"Kayaknya menikmati banget nih dihukum sama guru terganteng seantero sekolah."
Godaan yang dilayangkan oleh Yunifer, salah satu dari dua sobat Mentari sejak SMP yang mengikutinya masuk ke SMA ini, membuat Mentari yang baru saja duduk di kursinya tepat di samping Yunifer, mendengus. Mentari meneguk habis sisa teh manis dingin dalam botol kemasan yang dibelinya di kantin sekolah, kemudian melemparnya langsung ke tong sampah yang ada di ujung kelas, dekat dengan pintu.
Masuk.
"Jangan sembarangan kalau ngebacot, Yun. Mana ada sih orang yang tahan berlama-lama berada di samping guru sialan ala neraka itu?" gerutu Mentari. Dalam hati, dia memuaskan diri untuk memaki Senja Alexandro. Toh, cowok itu tidak akan pernah tahu jika dirinya dimaki oleh Mentari di dalam hati. Tentu saja yang tahu akan ini hanya dirinya sendiri dan Tuhan. Tapi setelahnya, Mentari langsung meminta ampun kepada Tuhan karena sudah berbuat dosa.
"Ada dan banyak," angguk Vivi yang baru saja tiba entah dari mana. Dilihat dari mulutnya yang mengunyah sesuatu, kemungkinan besar cewek itu baru saja kembali dari kantin. Aneh, karena Mentari tidak bertemu dengan sobatnya yang terakhir itu. "Semua isi sekolah ini yang berjenis kelamin cewek, termasuk gue dan Yun-Yun, itu sangat menyukai pak Senja, apalagi kalau bisa sampai berduaan sama dia."
Yun-Yun adalah nama yang diberikan oleh Vivi untuk Yunifer. Sejenis nama panggilan yang super imut menurut Vivi. Vivi sendiri meminta untuk dipanggil Vi-chan. Sama seperti Mentari yang menyukai anime, Vivi juga sangat menyukai tayangan-tayangan yang berasal dari negeri sakura tersebut. Karenanya, Vivi menyuruh orang-orang yang dekat dengannya untuk menambahkan akhiran 'chan' pada namanya. Sedangkan untuk Mentari, cewek itu meminta kepada Vivi untuk tetap memanggilnya dengan nama biasa saja. Nama yang normal.
"Silakan, deh," kata Mentari. Mendadak sudah kehabisan energi di pagi hari karena harus berhadapan dan berdebat dengan Senja. "Gue mah ogah. Dibayar satu miliar pun, gue nggak akan mau disuruh berurusan sama dia, apalagi berduaan sama dia."
"Yakin? Tantang Yunifer sambil tersenyum geli. "Masa nggak mau kalau disodorin satu miliar secara cuma-cuma?"
Mentari nampak berpikir. Kemudian, cewek itu meringis dan menggaruk pelipisnya dengan menggunakan jari telunjuk. "Err... boleh, deh. Gue akan bersabar dan bertahan berada di samping guru menyebalkan itu demi satu miliar."
Yunifer dan Vivi saling tatap, kemudian keduanya tertawa. Mentari ini adalah anak yang baik hati dan sangat ramah menurut mereka berdua. Cuma memang, ya, sikapnya itu sangat tomboy. Tidak ada satu orang pun yang tahu akan hal itu karena Mentari selalu memakai topeng anak feminin jika di sekolah dan di hadapan orang-orang. Bahkan ayahnya pun tidak tahu akan hal tersebut. Mentari bilang, dia tidak ingin melihat raut wajah sedih ayahnya jika sampai beliau tahu mengenai kelakuannya yang kerap kali membuat onar dengan para penindas atau berandalan lainnya. Mungkin di dunia ini yang tahu hanya Yunifer, Vivi dan... Senja Alexandro.
Tiba-tiba, suasana kelas menjadi hening. Vivi segera kembali ke tempatnya semula ketika menyadari penyebab keheningan di kelas mereka adalah karena Senja Alexandro sudah masuk ke dalam kelas. Kemudian, cowok itu berdiri di dekat mejanya dan menulis sesuatu di papan. Setelahnya, Senja mengetuk papan tersebut dan menatap seisi kelas dengan tatapan datar andalannya.
"Hari ini, kita ujian mendadak," katanya dengan nada datar, membuat seisi kelas sibuk menyuarakan protes mereka. Lalu, tatapan Senja mengarah pada Mentari yang mengangkat tangan kanannya. "Ya, Mentari?"
"Kok dadakan sih, Pak?" tanya Mentari dengan suara yang dibuat setenang dan selembut mungkin. Itu karena memang semua orang menganggapnya sebagai cewek yang sangat lemah-lembut, jadi suara dan raut wajahnya pun, terutama sikapnya, harus disesuaikan dengan imej yang menempel padanya.
Senja mengangkat sudut bibirnya sedikit ke atas, membuat Mentari menelan ludah. Mungkin anak-anak yang lain tidak menyadari senyuman mengintimidasi dan meledek yang terpasang di wajah Senja itu. Senja memang pandai menyamarkan dan menyembunyikan ekspresi di wajahnya. Kurang lebih dia sebelas-dua belas dengan Mentari. Sama-sama memakai topeng di hadapan semua orang.
Eh? Tunggu dulu. Mentari mengerucutkan bibir dan mengerutkan kening. Dia nampak berpikir. Memangnya Senja selama ini memakai topeng? Rasanya tidak, deh. Cowok itu memang memperlihatkan sifat aslinya di hadapan semua orang. Sifat yang arogan, dingin dan cuek. Tapi, memang pada dasarnya saja semua cewek suka pada tipe-tipe seperti itu. Misterius dan membuat penasaran. Mungkin Mentari harus mencari jalan dan celah untuk membeberkan kebenaran mengenai Senja yang sudah terkontaminasi ini. Maksudnya, Senja itu kan indah dan enak dipandang mata, tuh, sementara Senja yang satu ini, yang berwujud manusia, bikin muak setengah mati!
"Mentari Jingga," panggil Senja dengan memperdengarkan nada mengejeknya. Tapi, sekali lagi, sepertinya hanya Mentari yang bisa menangkap dan menyadarinya. "Namanya ujian dadakan yang diadakannya mendadak. Mana ada ujian mendadak, terus saya kasih tau dulu sehari sebelumnya? Itu ujian yang sudah direncanakan namanya."
Seisi kelas kontan tertawa, sementara Mentari memaksakan seulas senyum di wajahnya yang memerah karena malu sekaligus karena emosi. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Arrrgh! Ingin sekali rasanya Mentari memaki Senja detik ini juga, atau melempar sepatu yang dia pakai ke arah wajah Senja yang super menyebalkan itu! Duh, Tuhan, boleh nggak kasih dia izin untuk melakukan minimal salah satu dari kedua keinginannya barusan? Dosanya mau sekecil atau sebesar apa, Mentari berjanji akan menanggungnya, asalkan hasratnya untuk meluapkan emosi dan amarahnya kepada si Senja yang terkontaminasi ini tersalurkan.
"Sudah, sudah," kata Senja sambil berdeham. Dia sudah puas melihat wajah merah padam milik Mentari. Itu artinya, dia berhasil membuat siswinya itu marah dan malu. Salahnya sendiri, kenapa selalu mencari masalahnya dengan dirinya yang seorang guru ini. Ya, Senja juga terpaksa mengakui, sih, kalau dirinya sudah bersikap kekanakkan karena kerap terpancing oleh tingkah dan sikap Mentari terhadapnya. "Ayo, tutup buku kalian dan taruh di laci meja. Saya akan membagikan soal-soal ujian sekarang juga. Hanya boleh ada pensil, bolpoin dan alat tulis lainnya. Bahkan tempat pensil letakkan juga di laci meja, oke?"
"Siap, Pak," jawab seisi kelas dengan nada lesu. Meski begitu, mereka tetap melaksanakan ujian dadakan ini dengan hati yang ikhlas dan lapang. Walau sikap Senja terlihat cuek dan dingin, tapi cara mengajarnya sangat disukai oleh siswa-siswi di sekolah. Senja bisa menjelaskan dengan cara yang unik, jelas dan mudah diingat.
Ketika Senja membagikan lembar soal untuk Mentari, cowok itu menaikkan satu alisnya saat meliat siswinya itu memberengut. Mentari bahkan tidak segan-segan memperlihatkan wajah cemberutnya itu kepada Senja. Kemudian, tahu-tahu saja, Senja berjongkok dan mengambil bolpoin Mentari yang berada di lantai. Seketika itu juga, kening Mentari mengerut. Kapan bolpoinnya terjatuh? Mentari lantas menatap ke arah alat-alat tulisnya yang berjejer rapi. Hm? Tidak! Itu bukan bolpoinnya. Bolpoinnya masih ada di samping pensil. Berarti... Mentari menoleh dan terkesiap. Dia refleks menahan napas saat wajah Senja berada dekat dengannya sambil menaruh bolpoin yang dia ambil di lantai barusan ke atas meja.
"Dua poin untuk saya, Mentari. Hari ini, saya berhasil membuat kamu kesal dan jengkel sebanyak dua kali. Kamu kalah hari ini," bisik Senja, membuat Mentari melongo dan mengerjap. Terlebih ketika Senja menepuk pundaknya beberapa kali. "Itu, bolpoinnya sudah saya ambilkan dan saya taruh di tempat semula ya, Mentari. Jangan sampai dihilangkan, karena sepertinya itu bolpoin mahal."
Semua orang kini sibuk berkasak-kusuk membicarakan kebaikan hati Senja Alexandro. Sementara itu, Mentari menatap bolpoin mahal di atas mejanya. Bolpoin yang memiliki inisial SA di ujungnya. Kepala Mentari rasanya ingin meledak saja, saking dia jengkelnya dengan kelakuan Senja barusan.
Bolpoin mahal itu hilang, siap-siap saya minta pertanggungjawaban kamu, Mentari Jingga!
Kira-kira itulah pesan tersirat dari Senja ketika berbicara dengannya barusan. Ugh! Benar-benar cowok yang tidak sepadan dengan keindahan namanya!