Chereads / My Ex Billionaire / Chapter 8 - Nakula Yang Tidak Bisa Ditebak

Chapter 8 - Nakula Yang Tidak Bisa Ditebak

Jane memutar bola matanya malas. Dia begitu enggan untuk satu ruangan hanya bedua lagi dengan Nakula. Ingin segera pergi saja dari sini.

"Maaf Pak. Ada yang perlu saya bantu lagi? Kalau tidak, saya permisi dahulu."

Jane buru-buru ingin pergi. Tapi pergelangan tangannya dicekal oleh Nakula. Pria itu bahkan mencengkeram begitu erat.

"Mau ke mana? Buru-buru sekali sih?" ucap Nakula yang merasa tidak rela ditinggalkan Jane begitu saja.

"Maaf Pak. Kerjaan saya masih banyak. Kalau tidak ada kepentingan saya mau lanjut kerja lagi."

Dengan begitu kasar, Jane melepaskan tangannya. Dia tidak sudi berlemah lembut dengan Nakula yang jelas-jelas mencekal tangannya erat.

"Ya sudah kerja di sini saja kalau begitu," ucap Nakula enteng.

Jane melototkan matanya. Seperti salah dengar dengan hal tadi.

"Yang benar saja Nakula. Kalau aku di sini bukannya kerja malah kau kerjai," ucap Jane begitu ketus. Dia membuang segala bentuk keramah-tamahan pada Nakula. Bahkan bahasanya sudah lebih santai.

"Wah aku senang loh kau panggil namaku, tanpa embel-embel Pak," sahut Nakula yang justru lebih fokus pada panggilan nama saja.

"Ck. Kau ini benar-benar. Aku kan bicara serius Nakula. Sudah ya, nanti didengar orang lain. Dikira aku goda-goda bos lagi. Mana level sih."

Jane pergi begitu saja dari ruangan Nakula. Yang mana membuat bos barunya itu tersenyum senang. Paling tidak Jane sudah lebih santai kepadanya. Tidak sekaku selama ini. Lebih dari cukup untuk membuat Nakula yakin kalau perasaan Jane tidak berubah jauh.

Jane misuh-misuh sendiri di ruang kerja. Dia melihat rekan-rekan lain bekerja dengan begitu nyaman. Tidak ada hambatan yang tiba-tiba dipanggil bos dengan alasan yang dibuat-buat. Ada rasa iri di hati. Tapi mau bagaimana lagi, keputusan ini juga atas persetujuannya. Kadang dia berpikir kalau Nakula sengaja mencari gara-gara untuk selalu bersinggungan dengannya

"Bu kok melamun. Kena marah bos ya?"

Siska yang masuk dalam bagian anak buahnya menegur. Di tangan kanan tertenteng dua buah map besar. Sepertinya meminta untuk segera diperiksa.

"Eh ada apa ya?" tanya Jane gugup.

"Maaf ganggu Bu. Kalau ada masalah bisa cerita Bu. Kita sama-sama tidak tahu budaya bos baru. Tapi paling tidak, kita di sini bakal bantu Ibu."

Siska mengatakan dengan begitu tulus. Seakan apa yang dirasakan Jane juga bagian dari dirinya.

"Ah tidak kok. Saya baik-baik saja. Terima kasih ya sudah perhatian."

Siska tersenyum ramah. "Sama-sama Bu. Ini berkas yang Ibu minta tadi. Sudah jelas laporan keuangan dan SPT tahunan selama tiga tahun terakhir."

Jane menerima berkas dari tangan Siska. Dia tersenyum ramah dan mengucap terima kasih. Sejauh pandangan selama tiga hari ini, divisi di bawahnya persis selalu bersikap santun sejak awal mereka bertemu. Berbeda sekali dari divisi lain. Di hari pertama, justru menjebak Jane dengan pergi minum-minum.

Yang membuat Jane benci, karena kecerobohannya itu, sampai bertemu dengan Nakula kembali. Hingga kini Jane tidak akan lupa dengan hal itu.

"Ya sudah Bu, saya permisi dahulu."

Jane mulai membaca-baca laporan keuangan dan Pajak tahunan yang ada di depannya. Dia tetap butuh untuk memahami dengan baik perusahaan yang saat ini mempekerjakannya.

"Semua baik, hanya karyawannya saja yang tidak," keluh Jane. "Apa lagi pemimpinnya, ya ampun. Buat sakit kepala rasanya."

Jane masih mempelajari dokumen yang ada di hadapannya sampai jam makan siang tiba. Dia keluar ruangan dan mendapati tidak ada orang yang ada di sini.

"Makan siang bersama.".

Tiba-tiba muncul Nakula. Wajahnya menyeringai tidak berdosa.

"Bisa tidak sih tidak perlu mengejutkan seperti itu. Kalau aku kena sakit jantung bagaimana hah?" semprot Jane tanpa pandang bulu. Meski pun itu bos barunya sekali pun.

"Maaf Sayang, tidak sengaja buat terkejut. Ayo buruan, aku lapar."

Tanpa repot-repot menunggu, tangan Jane sudah ditarik oleh Nakula, dia begitu posesif. Untung saja kantor sepi dan tidak ada yang melihat mereka.

"Nakula lepaskan deh. Aku tidak suka ditarik-tarik seperti ini," ucap Jane gelisah.

Tentu saja dia takut akan dipergoki orang lain.

"Oke, aku akan lembut. Kau memang suka kelembutan kan? Nanti aku mainnya yang lembut-lembut saja. Tidak yang kasar-kasar deh."

Jane mencubit lengan Nakula dengan keras. Kalimat Nakula terdengar begitu ambigu. Benar-benar menyebalkan.

"Kau tidak perlu bicara yang aneh-aneh deh Nakula."

Mereka tiba di parkiran gedung. Nakula mengajak Jane untuk menuju ke mobilnya.

"Weh mobil baru ini?" ucap Jane yang baru pertama kali melihat mobil berwarna merah ini.

"Mobilku banyak di rumah Jane. Kau mau yang mana?" ucap Nakula jumawa.

Jane malas mendengar kesombongan dalam diri Nakula. Dia masuk cepat-cepat dan menutup mobil dengan keras.

"Astaga, kau mau merusak properti."

Nakula terkekeh sendiri. Dia melihat wajah Jane ditekuk, tapi tetap enak dipandang. Dia juga tetap terlihat cantik di mata Nakula.

"Oh ya, kau berangkat kerja, naik apa?" tanya Nakula sambil fokus mengemudi.

"Naik taksi," ucap Jane singkat.

"Oh, kekasihmu tidak menjemput?" sindir Nakula lagi.

"Tidak. Dia sibuk, pilot soalnya," ucap Jane asal.

"Kewarganegaraan apa?" tanya Nakula lagi.

"Selandia Baru."

Jane begitu asal menjawab. Entah mengapa juga dia berkata seperti itu. Mungkin karena pertanyaan Nakula yang membuat panas dingin, jadi apa yang ada di otaknya tidak sinkron.

"Kenal di mana?"

Nakula bertanya dengan dingin. Berbeda dengan sebelumnya yang terkesan ramah.

"Apa sih tanya-tanya. Terserah aku dong mau kenal di mana juga. Lagi pula, kau katanya tahu semua tentangku. Untuk apa tanya-tanya lagi."

Jane sudah menahan kesal setengah mati. Punya bos yang merupakan mantan kekasih begitu sulit baginya.

"Ya aku ngetes aja. Lucu juga jawabanmu."

Nakula terkekeh geli. Dia pikir setelah ketahuan, Jane akan lebih jujur. Tapi ternyata sama saja. Bahkan jawabannya begitu asal.

"Ya itu tahu. Kalau masih mau tanya-tanya lagi, resign aja jadi CEO. Beralih profesi jadi wartawan lebih berguna itu mulut."

"Astaga Jane, kasar sekali sih. Apa sebegitu bencinya sama aku hei."

Jane melipat mulutnya ke dalam. Dia tidak berpikir untuk bisa sekasar ini dengan orang lain. Apa lagi ini Nakula yang juga atasannya di kantor.

"Eh aku tidak bermaksud—"

"Sudah ayo turun. Aku sudah begitu lapar."

Nakula sudah kembali seperti biasa. Dia bahkan memutar tubuh untuk membukakan Jane pintu.

"Kau terlalu lama. Ayo Sayang kita keburu jam makan selesai."

Nakula mengulurkan tangannya. Mau tidak mau, Jane ikut menyambut tangan tersebut. Mereka berjalan bersisian ke dalam restoran.

Jane memandangi wajah Nakula yang menurutnya sangat tidak bisa ditebak. Terkadang hangat seperti ini, terkadang dingin. Tidak jarang juga perhatian dan tidak acuh di saat yang beriringan.

Jane akui, begitu sulit menebak perasaan Nakula. Bahkan saat dulu mereka bersama.

***