Chereads / Cara Jitu Menjinakkan Pak Senja! / Chapter 5 - #4-Kerusuhan Tak Terhindarkan

Chapter 5 - #4-Kerusuhan Tak Terhindarkan

Sepulang sekolah, ketika bel benar-benar baru saja berdentang, Mentari langsung pamit kepada Yunifer dan Vivi.

Siang ini, dia sudah membuat rencana untuk tidur sampai ayahnya pulang dari perusahaan. Fisik dan mentalnya sangat lelah akibat Senja, terlebih mentalnya. Jadi, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti mendadak kehilangan kewarasan, Mentari akan mengistirahatkan otak dan hatinya.

Namun, rencana tinggallah rencana.

Saat dalam perjalanan menuju gerbang sekolah, dari arah ruang BK, muncul Senja Alexandro. Cowok itu menatap ke arah Mentari dan melambaikan tangan, menyuruh Mentari untuk mendekat. Mentari mengerang dalam hati dan memaksakan seulas senyum. Senyuman yang dianggap normal olehnya. Dengan sangat terpaksa, Mentari menyeret kedua kakinya menuju ruang BK, di mana Senja sudah menunggu sambil tersenyum dan bersedekap. Mau bagaimana lagi? Ini masih di lingkungan sekolah dan topengnya tidak boleh sampai terlepas.

"Kenapa, Pak?" tanya Mentari dengan nada setenang dan seimut mungkin. Oh, jangan lupakan ekspresi di wajahnya yang memberikan kesan bahwa dia adalah anak baik-baik yang sangat imut dan menggemaskan, dan tidak akan pernah mungkin membuat onar atau kesalahan. Padahal mah aslinya, nggak usah ditanya, deh. Cukup hanya Tuhan yang tahu. "Saya kebetulan ada urusan yang sangat mendesak dan harus segera pulang."

Dengan kata lain, Mentari tidak sudi berurusan dengan Senja lagi untuk hari ini. Dia harus menyetok energinya terlebih dahulu agar bisa bertempur lagi dengan guru menyebalkan itu.

"Bolpoin saya, Mentari." Senja menarik napas panjang dan membuka telapak tangan kanannya. "Bolpoin yang tadi saya taruh di meja kamu."

Ah... bolpoin mahal itu. Mentari menganggukkan kepalanya berulang kali. Dia melepas ranselnya, kemudian merogoh benda-benda di dalam ransel tersebut. Kemudian, Mentari dan Senja mendengar suara dering ponsel. Keduanya sama-sama menatap ke arah ruang BK yang dibiarkan terbuka.

"Ponsel saya berdering," kata Senja. Dia kemudian masuk begitu saja ke dalam dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. "Ikut saya, Mentari. Dan taruh bolpoin saya di atas meja kerja saya."

Mentari mendengus dan mengikuti Senja. Untung saja tidak ada siswa-siswi lain di sekitarnya, sehingga tidak akan ada yang bisa mendengar dengusannya barusan dan melihat raut wajahnya yang sudah cemberut hebat itu. Begitu dia sudah menginjakkan kedua kakinya di dalam wilayah Senja Alexandro—ini kan ruang BK, jadi Mentari menganggap kalau ruangan ini adalah wilayah pribadi dari cowok itu—Mentari langsung terlonjak dan mengerjap tatkala mendengar teriakan Senja yang sedang berbicara entah dengan siapa di telepon.

"Saya kan sudah bilang, kalau semua pekerjaan itu bukan urusan saya! Saya sudah menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan dan sisanya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan saya! Tolong jangan ganggu waktu saya dengan hal-hal lain yang tidak ada gunanya! Kalau memang Anda tidak bisa mengerjakannya, Anda bisa langsung resign dan serahkan pekerjaan itu kepada orang lain yang lebih paham!"

Alis Mentari terangkat satu. Kenapa Senja berbicara seolah-olah dia memiliki pekerjaan lain di luar sana? Bukankah dia seorang guru yang harus stand by di sekolah selama enam hari berturut-turut dari pagi hingga sore? Jadi, tidak mungkin kan kalau Senja bekerja di hari Minggu? Memangnya ada perusahaan atau kantor yang beroperasi di hari Minggu? Dan lagi, tadi Senja menyuruh orang itu untuk resign?

Senja yang sedang memijat pangkal hidungnya dan mendesah berat akibat marah-marah barusan itu, baru menyadari kalau Mentari ada di dalam ruangan. Dia juga sadar kalau teriakannya barusan pasti membuat Mentari terkejut, pun bisa didengar oleh orang-orang di luar ruangannya. Akhirnya, cowok itu menyuruh Mentari untuk menutup pintu dengan menggunakan isyarat, yang langsung dipatuhi oleh Mentari. Kemudian, Senja menunjuk ke arah sofa, menyuruh Mentari untuk duduk di sana dan menunggunya.

"Saya tidak mau mendengar alasan apa pun lagi," kata Senja dengan nada final. "Kalau memang masih ada keluhan, silakan Bapak menghubungi pak Bryan saja. Saya banyak kerjaan dan banyak urusan. Kalau begitu, saya akan menutup teleponnya. Selamat siang." Senja langsung melempar ponselnya ke atas meja, membuat Mentari melotot dan panas-dingin di tempatnya. Ponsel Senja adalah ponsel yang mahal. Belum cukup Mentari bertanya-tanya bagaimana Senja bisa membeli ponsel semahal itu dengan gajinya, kini Mentari juga dikagetkan dengan Senja yang melempar ponsel tersebut seolah-olah dia tidak peduli jika nanti barang tersebut rusak.

"Jadi?"

Mentari mengerjap dan mengalihkan pandangannya dari ponsel malang Senja ke arah Senja yang sudah mendekat ke arahnya. Keningnya mengerut dan wajah sengaknya mulai terlihat. Entah kenapa, otaknya sudah refleks memprogram dirinya untuk terus bersikap jutek di hadapan gurunya itu. "Jadi?" ulang Mentari dengan nada tidak paham.

Senja menarik napas panjang dan berkacak pinggang. Cowok itu kemudian membungkuk dan menyejajarkan wajahnya dengan wajah Mentari, hingga Mentari terpaksa memundurkan wajahnya. Mentari bahkan refleks menahan napas. Ya, walaupun Mentari sangat sebal terhadap Senja, tapi kan Senja tetaplah seorang cowok muda dengan wajah yang, err, harus Mentari akui memang terlihat tampan. Jelas saja jantung Mentari melompat-lompat tidak karuan. Selama tujuh belas tahun dia hidup di dunia, dia belum pernah berdekatan dengan jarak sangat dekat seperti ini dengan lawan jenis, kecuali ayahnya.

Dasar Senja sialan! Senja terkontaminasi! Senja kotor, mesum dan masih banyak jutaan sebutan lainnya untuk cowok sialan di depannya ini!

"Bolpoin saya, Mentari Jingga." Senja mendengus dan menegakkan tubuhnya kembali. Dia membuka telapak tangan kanannya dan Mentari langsung berkata 'ah' tanpa suara. Dia buru-buru mengambil bolpoin tersebut dari dalam tempat pensil yang ada di dalam ransel. Dan saat Mentari akan menyerahkan bolpoin tersebut, matanya terbelalak. Dia terkesiap dan tahu-tahu saja, Mentari sudah berdiri di atas sofa sambil berteriak, membuat Senja terlonjak.

"Arrrgh! Pak! Pak Senja! Ada itu, Pak! Itu! Itu! Makhluk menyeramkan!"

"Hah?" Senja mengerutkan kening dan menatap sekitarnya. "Kamu apa-apaan, sih? Mau ngerjain saya atau gimana? Saya nggak akan ketipu, Mentari. Dan, asal kamu tau, ya, saya nggak takut sama hantu karena saya nggak percaya sama eksistensi mereka." Senja menyodorkan tangan kanannya lagi. "Mana bolpoin saya, Mentari?"

"Ya Tuhan! Bapak! Saya nggak ngomongin hantu! Ini makhluk yang lebih mengerikan dan menakutkan dibandingkan hantu, Pak! Makhluk yang keras kepala, menolak untuk mati! Dia bahkan bisa menipu kita dengan berpura-pura mati, tapi kalau kita lengah sedikit aja, dia pasti bakalan kabur!" jerit Mentari histeris sambil melompat-lompat dan menunjuk ke arah dinding di belakang Senja. "Itu, Pak! Kecoaknya bersiap untuk terbang! Arrrgh!"

Mendengar itu, Senja langsung memucat dan menoleh cepat ke arah dinding yang ditunjuk oleh Mentari. Sekujur tubuh Senja langsung merinding dan berubah dingin, dan Senja kontan berteriak sambil melompat ke atas sofa dan berdiri di samping Mentari.

"Arrrgh! Hush! Hush! Pergi sana! Dasar makhluk menyebalkan!" Senja melakukan gerakan mengusir dengan menggunakan tangannya. Cowok yang biasanya terlihat arogan, dingin, jutek dan beribawa itu kini melepas semua sifat tersebut dan berubah menjadi cowok normal di mata Mentari. Mentari yang bahkan tadi takut ketika melihat sang kecoak, kini melongo ketika mendapati Senja justru bersembunyi di belakang tubuhnya sambil menatap horor dan ngeri ke arah kecoak tersebut.

"Sial! Masuk dari mana sih kecoak itu?" erang Senja. Tubuhnya gemetar. Sejak kecil, dia sangat takut dan membenci kecoak karena kelakuan sepupu-sepupunya. "Mentari! Kenapa kamu cuma diam aja?! Usir dong kecoaknya!"

Barulah Mentari tersadar dan mengerjap. "Ih! Bapak dong yang usir! Ini kan ruangannya Bapak! Dan Bapak itu kan cowok! Harusnya, Bapak yang ngusir kecoak mengerikan itu!"

Mentari dan Senja saling melotot dan serempak menatap ke arah kecoak di dinding. Keduanya berani bersumpah jika kecoak itu menyeringai ke arah keduanya untuk mengejek mereka, membuat Mentari dan Senja semakin memucat dan berteriak gila-gilaan.

"Arrrgh! Pergi! Pergi!"

Hari ini, kecoak berhasil membuat sebuah kerusuhan di ruangan Senja dan berhasil membuat Senja dan Mentari kehabisan tenaga.