Semenjak kejadian di ruangan Senja Alexandro, juga dengan berandalan SMA dari sekolah lain, sudah hampir tiga hari Mentari tidak berkomunikasi dan berurusan dengan gurunya tersebut.
Mereka masih bertemu di sekolah. Terkadang, berpapasan di kantin sekolah. Tapi, hanya sebatas itu. Tidak ada percakapan. Keduanya hanya saling menatap, kemudian sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Contohnya ya, makan, jika mereka bertemu di kantin. Atau berbicara dengan lawan bicara, saat tak sengaja bertemu di lapangan sekolah dan lain sebagainya. Dan, berhubung selama tiga hari ini Senja tidak ada jadwal mengajar di kelasnya sendiri, hanya sebatas mengabsen dan memberikan sedikit nasihat atau apalah itu, Mentari dan Senja pun tidak berinteraksi.
"Hei," ucap Yunifer tiba-tiba, ketika Mentari, dirinya dan Vivi sedang menghabiskan waktu di kantin karena pelajaran terakhir adalah jam kosong. Jam kosong yang setelahnya merupakan bel pulang sekolah. "Tumben udah tiga hari ini gue nggak ngeliat adanya drama."
Mentari menaikkan satu alisnya sambil menyantap siomay. "Maksud lo dengan drama?"
"Ya, tentu aja perdebatan antara Tom dan Jerry ala Mentari dan pak Senja," sambung Vivi. "Tumbenan banget lo sama doi nggak berdebat kalau ketemu. Jadi sepi tau dunia gue dan Yun-Yun. Jadi hampa gitu. Biar gimana, kan, lo sama pak Senja adalah hiburan untuk gue, Yun-Yun dan semua orang yang ada di kelas kita."
Mentari cemberut. Dia menaruh garpunya di atas piring dan mengaduk es teh manisnya, kemudian menyedotnya. Rasa dingin dan manis yang menyatu itu membuat Mentari tak cemberut lagi dan melebarkan senyum. Cewek itu memang pecinta manis. "Ya masa gue sama dia harus terus berdebat di setiap ada kesempatan? Kan nggak juga. Cuma, kalau dia cari masalah duluan sama gue, baru gue ladenin. Gue ini kalem, kok."
"Kalem gundulmu," komentar Yunifer sambil mendengus dan menggeleng. Pusing dengan ucapan Mentari yang selalu menyebut dirinya sendiri sebagai orang yang kalem, tapi nyatanya merupakan cewek tomboi yang cukup bar-bar. "Lo nggak ada masalah sama pak Senja, kan?"
"Nggak," geleng Mentari. Ya, walaupun cewek itu sendiri mengakui dalam hati bahwa dia selalu berada dalam masalah dengan Senja Alexandro. "Udah, ah, ngapain bahas dia, sih? Bahas yang lain aja."
Yunifer dan Vivi saling pandang dan mengedikan bahu masing-masing. Mereka sedang membahas anime terbaru yang ceritanya sangat bagus, ketika terdengar gemuruh petir. Lalu, keduanya melihat Mentari langsung mematung dan tubuhnya mulai gemetar. Bukan rahasia lagi bagi Yunifer dan Vivi mengenai rasa takut Mentari akan hujan dan petir.
"Hei, lo nggak apa-apa?" tanya Yunifer dengan nada cemas. Dia mulai mengelap keringat dingin yang nampak di pelipis sahabatnya tersebut dengan sarung tangan. "Mau balik ke kelas aja?"
Mentari mengangguk. Setidaknya, jika dia ada di dalam kelas, suasana ramai di dalam sana akan membuat ketakutannya akan hujan dan petir teralihkan. Namun, ketika Mentari baru akan keluar dari kantin bersama kedua sahabatnya, hujan sudah turun dengan derasnya. Disusul dengan petir yang menggelegar, bahkan hingga memperlihatkan kilat yang menakutkan di atas langit. Langsung saja Mentari berteriak dan tubuhnya terasa tak bertenaga. Dia bisa mendengar kedua temannya menjeritkan namanya, tapi Mentari tidak bisa bereaksi sebagaimana mestinya.
Lalu, sesuatu yang kuat dan menenangkan melingkupi tubuhnya. Dengan ketakutan yang sudah mencapai puncaknya, dengan tubuh gemetar hebatnya dan air mata yang sudah mengalir di wajah cantiknya, Mentari memaksakan diri untuk mendongak. Kemudian, cewek itu melihat sosok Senja Alexandro berada tepat di depan matanya. Cowok itu menahan tubuhnya yang rupanya akan jatuh, sekaligus memberikan tatapan khawatirnya. Tapi, tentu saja tatapan khawatir itu tersembunyi oleh tatapan tegasnya seperti biasa. Entah hanya Mentari yang bisa melihatnya atau kedua sahabatnya pun menyadarinya.
"Mentari, kamu nggak apa-apa?" tanya Senja. Bukan hanya melalui tatapan mata, bahkan suaranya pun menggambarkan kecemasan dan Mentari bisa mengetahuinya. Kemudian, Mentari mencengkeram lengan Senja yang sedang menahan tubuhnya agar tidak terjatuh itu dengan kuat, hingga Senja mengerutkan kening. Sakit, memang, tapi Senja tidak mengaduh atau memprotes. Entah kenapa, saat ini, di hadapannya Mentari menjelma menjadi seorang cewek rapuh yang begitu kecil. Bukan Mentari yang senang berbuat onar dan berani menentang siapa pun. "Kamu sakit?"
Mentari menggeleng lemah. Dia kehilangan kemampuannya untuk berbicara. Rasa takut itu sudah melumpuhkan seluruh tubuhnya, seluruh indranya. Hanya saja, dia tidak bisa memberitahu Senja bahwa dia sangat takut. Mentari bahkan tidak menyadari keberadaan Awan Nugraha, sahabat Senja yang dikenalnya tiga hari yang lalu, sedang berdiri di belakang Senja dengan tatapan khawatir yang mengarah kepadanya.
"Mentari, kita balik lagi aja yuk ke kursi yang tadi," ajak Vivi. Cewek itu, yang entah kenapa merasa canggung dengan keadaan ini, buru-buru mengambil sikap. Dia mengambil alih tubuh Mentari, dan berdua dengan Yunifer, memapah Mentari ke kursi yang tadi mereka tempati. Setelah mendudukkan Mentari, Vivi langsung berlari ke arah penjaga kantin untuk memesan teh manis hangat.
Senja dan Awan saling tatap, kemudian mengikuti jejak ketiga cewek tersebut. Fokus dan perhatian Senja terus mengarah pada Mentari. Dia lantas menarik kursi lainnya dan duduk tepat di hadapan Mentari yang menunduk dengan tubuh gemetar dan tangis yang pecah.
"Hei, kamu beneran nggak apa-apa?" tanya Senja sekali lagi. Kali ini, dia tidak bisa menyembunyikan kecemasan dalam suaranya. Tangannya terulur dan menggenggam tangan Mentari, lantas terperanjat akibat suhu dingin pada kulit tangan siswinya tersebut. "Ya Tuhan, Mentari! Tangan kamu dingin banget!"
"Err... Pak?" panggil Yunifer dengan nada hati-hati. Dia tersenyum kikuk dan menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dengan menggunakan jari telunjuk. "Mentari nggak apa-apa, kok."
"Nggak apa-apa, gimana?" tanya Senja dengan nada suara yang mulai meninggi. Alasannya kenapa, cowok itu pun tidak mengetahuinya. Yang jelas, sikapnya barusan membuat Yunifer terlonjak, pun dengan Vivi yang sedang berjalan menuju meja mereka sambil membawa segelas teh manis hangat. Nyaris saja Vivi terjatuh karena kaget akan suara Senja, kalau saja Awan tidak segera menahannya. Cowok itu mendesah lega dan menanyakan keadaan Vivi, tapi Vivi hanya mendengus dan meninggalkan Awan setelah mengucapkan terima kasih dengan nada acuh.
Menyadari bahwa dia baru saja membentak siswinya, Senja langsung mengerjap dan menarik napas panjang. Cowok itu langsung meminta maaf pada Yunifer dan Vivi, lalu kembali fokus pada Mentari yang semakin menangis. Bahkan kini, Mentari menutup kedua telinganya setelah barusan petir kembali menggelegar.
"Mentari?" panggil Senja lagi. Dia bingung harus berbuat apa. Dia lebih suka berhadapan dengan Mentari yang selalu berdebat dengannya, yang selalu menentangnya, daripada harus berhadapan dengan Mentari yang rapuh seperti ini. Di mata Senja, Mentari Jingga seolah kehilangan cahayanya. "Hei? Mentari?"
"Pak, Mentari takut sama hujan dan petir," kata Vivi kemudian. Memutuskan untuk memberikan jawaban yang diinginkan oleh Senja. Karena menurutnya, Senja kemungkinan akan terus mencecar Mentari demi mendapatkan jawaban, meskipun Mentari tidak memiliki kekuatan untuk mengucapkan sepatah kata pun.
"Apa?"
Senja seolah tak mempercayai pendengarannya sendiri. Cewek sekuat Mentari takut akan hujan dan petir?
"Karena bundanya meninggal dunia saat hujan turun dengan derasnya dan petir yang menggelegar," tambah Yunifer.
Senja diam. Cowok itu mematung dan menatap Mentari dengan perasaan asing yang tidak dia ketahui apa maknanya. Yang jelas, Senja tidak menyukai keadaan Mentari yang seperti ini dan dia akan melakukan apa pun supaya Mentari kembali normal seperti biasanya.