Tidak sesuai dengan keadaan hatinya. Saat ini justru Jane tengah berada di restoran Jepang bersama pria yang siang tadi menggodanya.
Entah mengapa dia begitu murah dengan segala bujuk rayu pria itu.
"Nambah lagi Jane?"
Nakula menyodorkan piring teriyaki miliknya. Alis Jane terangkat satu. Merasa risih dengan perhatian yang Nakula berikan.
"Aku tidak mau gendut," ucap Jane asal.
"Masa sih. Bukannya enak kalau gendut. Dipeluk hangat."
"Ya siapa juga yang mau pelukan dengan anda?" ucap Jane sewot.
Mendengar hal itu, Nakula terkekeh. Dia tidak menyangka akan diberi jawaban seperti tadi.
"Jane kau senang bertemu denganku lagi?" tanya Nakula dalam.
Pandangan mereka bertemu. Di benak masing-masing seakan tidak rela jika berpisah kembali.
"Tidak juga sih Pak Nakula Kagendra. Saya merasa biasa saja."
"Ck. Kok panggil Pak sih. Memangnya aku menikah dengan Ibu kau apa?" ucap Nakula tidak terima dipanggil Pak lagi.
"Terus panggil apa?"
"Panggil Sayang misalnya."
Jane langsung cemberut. Jika dilihat-lihat, gombalan yang Nakula lancarkan memang begitu klise. Tapi begitu banyak, hingga Jane ingin muntah saja rasanya.
"Tidak perlu berlebihan deh Nakula. Sekarang hubungan kita hanya sebatas atasan dan bawahan," ucap Jane dengan yakin.
"Iya sih, aku memang lebih suka di atas. Biar bisa menguasai kau lebih banyak."
Jane memutar bola matanya. Sejak dahulu Nakula selalu saja mesum terhadapnya.
"Tidak perlu aneh-aneh deh Nakula. Aku tidak murahan begitu ya."
Jane sangat kesal. Nakula sampai kapan pun seperti tidak berubah. Dari cara pandang, kata-kata, bahkan kemesumannya juga. Dia seperti bertemu Nakula saat lima tahun yang lalu.
"Oh ya Jane, serius tanya nih. Kekasihmu tidak marah, kau jalan denganku?"
Mendengar pertanyaan itu, Jane yang sedang minum, seketika tersedak. Sigap Nakula pindah ke sampingnya dan menepuk-nepuk punggung Jane.
"Pelan-pelan Jane," ucap Nakula dengan penuh perhitungan.
"Terima kasih."
Jane mengambil tisu dari tasnya. Dia mengelap bibirnya yang merasa banyak air liur keluar. Saat ini dia tidak berani menoleh ke samping. Entah mengapa pertanyaan Nakula tadi seperti menamparnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Nakula memastikan.
"Ya, aku tidak apa-apa sungguh. Kau tenang saja. Hanya masalah kecil," sahut Jane yang sudah mulai tenang. Meski tidak bisa dipungkiri rasa gerogi yang membakar hatinya.
"Baiklah."
Nakula kembali duduk di depan Jane. Dia terus memandang wajah perempuan itu dengan intens. Seakan bergoyang sedikit saja, dia akan kehilangan lagi sosok Jane.
"Sejak kapan kau jadi billionaire?" tanya Jane untuk mengalihkan tatapan Nakula.
"Kenapa? Mau melamar jadi sugar baby? Bisa dipertimbangkan."
Jane memajukan bibirnya. Dia merasa telah salah bertanya. Tapi bukankah itu pertanyaan biasa saja.
"Kau lucu kalau kesal," ucap Nakula yang masih menatap Jane lembut.
"Duh terima kasih loh Tuan. Jadi terharu saya."
"Serius Jane. Aku jadi billionaire ya karena menabung. Terus Paman Bara merekomendasikan perusahaan ini untuk aku ikut kelola. Karena aku merasa punya uang banyak, aku beli saja setengah lebih sahamnya. Kebetulan pemiliknya sedang kepepet sangat butuh uang."
Jane menggelengkan kepala. Dia tidak mengerti lagi jalan pikir Nakula. Setahu dia dulu Nakula sangat sederhana dan jauh dari sifat pamer.
"Itu antara kasih tahu alasan mengapa kaya dan jadi bos, atau memang sekedar pamer semata."
Nakula tersenyum mendengar gerutuan Jane. "Itu memang serius kasih tahu Jane. Ya kalau kau anggap pamer, tidak masalah juga sih. Pendapat orang yang bebas."
"Tapi memangnya pemilik asli ini Kak Bara ya?" tanya Jane yang beralih ke mode serius. Lebih tepatnya dia memang kepo dengan pemilik aslinya.
Selama di Singapura, dia belum pernah bertemu. Hanya Pak Wiliam saja yang menjadi kaki tangan bos dan pernah bertemu dengan beliau. Staff lain sepertinya mana pernah. Nama asli saja tidak ada yang tahu.
"Bukan. Paman hanya merekomendasikan. Ya aku kan salah satu karyawan dia yang kompeten. Sudah di luar kepala kan dunia jaringan seperti ini."
Lagi-lagi Nakula menyombongkan diri. Jane hampir saja mengeluarkan makanannya dari dalam lambung. Rasanya enek sekali.
"Jangan pamer di depanku, Nakula. Tidak mempan."
Nakula mengangkat bahunya tidak acuh. Tidak mementingkan perkataan Jane barusan.
"Pertanyaanku belum kau jawab. Jadi kau tidak dicemburui kekasihmu karena mau jalan denganku?" tanya Nakula lagi untuk yang kedua kalinya.
"Oh soal itu." Mata Jane melirik ke sembarang arah. Dia pikir Nakula sudah lupa. Nyatanta masih sama saja. Begitu penasaran dengan kehidupan pribadi gadis single itu.
"Aku bilang ada kerjaan di luar sama bos. Maklum anak baru, jadi tidak enak menolak."
Jane rasa itu penjelasan bagus bukan. Nyatanya memang Nakula kini atasannya. Bukan teman kencan seperti beberapa tahun silam. Kisah mereka sudah berakhir.
"Oh ya. Kekasihmu percaya?" tanya Nakula seakan tidak puas dengan jawaban Jane.
"Ya tentu saja."
"Ternyata antara baik dan bodoh memang tidak ada bedanya. Em atau memang tidak cinta saja dia."
Nakula sengaja sekali memancing. Menurutnya Jane termasuk yang tidak suka jika pasangannya dijelekkan pihak lain. Dia akan membelanya sampai ke titik darah penghabisan. Begitu istilahnya.
"Ah kau saja yang berpikir terlalu buruk."
Jane berkilah. Dari bicaranya juga terlalu santai. Tidak menggebu-gebu seperti saat dulu ayah atau saudaranya menentang hubungan mereka. Mau dijelekkan bak sampah yang tidak ada gunanya juga, Jane tetap saja membela dan memihak ke arah Nakula.
"Kalau begitu tes saja. Telepon dia, dan bilang kalau bos meminta untuk ditemani ke luar kota saat ini juga. Jika dia mengijinkan dengan mudah, berarti memang tidak cinta. Tapi jika dia melarang dengan berbagai macam alasan, dia ada kemungkinan memang menyukai kau."
Nakula memberikan tantangan semacam itu bukan tanpa sebab. Sebagai mantan kekasih yang masih peduli. Tentulah dia ingin Jane mendapatkan pria yang baik.
"Apa sih Nakula. Tidak perlu tes tes segala. Aku bukan mau masuk abdi negara."
Jane tentu saja tidak mau kebohongannya terungkap. Dia harus bisa membuktikan bisa mendapat pria baik selain Nakula. Lagi pula, Nakula yang terlihat seperti mempunyai gandengan.
"Sayang sekali tidak mau. Padahal ada hadiah untuk itu loh."
Jane tidak peduli. Yang penting rahasianya aman dulu. Mau hadiah tiket liburan ke Maldives sebulan saja, Jane rasa tidak butuh.
"Lagian kau ini kenapa. Seharusnya kau saja yang melakukan hal itu pada kekasihmu. Kau kan sudah jadi billionaire. Sekalian tes dia setia atau tidak saat kau bertemu mantan."
Nakula merasa lucu dengan hal itu. Jane seperti ketakutan saat topik tentangnya dibahas.
"Jane ... Jane. Kau lupa ya kalau aku seorang detektif."
Jane tercekat mendengar hal itu. Jangan bilang kalau Nakula tahu ....
"Tentu saja aku tahu tentangmu."
***