Bara yang sudah siap dengan semuanya mulai berjalan menuju garasi untuk mengambil mobil. Malam ini dia lebih memilih menggunakan Bentley dua pintu miliknya, sangat cocok untuk digunakan bersama dengan Yolanda nanti. Bara tersenyum senang. Kekasihnya itu pasti akan semakin terpana dengan dirinya.
Bara melajukan mobil itu dengan kecepatan cukup tinggi mengingat dirinya sempat ketiduran di ruang perpustakaan dan terbangun sudah cukup malam. Dia tidak ingin semakin membuang waktu, setidaknya Bara berharap sesampainya dia di sana, Yolanda belum mengambil waktu makan malamnya karena bagaimana pun juga ini adalah sebuah kejutan dan Yolanda masih sama sekali tidak mengetahuinya.
Bara memarkirkan mobilnya di lapangan terdekat yang terletak tepat di sebelah gang masuk menuju rumah Yolanda. Pria itu sengaja memarkirkan mobilnya di sana karena memang jalan menuju kontrakan Yolanda hanyalah berupa gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua saja.
Bara meraih bucket bunga yang tadi siang sudah sempat dia persiapkan. Lalu mulai menutup pintu mobil itu dan berjalan menuju rumah kekasihnya. Bara mengerutkan kening ketika melihat sebuah sepeda motor terparkir rapi di pelataran rumah Yolanda. Pria itu semakin melangkahkan kakinya mendekat, namun ketika Bara ingin mengetuk pintu, suara desahan seorang wanita mulai terdengar di telinganya.
"Ah, Rio ... aku benar-benar sudah tidak tahan lagi ...." erang wanita di dalam sana. Bara yang mendengar itu sontak melebarkan matanya, dia bahkan sangat mengenali suara wanita itu. Suara yang begitu familiar di telinganya. Tetapi, siapa Rio? Dan, apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana? Membayangkan hal yang tidak-tidak membuat jantung Bara semakin berdebar kencang seiring dengan hatinya yang semakin terasa sesak.
Segera Bara membuka pintu di depannya yang ternyata sama sekali tidak terkunci, lalu pria itu mulai melangkah pelan, mendekati kamar Yolanda. Dan hal mengejutkan pun terjadi. Bara melihat kekasihnya itu sedang berada satu ruangan dengan seorang pria, dengan tubuh mereka yang sama-sama polos, tanpa ada satu helai benang pun yang menutupinya.
Di atas kasur itu, si pria tampak sedang menjilat dan menikmati milik Yolanda. Begitu pula dengan Yolanda yang tampak asik memejamkan mata dan senantiasa mengeluarkan erangan kenikmatan dengan tangannya yang terlihat setia membelai pelan rambut si pria.
"Ka-- kalian?" seru Bara begitu terkejut dengan apa yang dia saksikan kini. Kekasihnya yang selama ini dia jaga dan dia cintai, mengkhianatinya begitu saja? Padahal Yolanda selalu tampak mencintai dan juga perhatian kepadanya.
Sementara Yolanda dan teman pria-nya seketika menghentikan aktivitas mereka kala mendengar teriakan Bara. Keduanya sontak membuka mata dan menoleh ke arah sumber suara.
"Ba-- Bara??" Yolanda membulatkan mata kala melihat siapa yang berkunjung ke rumahnya itu. Lalu tanpa sadar wanita itu menggertakkan giginya. Biasanya jika ingin berkunjung, Bara pasti akan mengabarinya terlebih dahulu. Lagi pula bukankah pria itu sedang sakit? Bagaimana bisa dia ada di kontrakannya sekarang? Dan juga, bagaimana pria itu bisa masuk? Pikiran Yolanda seketika berkecamuk.
Namun ingin bagaimana lagi? Dirinya bahkan sudah tertangkap basah. Tepat, sebelum dia mendapatkan pelepasannya. Hal itu justru membuat Yolanda semakin merasa sebal, sudah hampir satu minggu dia berusaha menahan rasa ingin itu, dan sekarang, setelah dirinya hampir mencapai puncak pelepasan, Bara datang begitu saja lalu menghancurkan semuanya.
"Oh, jadi kau sudah melihatnya?" Yolanda turun dari ranjangnya, menampakkan tubuh polosnya yang begitu indah.
"Yah, kita ketahuan sayang ...." ucapnya lagi seraya membelai lembut dagu pria di sampingnya.
"Tutuplah tubuhmu, sayang." ujar pria itu berusaha menutupi tubuh Yolanda dengan selimut di tangannya.
"Apa yang kau lakukan dengannya?" seru Bara semakin murka saat melihat reaksi Yolanda yang bukannya meminta maaf atau merasa bersalah karena telah mengkhianati dirinya, namun wanita itu justru tampak biasa saja.
Yolanda mengembangkan senyum remeh kala mendengar pertanyaan Bara. "Apa yang kami lakukan?" Yolanda mengangkat sebelah alisnya. "Tentu saja bercinta!" terangnya begitu gamblang seolah ingin memperjelas semuanya.
Di sisi lain, jantung Bara semakin berdebar tidak karuan. Dia sama sekali tidak menyangka jika Yolanda justru akan berbicara sefrontal itu kepadanya. Padahal, dibayangannya Yolanda akan menangis dan memohon maaf, lalu mengucapkan janji untuk tidak akan mengulangi hal hina itu lagi. Namun dugaan Bara ternyata salah, bahkan rasa bersalah sama sekali tidak tampak di raut wajah kekasihnya itu.
Padahal, seandainya Yolanda ingin memohon sedikit saja, Bara sudah pasti akan luluh dan memaafkannya, karena rasa cinta yang sudah terlanjur besar kepada wanita itu.
"Mak-- maksudku ...." Bara memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur suara dan rasa terkejutnya.
"Selama ini aku bahkan mati-matian menjaga dirimu, Yolanda. Tetapi kenapa kau justru melakukan hal hina ini dengannya?" ucap Bara begitu menggebu.
Yolanda kembali mengembangkan senyum remehnya. "Hal hina katamu?" wanita itu memicingkan matanya. "Oh ya, hahaha ... Aku melakukan ini karena aku memang menyukainya, sayang." Yolanda menjeda sejenak ucapannya.
"Ya, aku memang menyukai hal hina." lanjut wanita itu dengan penuh penekanan.
Sementara pikiran Bara semakin kalut. Padahal dirinya selalu berusaha menjaga Yolanda. Jangankan mencium, bahkan untuk menyentuh tangan Yolanda saja Bara perlu keberanian lebih untuk melakukannya.
Lagi pula, setau Bara kekasihnya itu bukanlah orang yang senang dengan sentuhan. Bahkan setiap kali dia berusaha meraih tangan Yolanda, wanita itu tidak akan segan untuk marah kepadanya. Lalu sekarang, kenapa Yolanda justru melakukan hal seperti itu dengan pria lain?
"Tetapi, kenapa kau justru melakukannya dengan pria lain? Kau-- kau bahkan selalu marah jika tanganku menyentuhmu," Bara mengutarakan isi hatinya.
Sejenak tampak Yolanda menghela napas jengah, "Tentu saja aku tidak ingin kau sentuh. Aku memang suka melakukan hal hina. Namun bukan berarti aku akan mau melakukan hal ini denganmu. Kau pasti punya cermin di rumah. Harusnya kau menggunakan benda itu dengan sebaik mungkin, Bara. Selama ini aku bertahan denganmu karena aku membutuhkan uangmu. Itu saja. Dan satu hal yang perlu kau tau, aku tidak mungkin merusak wajah calon keturunanku dengan berhubungan badan denganmu. Sekarang pergilah. Ada sesuatu yang harus aku tuntaskan dengan kekasihku." terang Yolanda begitu panjang. Tanpa sadar bahwa ucapannya itu benar-benar melukai hati Bara.
Menuntaskan dengan kekasihnya? Lalu apa dia selama ini untuk Yolanda? Hanya sebuah mesin ATM berjalan?
"Sayang, kau tidak perlu sekejam itu kepadanya." ucap pria di samping Yolanda dengan begitu lembut. "Lagi pula bagaimana dengan seluruh biaya hidupmu nanti?"
"Biarlah, biar dia sedikit tau diri." balas Yolanda lalu mengecup pelan bibir pria itu. Tepat di depan Bara. "Dan kau ... kau tidak perlu khawatir tentang biaya hidupku. Tugasmu sekarang adalah memuaskanku, sayang. Aku begitu merindukan semua permainan darimu." imbuh Yolanda yang kini mulai mengecup pelan area wajah pria di depannya itu. Namun sesaat pria itu menghentikan aksinya.
Seolah tau hal apa yang tengah pria di depannya itu khawatirkan, segera Yolanda memutar tubuhnya kembali, ke arah Bara.
"Kau tidak pergi juga?" bentak wanita itu yang mulai merasakan kembali gejolak di dalam tubuhnya mulai menggebu, namun dia dapati Bara masih setia berdiri di depan pintu kamar miliknya.
Bara yang mendengar gertakan itu sontak terkesiap dari tempatnya. Pria itu meneguk ludahnya sejenak, lalu perlahan mulai melangkah mundur. "Ba-- baiklah ..." gagapnya yang segera pergi dari tempat itu.
Bara menutup pintu di depannya dengan begitu keras, lalu mulai melangkah gontai menuju jalan setapak di depannya. Hatinya begitu remuk mengetahui kenyataan yang ada. Bahkan rencana yang dia bangun seharian ini seolah runtuh begitu saja.
Sepanjang jalan yang bisa Bara lakukan hanyalah menangis dalam diam, gang itu begitu sepi, hanya ada beberapa suara serangga kecil, dan lampu jalan yang sedikit remang menerangi setiap langkahnya. Air mata Bara kembali menetes, meratapi nasib hatinya yang selalu dipatahkan oleh wanita. Apakah dia seburuk itu? Hanya karena berkacamata, bukan berarti dia pantas untuk dihina, kan?