Mentari Jingga mengikuti perintah Senja Alexandro yang menyuruhnya untuk menunggu di mini market depan sekolah.
Dia menunggu kedatangan Senja dan sahabatnya yang bernama Awan itu sambil memainkan ponsel dan memeriksa tulisan-tulisan karya fiksinya yang dipostingnya di sebuah platform menulis. Cukup banyak feedback yang masuk dan bersifat positif serta membangun, membuatnya merasa sangat senang hingga tanpa sadar tersenyum. Saat itulah, Mentari tidak menyadari beberapa cowok berseragam SMA sama seperti dirinya, tetapi berbeda sekolah, mendekatinya.
"Halo," sapa salah satu cowok sambil tersenyum menggoda. Mentari mengangkat wajahnya dari ponsel di tangannya, kemudian memberikan tatapan datar dan tidak suka ke arah cowok-cowok tersebut. "Sendirian aja. Perlu ditemanin sama kita-kita, nggak? Kita jalan-jalan, yuk? Nanti kita bayarin deh."
Mentari mendesah berat dan menggeleng sambil memijat pangkal hidungnya. Cowok-cowok model begini yang sangat tidak disukai oleh Mentari. Menggoda lawan jenis sesuka hati dan berkata akan membelikan apa pun untuk mereka. Padahal, uang yang mereka gunakan itu pastinya bukanlah uang mereka sendiri, tapi uang orang tua mereka.
"Nggak usah, makasih," tolak Mentari, berusaha untuk tetap terlihat sopan. Padahal di dalam hati, Mentari sudah sangat muak dan ingin sekali menghajar mereka. Tapi, tidak mungkin, kan, kalau Mentari tahu-tahu menonjok orang lain tanpa alasan? Selama mereka tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas, maka Mentari pun tidak akan menyerang.
"Sombong banget lo jadi cewek. Emangnya lo pikir, lo itu secantik apa, sih?" ejek cowok tersebut sambil mencengkeram lengan putih Mentari.
Membuat Mentari semakin meradang. Baru saja dia mencoba bersabar, memperingatkan diri sendiri untuk tidak memulai keributan selama mereka tidak memancing keributan, eh, tak sampai sepersekian detik dia melakukan hal tersebut kepada dirinya sendiri, cowok-cowok sialan itu sudah memancing emosinya.
"Lepasin tangan gue." Mentari berkata dengan nada dingin dan tajam, sedingin dan setajam tatapannya saat ini. Harus dia akui, cengkraman tangan cowok itu benar-benar kuat dan cukup menyakitkan. Bahkan, terlihat bekas kemerahan pada lengannya.
"Kalau gue nggak mau?" ledek cowok itu sambil tertawa bersama teman-temannya. Mereka saling tatap dan kembali menatap Mentari yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Sebelah tangannya sudah terkepal kuat, bersiap untuk menghadiahi ccowok berengsek di depannya itu dengan tinjuan mautnya, ketika suara seseorang yang terdengar sangat dingin dan tajam, dan sudah dihafalnya di luar kepala, terdengar. Cewek itu mengerjap dan menoleh, bersama dengan cowok-cowok sialan di depannya itu.
Senja Alexandro.
"Hei! Lepasin tangan murid saya sekarang juga!" serunya. Dia berjalan dengan langkah lebar dan panjang, kemudian menyentak tangan cowok SMA itu dari lengan Mentari dan membawa Mentari ke belakang punggungnya. Matanya menyorot dingin, membuat cowok-cowok SMA itu mematung dan menelan ludah. "Dasar anak-anak berandalan. Beraninya mengganggu anak cewek. Dari sekolah mana kalian? Biar saya datangi sekolah kalian dan saya akan adukan kalian kepada guru-guru di sana agar kalian mendapatkan hukuman!"
Cowok-cowok itu langsung pergi dari hadapan Mentari dan Senja, membuat Mentari menarik napas panjang dan bersedekap. Dia bisa merasakan kehadiran seseorang di sampingnya dan begitu dia menoleh, sosok Awan ada di sampingnya. Cowok itu menyeringai geli sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan bersiul pelan.
"Kelakuan mereka mengingatkan gue sama kelakuan gue sendiri sewaktu SMA dulu," celoteh Awan dengan nada geli.
"Elo emang nggak pernah benar sejak dulu, Wan," gerutu Senja. Dia mendengus dan menatap Mentari. "Kamu nggak apa-apa, Mentari?"
Mentari mengedikan bahu. "Seperti yang Bapak liat, saya baik-baik aja. Lagian, Bapak kan tau rahasia saya. Bapak tau kelakuan saya yang sebenarnya itu kayak apa. Jadi, Bapak nggak usah cemas. Cowok-cowok begajulan kayak begitu, cuma seujung kukunya saya doang. Kecil."
Sementara Awan mengerjap dan menatap Senja serta Mentari secara bergantian, meminta secara tersirat untuk memberitahunya apa maksud dari ucapan Mentari barusan, Senja justru mendesah dan menyentil kening Mentari hingga yang bersangkutan mengaduh dan buru-buru mengusap keningnya yang terasa perih itu. Matanya melotot, menatap Senja dengan tatapan bete.
"Bapak kok mukul kening saya, sih?!"
"Saya hanya menyentil, Mentari, bukan memukul. Kamu terlalu hiperbola." Senja bersedekap.
"Tapi—"
"Mentari," potong Senja langsung. "Meskipun saya tau kamu anak yang pemberani dan mereka bukan tandingan kamu, tapi tetap tugas saya untuk melindungi kamu sebagai seorang guru. Kamu pikir, saya akan tutup mata dan membiarkan kamu digangguin dan dilecehkan sama anak-anak berandalan itu, terlebih kejadiannya berada tepat di depan mata kepala saya sendiri? Jangan bodoh." Cowok itu kemudian mengacak rambut Mentari, membuat Mentari melongo di tempatnya karena perlakuan tidak biasa dari gurunya itu. Ke mana perginya sikap menyebalkan seorang Senja Alexandro? Apa ini karena kedatangan kecoak tadi, makanya sikap Senja berubah drastis?
Mentari hanya menatap kepergian Senja yang menunjuk ke arah mobil Awan dengan kerutan di kening. Dia mengerucutkan bibir, kemudian menarik napas panjang. Sikap Senja yang seperti ini tidak buruk juga menurut Mentari. Dan dia terpaksa mengakui, dirinya menyukai sikap Senja yang seperti tadi, ketimbang sikapnya yang suka marah-marah, suka mengucapkan kata-kata sarkas untuknya dan lain sebagainya.
"Dia nggak buruk juga, kan?"
Pertanyaan itu membuat Mentari menoleh. Baru ingat kalau Awan masih ada bersamanya. Cowok itu kemudian menunduk agar bisa menatap Mentari dan mengedipkan sebelah matanya.
"Well, sedikit. Kalau aja sikapnya kayak barusan terus, ditambah sedikit senyum, pasti dia nggak akan menjadi manusia super menyebalkan." Mentari kemudian mengerjap ketika dia melihat Awan membungkuk agar tinggi mereka bisa sejajar. Terlebih, saat Awan memajukan wajahnya, membuat Mentari refleks memundurkan kepala. "Om mau apa?" tanyanya dengan nada tajam.
"Jangan manggil gue dengan sebutan om, oke? Panggil gue Awan. Atau, kakak juga boleh. Yang jelas, tolong jangan panggil om." Awan terkekeh geli dan menjawil hidung Mentari hingga Mentari ternganga. Belum pernah dia diperlakukan seperti ini oleh seorang cowok. Benar-benar kurang ajar!
"Om, jangan—"
Kalimat Mentari terhenti ketika tahu-tahu saja, seseorang sudah menarik tangannya dan membawa tubuhnya ke belakang. Dia mengerjap dan menoleh. Senja muncul sambil menatap kesal ke arah Awan yang kini menegakkan tubuhnya kembali sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celananya—lagi. Sikap Senja yang terlihat protektif terhadapnya membuat Mentari benar-benar berpikir jika Senja memang tidak buruk-buruk banget.
"The hell, Wan?" Senja mengerutkan kening tidak suka. Tangannya masih memegangi pergelangan tangan Mentari dengan sangat protektif. Seolah-olah, kalau tidak begitu, Mentari akan menghilang karena diculik oleh Awan. "Berani-beraninya elo mau menculik murid gue? Lo udah gila? Dasar om-om pemangsa daun muda! Lo benar-benar berbahaya, Awan Nugraha!"
"Hei!" Awan tertawa. "Gue hanya berbicara dengan Mentari sebentar. Masa begitu aja dianggap mau berbuat jahat, sih?"
Karena Senja masih melotot ke arahnya, maka Awan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Oke, oke. Gue salah. Gue minta maaf, oke? Gimana kalau sekarang kita pulang sebelum kemalaman?" Awan menyeringai dan mengedipkan sebelah mata, kemudian bersiul sambil berjalan menuju mobilnya. Dari balik bahunya, dia mengintip ke arah Senja dan Mentari. Kedua orang itu kembali berdebat. Tapi kali ini, keduanya sama-sama tidak menyadari bahwa Senja masih memegangi pergelangan tangan Mentari.
"Ini benar-benar menarik," gumam Awan. Di dalam otaknya, berjuta-juta ide untuk mendekatkan sang sahabat dan Mentari sudah menumpuk, meminta untuk dikeluarkan.