"Omong-omong, tadi waktu gue mau ke sini, di depan gerbang sekolah tuh lagi banyak siswi-siswi yang ngumpul dan ketawa-ketawa nggak jelas gitu. Udah gitu, pipi mereka rada-rada merona. Ada apaan, sih? Selebriti mau rencana datang ke sini, ya?"
Pertanyaan dari Awan itu membuat alis Senja terangkat satu. Saat ini, Senja, Mentari dan Awan sedang duduk manis di dalam ruangan Senja sambil menikmati teh manis hangat dan kue-kue kering. Karena energi dan tenaga mereka sudah terkuras habis akibat seekor kecoak yang nyaris memangsa—iya, deh, Senja dan Mentari memang hobi menggunakan majas hiperbola—Senja memutuskan untuk menyuruh Mentari minum teh bersama supaya kekuatan dan energi cewek itu bisa bangkit kembali.
"Setau gue nggak ada rencana mau datangin selebriti atau semacamnya," sahut Senja. Dia mengunyah kue keringnya lagi dan menyesap teh manisnya. "Mungkin mereka mau ketemuan sama cowok-cowok dari sekolah lain."
Meskipun Mentari ada bersama mereka, tapi Senja tidak peduli ketika dirinya harus menggunakan bahasa 'gue-elo' dengan sahabat dekatnya itu. Toh, ini sudah di luar jam sekolah dan mereka hanya bertiga di ruangan ini. Dia juga berbicara begitu dengan orang lain, bukan dengan rekan sesama guru atau dengan siswa-siswinya.
"Oh, itu sih anggota SF club, Pak, Om," kata Mentari dengan nada malas. Meskipun cemberut, tapi Mentari tetap mengunyah kue-kue kering itu dengan penuh semangat. Dia juga bisa merasakan kekuatannya perlahan kembali. Dasar kecoak sialan. Jangan salahkan dirinya kalau sampai detik ini, Mentari masih merasakan dendam membara pada makhluk itu.
"SF club?" tanya Senja dan Awan bersamaan. Keduanya saling tatap dan kembali fokus pada Mentari.
"Saya baru dengar ada klub atau kegiatan ektrakulikuler dengan nama itu," kata Senja. Dia bersandar dan melipat kedua tangan di depan dada. "Dan lagi, nama klub aneh begitu udah pasti bakalan diketahui sama guru-guru. Terus, kenapa saya nggak tau sama sekali?"
"Mungkin Bapak dikucilkan sama guru-guru yang lain?" Mentari mengedikan bahu dan menyeringai. "Who knows?"
Senja mengerjap dan detik berikutnya dia mendengus. Jika dia harus meladeni Mentari lagi, yang ada semua energi dan kekuatan yang mulai terkumpul, akan terbuang lagi dengan sia-sia. Di sisi lain, Awan sangat menyukai interaksi ala kucing dan anjing yang diperlihatkan oleh Senja dan siswinya itu. Awan merasa, Mentari sangat bisa mengimbangi sifat keras, dingin dan cueknya Senja. Haruskah dia turun tangan dan berperan sebagai mak comblang untuk menyatukan keduanya? Tapi, usia mereka berbeda jauh. Awan sendiri tidak peduli dengan perbedaan usia. Kalau sudah cinta, ya cinta. Peduli setan dengan usia. Tapi, orang lain pasti akan menatap Senja dengan tatapan menghakimi jika Senja sampai mendekati atau bahkan menyukai Mentari. Mungkin sebaiknya Awan akan bergerak dalam diam.
"SF club itu," ucap Mentari kemudian, ketika dia sadar wajah bete dan tatapan siap menerkam yang dilayangkan oleh gurunya itu. "Singkatan dari Senja Fans Club. Itu tuh kumpulan orang-orang yang ngefans sama Pak Senja. Mereka membuat klub itu dengan menggunakan kelas kosong yang nggak kepakai, terus semua hal dan informasi tentang Pak Senja, termasuk foto-foto Pak Senja, ada di sana."
"What?!" seru Senja dengan mata mengerjap dan berikutnya terbelalak. "Itu menguntit namanya! Ini benar-benar nggak bisa dibiarin. Saya harus ketemu sama mereka semua dan memarahi mereka."
"Oh, come on, Dude," erang Awan. Cowok itu memukul bahu Senja, membuat Senja meringis dan mendesis sementara Mentari memiringkan kepala. "Biarin aja lah mereka ngefans sama elo. Kapan lagi elo bisa popular di kalangan siswi-siswi cantik nan imut begitu? Gue nggak ngeliat adanya masalah."
"Pernah dengar yang namanya privasi, Wan?" tanya Senja dengan nada bete. Dia mengusap bahunya dan berdiri dari sofa. Kemudian, Senja berjalan menuju kulkas kecil yang ada di sudut ruangan dan mengambil minuman bersoda dari sana. "Gue bukan selebriti. Gue guru mereka. Guru di sekolah ini. Harusnya mereka bisa mengerti hal itu."
"Tapi, Pak, mereka kan mengidolakan Bapak. Harusnya Bapak senang, dong?" Mentari menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. "Ya, walaupun saya juga harus akui kalau tindakan mereka emang udah kelewatan, sih." Cewek itu kemudian menarik napas panjang dan menatap ponselnya yang bergetar. Satu pesan masuk dari ayahnya membuat Mentari tersadar bahwa dia sudah cukup lama berada di ruangan Senja. "Ya ampun, udah jam lima sore! Gara-gara kecoak dan kue-kue ini, saya jadi ketahan di sini. Semua ini salah Pak Senja!"
"Kok kamu nyalahin saya?" gerutu Senja sambil mengerutkan kening. "Dasar cewek aneh."
"Gimana kalau pulangnya diantar aja sama gue dan Senja?" tawar Awan. "Kebetulan kita juga mau pergi. Sekalian aja nganterin elo. Tenang, lo nggak akan dibawa ke tempat yang aneh-aneh. Selain karena gue nggak mungkin melakukan hal itu ke anak SMA karena gue menyukai cewek seksi yang tentunya lebih berpengalaman, ada Senja juga yang seorang guru dan nggak mungkin melakukan hal tercela."
"Err...." Sebenarnya, itu tawaran yang menarik. Jika diantar oleh Senja dan Awan, Mentari jadi tidak perlu mengeluarkan ongkos taksi untuk pulang. Lagi pula, benar kata Awan. Apa yang harus ditakutkan oleh Mentari selama Senja ada bersama mereka? Gurunya itu kan tidak mungkin akan berbuat macam-macam kepadanya. Apa lagi, Senja sangat sebal terhadap dirinya dan kerap mencari masalah dengannya, kan? Dan, Awan sendiri berkata dia hanya menyukai cewek seksi yang berpengalaman, bukan anak SMA ingusan macam dirinya. "Oke, deh. Kalau emang nggak ngerepotin."
"Sama sekali nggak." Awan tersenyum menenangkan dan mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.
Melihat itu, Senja hanya bisa mendesah berat dan memijat pangkal hidungnya. Cowok itu kemudian membereskan semua barang yang ada di atas meja dan berkata, "Kalau gitu, kamu tunggu aja di depan mini market seberang sekolah. Biar nggak mengundang kecurigaan siswa-siswi lain, seandainya mereka masih ada di sekitar sekolah. Saya nggak mau dituduh memperlakukan kamu secara spesial."
Mentari menyeringai lebar dan mengangguk. Cewek itu lantas pamit pada Senja dan Awan, kemudian keluar dari ruangan sambil bersenandung. Saat sudah berdua saja dengan Awan, Senja menyadari sahabatnya itu sedang mengulum senyum sambil menatapnya dengan tatapan yang menyebalkan.
"Apa? Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?" tanya Senja dengan nada kesal. Dia menaruh cangkir bekas minum teh ketiganya di lantai, di sudut ruangan. Biar besok saja dia mencucinya.
"Tunggu setahun lagi. Kalau diliat dari usia, kayaknya dia udah tujuh belas tahun. Meski begitu, tetap aja lo harus nunggu dia sampai selesai SMA."
Kening Senja mengerut. "Apa sih maksud lo?"
"Tenang, gue sebagai sahabat, akan selalu mendukung elo, kok. Lagian, apa salahnya dengan cewek yang usianya jauh di bawah kita? Dia cantik dan manis. Dan yang paling penting, dia bisa mengimbangi sifat elo."
Senja berdecak dan melempar ranselnya ke arah Awan yang langsung menangkapnya dengan sigap sambil tertawa keras.
"Sekali lagi lo ngomong sembarangan kayak gitu, gue bakalan bikin hidup lo sengsara, Awan Nugraha!"
"Ugh, takut...," ledek Awan. Namun, cowok itu toh akhirnya berhenti menggoda Senja karena sahabatnya itu sepertinya lebih galak daripada biasanya. Apakah ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Senja?
Langkah Awan terhenti dan keningnya membentur punggung Senja, ketika sahabatnya itu tiba-tiba saja berhenti melangkah. Awan mengusap kening dan mengerutkan kening. Lalu, dia menatap ke arah yang ditatap oleh Senja dan paham apa yang membuat Senja mendadak berhenti bahkan sampai mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh seperti ini.
"Woi, woi, Sen? Calm down, okay? Mereka hanya anak SMA biasa, jadi—"
Namun, ucapan Awan tidak dihiraukan oleh Senja. Karena, detik berikutnya yang Awan ketahui, Senja sudah menghampiri Mentari yang diganggu oleh tiga orang cowok berseragam SMA di depan mini market.
"Hei! Lepasin tangan murid saya sekarang juga!" perintah Senja dengan nada dingin.