Chereads / Cara Jitu Menjinakkan Pak Senja! / Chapter 10 - #9-Pak Senja Kerasukan, Ya?

Chapter 10 - #9-Pak Senja Kerasukan, Ya?

Perlakuan tidak biasa dari Senja Alexandro saat ini jelas membuat Mentari Jingga semakin ketakutan, di samping rasa takutnya akan hujan dan petir.

Cewek itu tidak pernah menyangka akan melihat sisi lain dari seorang Senja. Oke lah, tiga hari yang lalu dia juga sempat ditolong oleh Senja dan merasa bahwa sifat Senja tidak buruk-buruk banget. Tapi, kali ini Senja benar-benar terlihat sangat... entahlah, Mentari bingung harus menggunakan kata 'berbeda' atau 'aneh'. Akibatnya, Mentari sedikit banyak jadi melupakan rasa takutnya dan justru malah fokus pada Senja yang kini sibuk mengurusi dirinya. Contohnya adalah memberikan teh manis hangat yang tadi dipesan sahabatnya. Lebih spesifiknya lagi, Senja memegangi gelas dan sedotan yang ada di dalamnya, lalu mengarahkannya langsung ke mulut Mentari.

Gila, nggak?

Tentu saja Mentari menyedot teh manis hangat tersebut sambil melongo dan memberikan tatapan seolah-olah Senja adalah sesosok Gru yang keluar dari dalam film dan muncul untuk mengumpulkan para minion. Sudah pasti yang menjadi para minion adalah dirinya, Awan Nugraha dan kedua sahabatnya, Vivi serta Yunifer.

"Hei, Mentari," panggil Senja, membuyarkan lamunan ngaco milik cewek berusia tujuh belas tahun tersebut. Bahkan kini, Senja mengelap mulut Mentari dengan menggunakan tisu. Jika Awan Nugraha menatap kejadian itu dengan tatapan antusias sekaligus geli dan nyaris tertawa, maka Yunifer dan Vivi mematung sambil ternganga di tempat masing-masing akibat perlakuan tak biasa dari Senja untuk Mentari. "Saya serius nanya sama kamu. Kamu baik-baik aja? Tadi kamu sangat gemetaran dan ketakutan, bahkan sampai menangis. Sekarang, kamu malah bengong dan sampai menganga kayak gitu. Saya rasa kamu butuh pertolongan sesegera mungkin. Bilang sama saya, apa yang bisa saya lakuin untuk kamu?"

"Pak," sahut Mentari dengan nada hati-hati setelah sebelumnya dia mengerjap dan menelan ludah. Cewek itu kemudian memegangi pergelangan tangan Senja. Anehnya, Senja membiarkan saja dan tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Bapak jangan marah sama ucapan saya ini, ya. Apa Bapak... lagi kerasukan setan?"

Ganti Senja yang mengerjap dan melongo. Sementara itu, Awan sudah tidak mampu menahan tawanya lagi. Dia sampai membungkuk dan memukuli pahanya berulang kali. Bahkan terlihat air di sudut matanya akibat tawanya itu. Yunifer dan Vivi juga ingin sekali tertawa sebenarnya, namun, karena yang ada di hadapan mereka dan sedang diledek oleh Mentari adalah guru sekolah ini, sekaligus wali kelas mereka, maka keduanya tidak berani melakukan hal tersebut. Kedua cewek itu kan tidak mau cari mati dan diberi nilai merah oleh Senja. Mereka tidak berani seperti Mentari yang memang syaraf kewarasannya sudah hampir putus.

"Maksud kamu apa ngomong kayak gitu, Mentari?" tanya Senja dengan nada kesal setelah dia tersadar dari keterkejutannya akibat ucapan Mentari barusan. Cewek itu meringis dan menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dengan jari telunjuknya. Mentari juga menyengir kuda.

"Err... bukannya bermaksud untuk tidak sopan, Pak—ya, walaupun saya emang udah nggak sopan sih sekarang—tapi, sikap Bapak saat ini benar-benar bukan Bapak banget. Bapak yang biasanya adalah seorang guru yang dingin, arogan, sombong nggak ketulungan, menyebalkan, suka mencari masalah dengan siswinya—yang tentunya hanya saya seorang, sampai-sampai saya mengira kalau Bapak mungkin punya rasa buat saya—tunggu, Pak, jangan melotot kayak gitu. Intinya, sikap Bapak yang sebenarnya memiliki jutaan sifat negatif lainnya yang bobrok banget di mata saya dan mata para siswa lainnya—siswa ya, Pak, bukan siswi—dan bukannya manis serta gentle kayak begini. Jadi, saya beranggapan kalau Bapak pasti lagi kerasukan penunggu sekolah ini. Bapak tau kan kalau dulu ada seorang guru yang sangat baik hati banget di sekolah ini dan meninggal akibat dibunuh? Mungkin hantu guru itu lagi merasuki Bapak, makanya—"

"Mentari Jingga," potong Senja sambil membuka telapak tangan kanannya di depan wajah Mentari, sedangkan tangan kirinya memijat pangkal hidungnya. Kedua matanya terpejam. "Sia-sia aja kayaknya saya mencemaskan kamu. Omongan kamu nggak bisa disaring dan otak kamu nggak bisa direm sama sekali kalau udah berputar-putar nggak jelas arah kayak gini. Saya ini serius khawatir sama kamu. Kamu pikir, saya ini manusia yang nggak punya hati?"

Mentari mengangguk polos. "Iya, Pak. Di mata saya, dengan sangat tulusnya, saya menganggap Bapak seorang manusia yang nggak punya hati," jawabnya dengan nada yang diimut-imutkan. Bola mata Senja bahkan nyaris keluar dari rongganya saat dia melotot ke arah Mentari yang kini tersenyum manis. Senyuman manis busuk menurut Senja karena dia yakin Mentari tidak mungkin melakukannya dengan tulus. Cewek itu pasti sedang mengejeknya.

"Hei, apa mereka berdua selalu bersikap kayak gini? Lo juga pasti berpikir kalau mereka berdua itu sangat menarik dan menggemaskan, kan?" tanya Awan kepada Vivi yang berada di sampingnya, setelah tawanya reda. Dia menyeka air di sudut matanya dan mencolek pelan lengan Vivi, kemudian memberikan senyuman terbaiknya.

"Nggak usah sok akrab sama gue, deh, Om," gerutu Vivi. Cewek itu mendengus dan bersedekap, kemudian memberikan tatapan sinisnya. Melihat itu, Awan mengerjap dan senyumannya berubah menjadi sedikit aneh. Antara aneh dan bingung. Sejak tadi, cewek ini seakan membangun tembok dengannya, bersikap jutek dan lain sebagainya. Awan berani bersumpah kalau ini adalah pertama kalinya dia bertemu dengan Vivi. Tapi, kenapa cewek itu sudah mengibarkan bendera perang dengannya? Apa kesalahannya?

Melihat itu, Yunifer langsung menarik Vivi ke dalam dekapannya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan, kemudian memalingkan wajah Vivi agar tidak menghadap ke arah Awan. Yunifer tersenyum kikuk dan berkata, "Maaf ya, Om—err, maksud gue, Kak. Vivi emang lagi bad mood hari ini. Maklum, lagi kedatangan tamu khusus cewek. Jadi dia suka marah-marah nggak jelas ke orang lain, terutama orang asing."

Awan hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Cowok itu memusatkan perhatiannya kembali ke arah Senja dan Mentari, tapi sesekali dia melirik ke arah Vivi. Entah kenapa, dia benar-benar penasaran akan sikap Vivi kepadanya. Kalau sudah begini, dia harus mencari tahu. Tidak mungkin, kan, dia hanya diam saja dan menerima dibenci oleh orang lain, terlebih siswi SMA, di saat dirinya sendiri merasa tidak pernah melakukan kesalahan?

"Diam kamu, Mentari," Senja menarik napas panjang dan bangkit berdiri. Lalu, cowok itu berjalan menuju kulkas berisi minuman dingin yang ada di kantin, untuk mengambil beberapa minuman. Namun, saat akan berjalan melewati Mentari, cowok itu tersandung sesuatu dan keseimbangan tubuhnya goyah. Otomatis, tubuh tegap atletis Senja limbung ke arah Mentari yang sedang duduk, kedua tangannya tanpa sadar memeluk tubuh Mentari, kemudian keduanya jatuh bersama-sama ke lantai kantin. Senja dan Mentari sama-sama mengaduh dan mengerang kesakitan. Untungnya Senja melindungi tubuh Mentari agar siswinya itu tidak membenturkan punggungnya ke kerasnya lantai kantin.

"Arrrgh! Bapak rese banget, sih?! Bapak tuh benar-benar mesum, ya?! Tuh, kan, Bapak sebenarnya kerasukan setan, kan?! Bapak kepengin menjamah tubuh saya ini, kan, makanya Bapak sok baik di hadapan saya?! Emang dasar guru mesum!"

"Heh! Saya ogah sama tubuh bocah kayak kamu begini, Mentari! Selera saya tinggi! Saya lebih suka tubuh montoh dan seksi aduhai layaknya seorang model, bukan depan sama belakang rata kayak kamu gini!"

"WHAT?! BENAR-BENAR NGGAK BISA DITOLERIR ITU MULUTNYA, PAK! SINI, BIAR SAYA KASIH CABAI ABANG KETOPRAK DI SANA, SUPAYA MULUTNYA BISA BERFUNGSI DENGAN BAIK DAN BENAR! ARRRGH! RAMBUT SAYA NYANGKUT DI KANCING KEMEJA BAPAK INI! RAMBUT SAYA SAKIT, PAK! SAKIT! DIA NANGIS, PAK! EDAN BANGET SIH KANCING KEMEJA BAPAK! KARNIVORA! KANCING BAJU SAMA PEMILIKNYA SAMA-SAMA KARNIVORA!"

Awan kembali terbahak, sementara Yunifer dan Vivi mendesah berat sambil menggelengkan kepala dan segera bertindak untuk membantu Mentari dan Senja.