Dua hari setelah kejadian di kantin sekolah, Mentari merasa ada yang mengawasinya.
Dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya merasa demikian dan siapa—jika memang benar—yang mengawasinya. Cewek itu jadi terus memasang sikap waspada kepada seluruh teman-temannya yang berada di dalam kelas. Sudah dua hari ini juga, Mentari yang biasanya memperlihatkan sisi feminin dan kelembutannya, menghilang. Wajah cantiknya selalu terlihat resah dan tegang, membuat teman-temannya khawatir, tetapi tidak ada yang berani bertanya.
"Tar, lo kenapa, sih?" tanya Vivi, ketika dia sudah tidak tahan lagi melihat sikap sang sahabat. Sudah seperti seekor kelinci yang was-was akan diterkam oleh seekor harimau. Cewek itu langsung terbang ke meja Mentari saat guru matematika sudah selesai mengajar dan keluar kelas. Hanya tersisa waktu sepuluh menit lagi sebelum bel istirahat makan siang berbunyi. "Perasaan gue perhatiin, udah dua hari lo kayak gini."
Hari ini, Yunifer tidak masuk sekolah karena sakit. Tapi, cewek itu juga merasakan keanehan pada sikap Mentari selama dua hari ini dan setuju dengan usul Vivi untuk menginterogasi Mentari. Soalnya, Mentari ini tipe orang yang tidak mau membuat orang lain cemas dan khawatir akan masalahnya.
"Gue ngerasa kayak diawasin gitu, Vi," jawab Mentari, setengah berbisik. Dia menatap serius ke arah manik sahabatnya itu, yang kini ikut menegang di tempatnya. Vivi lantas menelan ludah dan menarik kursi Sinyo yang sudah melesat ke kantin untuk mendapatkan tempat VIP kesayangannya. "Gue juga nggak tau kenapa, tapi gue selalu ngerasa... gitu, deh."
"Gitu deh, gimana?" kejar Vivi. "Lo cerita jangan kayak telur setengah matang, dong! Setengah-setengah gitu! Kuningnya pasti masih cair. Yang matang! Buruan!"
Mentari memutar bola matanya. Sudah tidak asing dengan analogi-analogi super aneh dari Vivi. Dia memperhatikan keadaan sekitarnya sejenak dan setelah merasa aman, tidak merasakan tatapan mengintai tersebut saat ini, barulah Mentari merasa yakin untuk menceritakannya pada Vivi. Selama ini dia tidak bercerita pada kedua sahabatnya karena takut akan menyeret mereka ke dalam masalah.
"Gue... kayak diperhatiin dari jauh. Dinilai, diawasin, diintai, apa pun itu istilahnya," ulang Mentari. "Dua hari yang lalu, pas kita di kantin dan lagi dalam keadaan hujan petir, bareng sama pak Senja dan Awan, di situ awal mulanya. Gue sengaja nggak ngasih tau karena gue nggak mau bikin kalian ikutan was-was. Tapi, ada seseorang yang menatap gue saat itu. Dan gue juga ngeliat sebuah sosok yang tadinya bersembunyi di balik pilar sekolah, terus lari gitu aja. Gue nggak sempat ngeliat atau ngenalin wajahnya."
"Cewek?"
"Cowok," jawab Mentari yakin, setelah sebelumnya menggeleng untuk merespon pertanyaan dari Vivi. "Cowok tinggi dan tubuhnya cukup berisi. Rambutnya lebat."
"Mm... apa mungkin dia bukan bersembunyi, tapi lagi bersihin tubuhnya yang mungkin terguyur air hujan? Abis itu, karena ngerasa dia udah cukup kering, dia kembali berlari?"
"Gue harap emang itu masalahnya," sahut Mentari seraya menarik napas panjang. "Tapi, dua hari belakangan ini, bukan hanya tatapan mengawasi dan mengintai itu aja yang gue dapatkan. Gue juga... kehilangan beberapa barang."
"Kehilangan barang?"
Mentari dan Vivi menoleh saat mendengar suara itu. Keduanya tersenyum ke arah Mila yang balas tersenyum dan mengangguk untuk menyapa. "Sori, gue nggak sengaja dengar percakapan kalian. Tar, lo kehilangan beberapa barang lo di kelas ini?"
Mentari menaikkan satu alis dan mengangguk mengiyakan. Seketika itu juga, wajah Mila mulai memucat. "Gue juga. Barang yang cukup berharga, uang bahkan sampai bekal makan siang. Dan bukan hanya gue. Dewi, Dhea, Bobby, Sinyo, udah empat orang yang juga kehilangan barang-barang mereka seperti gue dan lo. Itu artinya, udah ada enam orang di kelas ini yang menjadi korban."
"Apa menurut lo, yang mencuri barang-barang itu anak kelas ini?" Vivi menatap sisa teman-temannya yang masih bertahan di dalam kelas, dengan tatapan curiga. Mentari dan Mila tanpa sadar mengikuti tingkah Vivi tersebut.
"Mungkin. Tapi, bisa juga bukan," sahut Mentari. Dia merasa pusing sekarang. Jam tangan dan beberapa uangnya menghilang dalam dua hari belakangan ini. Tentu saja dia tidak melaporkannya pada sang ayah karena tidak ingin membuat beliau cemas. "Kita nggak punya barang bukti untuk menuduh seseorang, kecuali kita menangkap basah orang tersebut saat sedang beraksi."
Ketiga cewek itu diam. Lalu, Mila pamit lebih dulu karena ingin membeli makanan di kantin sebelum kehabisan. Karena merasa tidak ada gunanya juga Mentari dan Vivi memikirkan hal ini—apalagi dalam keadaan perut lapar—saat tidak memiliki bukti, keduanya akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin sambil memberikan informasi ini kepada Yunifer.
Dalam perjalanan menuju kantin, Mentari dan Vivi bertemu dengan Senja. Sepertinya, guru mereka itu juga akan makan siang di kantin. Jika Vivi tersenyum sopan dan mengangguk untuk menyapa Senja, maka lain halnya dengan Mentari. Cewek itu langsung memasang wajah jutek dan tatapan malas. Masih teringat olehnya mengenai insiden di kantin dua hari yang lalu.
"Hei, itu muka kamu kenapa kayak mau ngajak ribut gitu?" tanya Senja yang menyadari arti dari raut wajah serta tatapan dari Mentari. Untungnya, keadaan di sekitar mereka bertiga sedang sepi, jadi Mentari tidak perlu repot-repot untuk menutupi ketidaksukaannya terhadap Senja.
"Aduh, bagus deh kalau Bapak sadar," celoteh cewek itu. "Saya emang kepengin ngajak ribut Bapak, kok. Bapak ada waktu nggak buat ribut sama saya? Nggak usah lama-lama, lima menit juga udah cukup, Pak. Karena dalam waktu lima menit itu, saya yakin saya bisa langsung membuat Bapak K.O."
Senja mendengus dan melanjutkan langkah menuju kantin. Cowok itu melirik dari balik bahunya dan menemukan sosok Mentari serta Vivi yang mengekorinya menuju kantin. Terlihat Vivi sedang berusaha menenangkan Mentari sambil sesekali menyeringai, dan Mentari yang menjulurkan lidah ke arahnya. Benar-benar cewek tomboi yang menyebalkan, batin Senja. Untung saja dia hanya berperan sebagai guru di dunia ini untuk Mentari dan bukannya menjadi seorang pacar apalagi suami. Bisa-bisa, kewarasannya lenyap tak berbekas jika hal tersebut sampai terjadi.
"Tar! Mentari! Mentari!"
Teriakan itu membuat langkah Mentari dan Vivi terhenti. Pun dengan Senja yang memang berada tak jauh di depan keduanya. Dia bukannya penasaran, hanya saja suara orang yang memanggil Mentari itu terdengar sangat kalut, dan....
Oke, dia penasaran. Puas kalian?
Mentari mengerutkan kening ketika Mila berlari ke arahnya. Memang tadi cewek itu sudah kembali ke kelas ketika Mentari dan Vivi baru memutuskan untuk pergi ke kantin. Wajah Mila memucat dan keringat membasahi peluhnya.
"Kenapa, Mil? Kayak habis dikejar hantu gitu," sahut Vivi polos.
"Ransel lo, Tar. Barang-barang lo. Semuanya berantakan dan berceceran di lantai!"
Seketika itu juga, tubuh Mentari membeku. Tanpa sadar, dia mencengkeram kedua lengan Mila dengan kuat, hingga temannya itu meringis. "Kok bisa?! Bukannya kelas lagi ramai?!"
Mila menggeleng. "Kata Anna, tadi pas kalian berdua keluar, kelas tuh kosong. Gue pun tadi nggak langsung masuk ke kelas waktu ketemu sama kalian di lorong. Gue ke kelas sebelah karena dipanggil sama teman gue, Siska. Terus, pas gue ngeliat Anna sama Liam balik lagi ke kelas, gue ikutan balik. Dan... ransel sama barang-barang lo udah berantakan!"
Mendengar penjelasan itu, Mentari buru-buru berlari ke kelas. Vivi mengikuti dari belakang, pun dengan Senja. Benar-benar keterlaluan! Anak didiknya berani melakukan pencurian di siang bolong begini?!
"Mentari Jingga! Jangan lari di tangga! Nanti kamu jatuh!" seru Senja. Dia menyalip Vivi dan bergegas menyusul Mentari. Senja sempat menahan lengan Mentari, namun langsung melepaskannya karena Mentari meronta. Tentu saja Senja tidak ingin sampai terjadi hal yang tidak diinginkan karena cewek itu meronta meminta untuk dilepaskan. Bisa saja nantinya keseimbangan tubuhnya akan hilang dan Mentari akan terjatuh, kan?
Sesampainya di kelas, Mentari yang terengah, langsung mematung. Anna dan Liam ada di dalam kelas sambil menatap menyesal ke arah Mentari. Cewek itu berjalan dengan langkah pelan dan berlutut di hadapan ranselnya. Matanya menatap nyalang ke arah barang-barangnya yang berserakan di lantai. Dengan tangannya yang gemetar, Mentari mencari-cari sesuatu. Matanya mulai terasa panas dan air mata itu mengalir dengan deras, seiring gemuruh jantungnya yang meliar.
"Hei, Mentari," panggil Senja yang mendekat dan berlutut di samping cewek itu. "Apa ada yang hi—"
Belum selesai Senja berbicara, Mentari langsung mencengkeram kedua lengan Senja dengan kuat sambil berseru histeris.
"Kalung, Pak! Kalung peninggalan bunda saya hilang! Kalung berharga saya! Punya bunda saya, Pak! Nggak ada di mana-mana! Kalung itu hilang!"
Senja mematung dan mengeraskan rahang. Dia menatap barang-barang milik Mentari dengan tatapan tajam.
"Kalung saya, Pak! Tolong...."
Dan kali ini, Senja memang merasa yakin jika dirinya tidak suka melihat Mentari menangis seperti ini. Sama seperti dua hari yang lalu.
Silakan aja lo lari dan bersembunyi, pencuri kecil sialan, batin Senja. Karena, mau ke mana pun lo lari dan bersembunyi, gue pasti akan menemukan lo dan gue akan langsung membotaki lo karena udah mencuri barang berharga milik cewek bar-bar ini!