket pula. Sehingga ketahuan, lalu kapal-kapal penempur dikerahkan ke pulau kecil itu, terjadi perlawanan tetapi para pemberontak dan awak bajak laut anak buah Sindunoto bisa dilenyapkan. Di kapal-kapal pemberontak itu ditemukan harta yang sangat banyak. Kabar itu dibawa oleh A Liong, yang sudah tidak jadi budak dapur, tapi sudah menjadi juru layar. Hanya saja A Liong belum mendapatkan kabar Nimas. Pring sangat kecewa dan sedih.

Karena jasanya maka Abu, Paman Bayu, A Liong, dan Pring mendapat undangan dari Laksamana Cheng Ho. Bersama Panglima Hong Bao mereka mendatangi tenda Cheng Ho di pelabuhan Surabaya. "Assalamuaikum, Laksamana Cheng Ho," salam Tengku Abu Salam.

"Waalaikumsalam," balas Laksaman Cheng Ho. "Aku sudah mendapat cerita tentang kalian. Aku sebagai pimpinan tertinggi armada ini mengucapkan banyak terima kasih. Apakah kalian menginginkan hadiah? Silakan, utarakan saja tidak usah malu-malu."

"Tidak yang mulia, kami senang negeri kami menjalin persahabatan dengan negeri Tiongkok. Kalaupun ada sesuatu dan kami terlibat itu hanyalah takdir semata," kata Paman Bayu. Laksamana Cheng Ho tertawa lebar. Pring memperhatikannya baik-baik, kok tidak layaknya seorang banci, katanya dia seorang kasim? Pring ingat Sim Po.

"O ya, katanya ada yang mencari sanak saudaranya. Siapa tahu yang ditemukan bersama gerombolan pembrontak di pulau karang itu yang kalian cari," kata Laksamana Cheng Ho. "Pangliam Zhou Wen, tolong bawa anak-anak dari pulau itu ke sini."

Panglima Zho Wen memberi hormat, lalu mundur ke belakang dan memberi kode. Tidak berapa lama kemudian beberapa pengawal datang dengan mengiringkan beberapa anak kecil. Pring tidak sabar melihatnya. Saat dirinya melihat Nimas, Pring segera berlari menghambur kepada adiknya. "Nimas!" Yang diteriaki tercenung sebentar, mungkin bingung atau ketakutan selama di sarang pemberontak. Tapi begitu melihat kakaknya, anak perempuan itupun berlari menyongsongnya. Kakak beradik itu berpelukan erat sekali sambil menangis. Panglima Cheng Ho memalingkan muka, karena matanya basah. Paman Bayu dan A Liong pun segera mendatangi keponakannya dan merengkuhnya erat. "Paman!" teriak Nimas.

Setelah semua bisa mengendalikan diri. "Kalian setelah ini hendak ke mana?" tanya Laksamana Cheng Ho.

"Kami akan kembali ke dusun, Paduka," jawab Paman Bayu.

"Hamba akan kembali ke Aceh, Laksamana," kata Tengku Abu Salam.

Laksamana Cheng Ho mengangguk. "Kudengar, pengkhianat itu telah membuat kerusakan di pulau ini. Aku mohon maaf. Toh, kami telah menghukum mereka dengan hukum laut. Kami akan memberi kalian hadiah untuk bisa memperbaiki desa-desa kalian yang telah porak-poranda karena ulah mereka." Laksaman Cheng Ho memberi sekotak perhiasan. "Ini memang tidak bisa membangkitkan yang telah mati, tapi setidaknya, bisa memulihkan luka-luka persahabatan kita."

A Liong membunguk dan berkata, "Laksamana, sekiranya di harta perompak itu ada batu giok seperti ini, mohon dikembalikan kepada hamba. Karena itu adalah kalung ayah hamba yang dirampas. Sementara, giok itu adalah lambang keluarga besar kami."

Laksamana Cheng Ho, "Baiklah. Tunggulah, kami akan mencarinya untukmu."

"Terima kasih, Laksamana," kata A Liong.

"Apakah kamu nanti jadi pelaut?" Tanya Cheng Ho kepada Pring tak mau lepas dari adiknya. Pring tersenyum dan emngangguk. "Bagus, negerimu sangat indah dengan laut yang luas. Kami akan cukup lama di Surabaya, karena aku hendak bertemu dengan raja Mojopahit di Mojokerto." Memang, sejak terjadi perang saudara yang berlarut maka ibu kota Mojopahit tidak lagi di Trowulan.

Batu Giok Tuan Ling Tiong ditemukan dan diserahkan kepada A Liong. Abu mohon diri kepada mereka untuk kembali ke Aceh. Bagaimana A Liong? Adik Bibi Me Hwa kembali menemui Laksaman Cheng Ho, minta diizinkan ikut armada itu keliling dunia. Mereka pun berpisah. Pring, Nimas, dan Paman Bayu hendak kembali ke Tanjung Pangkah untuk kembali ke Kota Air dengan menyusuri Bengawan Solo. Untunglah, kapal dagang Kahar terjebak di kerumunan kapal Cheng Ho, sehingga urusan ke Tanjung Pangkah bukan masalah bagi mereka. Tapi Pring, Nimas, dan Paman Bayu sempat menghadiri khotbah Jum'at oleh Laksamana Cheng Ho di Surabaya. Mereka bertiga juga mendapat kehormatan diundang ke kapal pusaka. Melihat kemegahan kapal kayu yang luar biasa.