Setelah ucapannya yang sangat aneh dan membuatku merinding itu, aku mau tak mau langsung bersikap waspada. Sejak tadi kami makan dalam diam, beberapa kali aku melihat ke arah wajah Xavier yang tetap tenang dalam situasi apapun, bahkan terlalu tenang dan hal tersebut membuatku seperti dicekik hingga kehabisan nafas.
Makan malam kami berakhir, kini Xavier mengajakku ke arah sofa yang berada di ujung dek kapal, angin malam terasa lebih tenang, walaupun aku memakai gaun terbuka tapi tak terasa dingin sama sekali.
Bagaimana bisa aku merasa dingin, saat tubuhku bertindak aneh dan sepanjang waktu terasa panas! Ahhh.. apakah karena Xavier?
"Lihatlah ke atas sana." Ucapan Xavier membuatku langsung menatap ke atas, betapa terkejutnya diriku saat melihat hamparan bintang-bintang yang bertaburan di langit malam.
Indah sekali!
Tanganku saling berpegangan satu sama lain, keindahan bintang-bintang membuat suasana hatiku mulai tenang.
"Ada banyak bintang di langit malam, menurutmu mana yang paling indah?" Pertanyaan Xavier sedikit membuatku bingung, bagaimana bisa aku memilih salah satu bintang yang paling indah? Saat bintang-bintang itu menjadi indah karena bersama-sama, mereka saling menerangi satu sama lain.
"Aku tidak bisa memilih, bintang-bintang itu indah karena mereka selalu bersama. Satu bintang saja tak akan membuat langit menjadi indah." Kataku.
"Ya, kau benar. Kita tak bisa memilih salah satu bintang yang paling indah. Karena mereka indah saat bersama-sama. Seperti dirimu, kamu indah saat kamu bersama dengan diriku." Mendengar kalimat konyol dari bibir Xavier, aku hampir terbatuk-batuk karena terkejut. Namun aku mencoba menahan diri, apa-apaan dia? Apakah dia sedang menggombal?
Tapi tidak membuatku tersipu sama sekali!
"Hah?" Aku tak bisa bereaksi hal lain saat ini. Kenapa? Karena aku pikir hal seperti ini memang tidak lucu!
"Kau indah saat bersamaku, apakah kau tak sadar hal itu?" Tanyanya lagi.
"Tidak! Aku indah karena aku sendiri."
"Padahal sebelumnya kau bilang, bintang akan sangat indah saat bersama-sama."
"Ya, tapi aku tidak seperti bintang. Aku seperti bunga mawar merah di musim panas, walaupun sendirian tetap indah dan tetap harum. Itulah aku!" Kataku dengan yakin
"Kau yakin? Karena bunga mawar yang sendirian akan mati layu dengan sangat menyedihkan pada akhirnya." Ucapan Xavier lagi-lagi membuatku tak bisa berpikir jernih, dia benar! Bunga mawar akan mati layu dengan sendirian. Apakah aku akan seperti itu?
Aku akhirnya terdiam, aku tak bisa menjawab pernyataan yang diungkapkan saat ini.
"Stella, maukah kau jadi ibu dari anak-anakku?" Saat Xavier mengatakan hal tersebut, suara denting piano yang merdu dan angin malam yang tiba-tiba bertiup pelan, menerbangkan rambutku dengan lembut.
Xavier menekuk satu kakinya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin, di dalam kotak itu terdapat berlian indah yang aku tahu harganya pasti sangat mahal. Apakah dia memakai uangku untuk melamar diriku?
"Stella, maukah kau jadi ibu dari anak-anakku? Berjalan bersamaku? Mendampingi aku, menjadi istriku satu-satunya?" Sekali lagi dia bertanya dengan nada yang sangat pelan, namun mampu membuatku merinding hebat!
Matanya yang seperti kelereng itu menatap mataku tanpa berkedip sama sekali. Suara piano juga semakin mengalun merdu bersama angin malam.
"Selama kau menepati janjimu, maka aku akan menyetujui apapun yang kau inginkan." Tanpa sadar aku berucap hal itu, tak lama Xavier menyematkan cincin ke dalam jari manisku. Aku memperhatikan cincin itu beberapa saat, tak lama setelahnya Xavier bangun dan merangkul pinggangku, aku sedikit tersentak kaget saat merasakan kehangatan dan rasa posesif dari tubuhnya.
"Kalau begitu, kau resmi jadi wanitaku. Di dalam rahimmu nanti akan aku berikan semua benih dari anak-anakku, aku akan memberikan buah terbaik untuk kau jaga dengan baik. Anak-anakku, akan mendapatkan ibu terbaik dalam hidup mereka. Kau akan jadi ibu yang luar biasa." Dia berbisik dengan sangat sensual, aku yang mendengar hal tersebut mau tak mau mengangguk.
Entah kenapa, ucapannya ini seperti memerintah dengan cara yang baik. Dia memuji diriku, bahwa aku bisa jadi ibu yang baik. Sejak kapan sebenarnya aku mau menjadi seorang ibu?
"Ya, lalu?" Tanyaku dengan pertanyaan bodoh.
"Kita akan melakukan penyatuan, kita akan saling memeluk satu sama lain dan memberikan hasrat masing-masing." Kata Xavier lagi.
"Sekarang?" Tanyaku.
"Ya, tapi tidak disini." Ujar Xavier padaku.
"Lalu dimana?" Aku menatap ke arah ujung bibirnya, saat lelaki itu bicara, bibirnya terlihat lebih seksi!
"Disana." Ucapan Xavier membuatku langsung menengok ke arah yang dia katakan. Di depan kami ternyata ada pulau yang cukup sepi.
Kapal pesiar ini terparkir tiba-tiba, aku merasakan Xavier langsung menggendong tubuhku dengan perlahan, dia menyentuhku dengan sangat hati-hati, aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Aku hanya tahu bahwa dia meminta penyatuan! Apakah aku semudah itu diajak melakukan Sex?
Sebenarnya, dia suamiku. Jadi tak masalah, tapi? Dia? Aahhhh! Aku tidak peduli, saat ini aku akan mengiyakan saja apapun yang dia inginkan.
Kenapa? Karena sebenarnya ujung vagiku sudah berkedut tak karuan, aku mau memujanya dan aku ingin dia juga memuja diriku. Aku mau terbaring di bawah tubuhnya, merasakan kekuatan darinya, aku juga mau mengerang hebat hingga aku lupa diri.
Aku ingin Xaver, dan untuk malam ini saja aku akan menjadi wanita bodoh yang penurut. Aroma tubuhnya membuatku terlena, aku sudah terhipnotis dengan seluruh aroma itu.
"Berikan aku seluruh kehebatanmu!" Kataku yang sudah berbisik manja di telinganya, tak ada yang Xavier ucapkan. Dia sibuk membawaku entah kemana.