Kahar terkesima dan geram, hendak berbalik ke perahunya. "Anak setan!" teriak Kahar. "Bisa pecah perahuku!"
Paman Bayu menggamit pundaknya untuk tetap tenang. "Sttt...diam, jangan melawan. Bukankah itu kapal Tiongkok?" Kahar berontak, tapi sekali lagi Paman Bayu mencengkeram lengannya dengan kuat. Perahu Kahar oleng dan miring. Beberapa orang perahu naga melompat ke perahu Kahar dengan berayun tali. Menggeledah perahu itu lalu tak lama kemudian kembali ke jukungnya. Setelah itu jukung pergi meninggalkan perahu Kahar.
"Apa isi kapalmu sehingga mereka tidak tertarik?" tanya Paman Bayu.
Kahar tersenyum. "Garam!"
"Mana awak perahumu?" tanya A Liong.
"Mereka sudah ada di darat, jadi kapal itu kosong orang. Aku tadi kembali ke perahu kerena ada sesuatu yang ketinggalan. Untung kita sudah keluar, kalau tidak mungkin kita dibunuhnya," kata Kahar. Kahar menyuruh anak buahnya untuk kembali ke perahu. "Geser posisi garam agar perahu tidak miring!" Dengan beberapa sampan awak perahu Kahar menuju perahunya. "Ingin rasanya tanganku ini menghajar rambut-rambut kuncir itu!" seru Kahar geram.
"Mana mungkin melawan begitu banyak orang," kata Paman Bayu. "Kapan kamu berangkat ke Tuban. Hari ini juga?"
"Jadi, tapi ayo kita periksa dulu apakah ada kerusakan berarti pada perahuku!" kata kahar. Paman Bayu dan Kahar dengan sampan memeriksa keadaan perahu layar itu, dan melihat tidak ada kerusakan berarti. Sehingga mereka bisa berlayar. Baru kali ini Pring naik perahu besar besar layaknya naik rumah berjalan.
Pring lebih suka berada di geladak, dia selalu teringat Nimas, bila begitu air matanya tak terbendung. Namun ketika ada awak perahu memergokinya Pring memalingkan muka agar tidak ketahuan. "Apa kamu ingin memancing?" tanya anak buah Kahar, orang itu mengeluarkan tali panjang semacam benang. "Ayo, kita memancing!" Orang itu berjalan ke buritan dan Pring mengikutinya. Tapi umpannya mana? Pring tidak melihat orang itu membawa umpan.
"Mana umpannya, paman?"
Orang itu tertawa lalu mengeluarkan pisau. Setelah itu memegang telapak kakinya. "Terlalu sering kena tali layar sehingga menjadi tebal. Tidak sakit bila diiris," kata orang itu lalu mengiris bagian tebal tungkai kakinya. Pring bergidik ngeri, tapi orang itu hanya meringis. "Tidak sakit, karena ini kulit mati." Orang itu mengambil mata kail dan menancapkan kulit kakinya itu. Setelah itu dia mengulurkan talinya ke air. Beberapa saat tali pancing bergetar-getar dan berputar, tanda dibawa ikan. Up, seekor ikan menggelepar di kayu geladak. Orang itu segera memotongnya menjadi beberapa bagian. Lalu irisan ikan itu dijadikan umpan lagi. "Kini kita mengincar ikan yang lebih besar!" Mungkin karena umpannya lebih enak, maka tidak lama kemudian dia mendapat ikan ayam-ayam yang lumayan besar lalu beberapa ikan lagi, cukup untuk dimakan semua orang perahu.
"Tapi kalau tiap hari diiris, lama-lama paman tidak punya kaki!" canda Pring.
Orang itu tertawa. "Itu kulakukan kalau darurat saja, kalau tidak punya umpan sama sekali. Bukankah kita perlu mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan yang lebih baik?" tanya orang itu. Pring mengangguk. A Liong datang dan membantu membersihkan isi perut ikan. "Nanti kalau matang kalian aku panggil, dibakar saja ikan ini."
A Liong, "Terima kasih. Jangan lupa sambal dan lalapannya."
"Hanya ada bumbu garam," kata Pring. Pring diam-diam memperhatikan A Liong. Lalu ujarnya, "Kenapa kulit Paman A Liong tidak seputih Bibi Me Hwa?"
A Liong tertawa, "Lho saya suka berpanas-panas. Pantas saja kalau kulitku mirip dengan kulitmu," jawab A Liong. "Aku dan bibimu itu beda ibu. Ibuku orang Jawa. Tapi beliau sudah meninggal ketika melahirkan adikku."
Pring mengangguk. "Paman yakin kalau pelaku yang membuat luka paman orang-orang Tiongkok?"
A Liong tersenyum, "Aku berkelahi dengan mereka. Bahasa yang mereka pakai juga bahasa Tiongkok. Kamu takut kalau kita salah mengejar sasaran? Bukankah kamu mendapat cerita kalau penculik Nimas juga orang yang sama?"
"Kalau kita salah kejar maka kita hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Saya kasihan sekali pada Nimas, pasti dia menangis terus," kata Pring.
"Berdoalah, mudah-mudahan kita tidak salah," Dalam remang cahaya bulan berbentuk kuku dan dinginnya angin laut mereka menikmati ikan bakar, nikmat sekali meskipun hanya rasa asin dan pedas.
"Pelabuhan Tuban pasti penuh sekali," kata Paman Bayu kepada Kahar. "Kapal-kapal Cheng Ho memenuhi segala sudut. Apakah kita bisa merapat?"
"Betul katamu," jawab Kahar. "Bila orang-orang Tiongkok bertabiat seperti yang di jukung tadi berarti aku mencari penyakit bila berlabuh di tempat yang sama. Tampaknya kita tidak berlabuh di pelabuhan utama, tapi di pelabuhan bayangan. Kalian bisa melanjutkan dengan jalan kaki."
"Begitu juga bisa," kata Paman Bayu. Perahu mereka sempat singgah sebentar di pantai Panceng, Paciran, dan Palang. Setelah itu perahu mereka mendekati Tuban. Di Pelabuhan Tuban ramai sekali, mungkin baru sekali ini pelabuhan itu dikunjungi ribuan orang dan ratusan kapal dalam waktu yang serentak. Melihat pemandangan luar biasa itu hati Pring bergetar. Kira-kira di manakah Nimas berada? Di kapal itu, itu, itu atau yang lainnya?
A Liong terkagum-kagum ketika menyaksikan penuh sesaknya pelabuhan Tuban. "Luar biasa, armada kapal sebanyak itu mungkin angkatan laut terbesar di bumi. Semoga Nimas ada di antara kapal-kapal itu." Perahu mereka tidak berlabuh di pelabuhan itu, tapi berlabuh di Pantai Jenu yang tak jauh dari Tuban. Sebelum berpisah Kahar memasukkan beberapa kepeng uang di baju Pring. Pring tidak menolak.
Melihat itu A Liong berkata, "Temanmu ini tidak kamu beri uang saku?"
"Sudah besar! Sudah tak pantas punya uang saku," kata Kahar. "Setelah menurunkan garam perahu ini akan berlayar lagi. Biar tidak berdekatan dengan kapal Cheng Ho."
"Sudah hilang nyalimu," goda Paman Bayu.
"Sudah bukan saatnya, anak istriku menunggu di rumah," sahut Kahar sambil tertawa. Pring, A Liong, dan Paman Bayu melanjutkan perjalanan darat. Mula-mula jalan kaki sampai ada kereta kuda dan menawarkan tumpangan. Tentu saja dengan membayar. Menurut sais kereta Cheng Ho sudah lima belas hari berada di Tuban. "Cheng Ho mengadakan pertemuan dengan orang-orang Tiongkok perantauan dan beberapa bangsawan setempat. Bisa jadi dia minta upeti dari mereka yang telah berhasil dalam berdagang, atau menggertak kerajaan-kerajaan agar tidak mengganggu orang-orang Tiongkok yang hidup di daerahnya. Dia juga mengundang beberapa sunan untuk datang ke tendanya," kata sais itu.
Kereta mereka semakin mendekati pelabuhan Tuban. Dangau-dangau ramai sekali oleh pembeli. Pelabuhan itu layaknya lubang rayap yang penuh sesak. Pring melihat beberapa perempuan Tiongkok dengan baju sangat bagus dan halus, dari kain sutera, mereka dipayungi dan dikawal beberapa prajurit. Cantik sekali. Boleh jadi keluarga kaisar dan bangsawan ikut dalam rombongan kapal itu untuk berpesiar. Mungkin mereka bosan di istana sehingga perlu melancong jauh. Beberapa prajurit berpakaian besi naik kuda dan berderap meninggalkan pelabuhan, entah ke mana. Ditilik dari kudanya pastilah kuda-kuda terlatih. "Mereka juga membawa kuda?" tanya Pring setengah tak percaya.
"Pasti pelayaran ini sudah dipersiapkan masak-masak. Mungkin ada beberapa kapal yang mengangkut kuda! Juga kapal-kapal makanan yang berisi cadangan bahan makanan," kata A Liong.
Mereka pun berbaur dengan mereka di keramaian. Lebih banyak orang Tiongkoknya dari pada pribumi. Aneka tingkah polah dengan bahasa Tiongkok yang Pring tidak paham artinya. Tapi sering dilihatnya A Liong dan Paman Bayu tersenyum, jadi mungkin ada percakapan yang lucu-lucu. Ketika lapar mereka masuk di sebuah dangau yang sepi dan memesan makanan. Tak tahunya, di kedai itu ada seorang prajurit Tiongkok yang tertidur di bangku dengan dengkur yang keras. Ada guci porselen di dekatnya dan berbau arak. "Orang mabuk!" kata pemilik warung. Sehingga mereka memilih duduk agak menjauh.
Ketika belum selesai makan prajurit itu terbangun dan dengan sempoyongan menghampiri mereka. Tiba-tiba saja orang itu mencengkram lengan Pring yang tentu saja dia menjerit kesakitan. Paman Bayu segera bertindak. Ditolaknya prajurit itu dan Pring terbebas, tampaknya prajurit itu tidak terima sehingga memberi pukulan kepada Paman Bayu. Pukulan orang mabuk tidak ada kekuatannya, sehingga dengan sedikit menghindar dan memberi dorongan sedikit prajurit itu jatuh terjerembab, tersungkur di tanah. Dengan sempoyongan orang itu bangkit dan pergi. Pring meringis karena lengannya merasa panas. Ketika selesai makan dan hendak membayar, muncul beberapa pajurit Tiongkok di kedai itu. Si mabuk menunjuk-nunjuk kepada Paman Bayu. Beberapa temannya merangsek maju hendak menangkap Paman bayu. A Liong segera berbicara dengan bahasa Tiongkok. Sementara Paman Bayu diam saja, tidak berkata apa-apa, aneh! Si mabuk tampaknya tidak terima dengan keterangan A Liong, teman-temannya pun jadi sedikit bimbang. Tapi si mabuk itu tampaknya pimpinan sehingga anak buahnya segera mengeroyok Paman Bayu. Pring kebingungan, tapi pamannya menyuruh berlindung. Pring bersender di bilik bersama pemilik warung yang ketakutan.
Perkelahian seru pun terjadi. A Liong dikerubut dua prajurit demikian juga Paman Bayu. Meskipun kakinya cacat ternyata Paman Bayu mahir berkelahi. Sehingga terjangan-terjangan pengeroyoknya bisa dihindari dan mampu membalas dengan baik. Demikian juga A Liong, jurus-jurusnya mematahkan serangan-serangan prajurit Cheng Ho. Perkelahian di warung itu menarik perhatian banyak orang, sehingga ada salah satu prajurit yang melapor kepada atasannya. "Hentikan!" seru seseorang dengan bahasa Melayu. Tapi orang itu tidak bisa mengatakan "er" sehingga selalu dengan "el". Prajurit yang mengeroyok langsung berhenti dan sujud memberi hormat. "Mengapa kalian belkelahi?" tanya orang yang baru datang dengan kawalan ketat.
"Panglima Hong Bao, orang itu menganiaya Tak Kong," kata salah satu prajurit.
A Liong ambil bicara. "Tidak, yang mulia. Kami hanya membela diri."