Reon Jimmysts
Ana sudah duduk berhadapan dengan Reon yang menatapnya dengan kedua tangan yang di letakkan pada depan mulut seolah akan kembali berpikir lagi sebelum berbicara padanya.
Tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya atau ada masalah yang menimpa tak dalam awasannya sehingga ia tidak mengerti dengan situasi ini.
Bahkan, Ana sampai mencengkram dengan erat seragam kerjanya. Ia hanya takut ada masalah yang membuatnya keluar dari tempat kerjaan, apalagi mengingat bagaimana teman-teman di kitchen tadi menatapnya bahkan seolah menjauh darinya.
Ana melakukan eye contact karena ini kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika mengobrol dengan orang yang harus ia sopani, ya jika menatap ibu-ibu tukang gosip di rumahnya, untuk apa melakukan eye contact?
"Sebelumnya maaf jika menyela, tapi ada perlu apa Bapak memanggil saya?" Ana menjaga setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, bahkan nada bicaranya terbilang lembut dan menurun tapi bukan menggoda, catat.
Reon seperti selesai berpikir, setelah itu ia menurunkan tangan yang berada di area mulutnya tadi. Terdengar helaan napas yang keluar dari mulutnya juga seolah-olah memberikan tanda kalau dirnya memang benar-benar tidak tau harus memulai dari mana.
"Saya sebenarnya tidak percaya dengan ini, makanya itu langung memanggil mu kesini supaya saya dapat melihat setiap raut wajah yang kamu tampilkan saat menjawab perkataan ku nantinya."
Mendengar pengawalan apa yang di katakan oleh Reon menjadikan Ana langsung memiliki pikiran yang bercabang, ia menatap laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi di restoran ini. "Maaf sebelumnya ya Pak, tapi ini masalah tentang apa, ya? Apalagi tadi hawa di bawah gak enak banget, atau saya buat kesalahan dengan kalian semua?"
Sejak dulu, Ana memang terkenal karena mudah menyesuaikan pembicaraan dengan sekitar, bahkan ia juga dekat dengan owner restoran ini bukan karena ia pandai caper atau biang onar.
"Semuanya tidak ada yang mau menjelaskannya pada saya, bagaimana saya bisa mengerti?" Ana berusaha untuk mengontrol karena ia juga takut mengenai kemungkinan pertama kenapa ia di panggil kesini karena jika benar dirinya ingin di pecat, itu sangat tidak lucu.
Walaupun lingkungan kerjanya yang sekarang bisa terbilang tocix, tapi tidak menjadikannya memiliki alasan untuk keluar dari kerjaannya ini karena tingkah laku mereka kepadanya.
Reon menganggukkan kepala, ia meraih ponsel dan memilih untuk mencari sesuatu terlebih dulu sebelum kembali berbicara pada wanita yang ada di hadapannya.
Ana menunggu, rasa cemas semakin menguasai hatinya. Ia takut kalau… kalau dirinya ini ketahuan kedapatan kerjaan yang memang menurunkan martabat wanita, tapi tidak ada pilihan lain bagi wanita yang memiliki kehidupan seperti dirinya.
Ana sibuk menundukkan kepala bahkan Reon masih mencari apa yang katanya ingin di tunjukkan yang mungkin mencari bukti?
Dadanya deg-degan, dan kini keringat dingin menguasai tubuhnya bahkan semakin keras ia mencengkram kedua tangannya satu sama lain.
"Ini, lihat saja sendiri kalau saya memiliki bukti yang valid mengenai apa yang kamu lakukan, Ana."
Mendengar itu, Ana segera menaikkan pandangan bahkan ia mengerjapkan mata karena apa yang ia tunggu-tunggu akhirnya di perlihatkan juga.
Reon menjulurkan ponsel ke arah Ana, dan dengan tangan yang terlihat gemetar ia mengambil ponsel tersebut dengan ragu.
Apakah disini akhiran dari pekerjaan yang selalu ia giati? Apakah mungkin setelah ini ia harus mencari pekerjaan baru untuk kedok menutupi pekerjaan sampingan yang membuatnya memiliki banyak uang? Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi kedepannya, bahkan Ana hanya mengira-ngira takdir hidupnya.
Setelah itu ponsel Reon sudah berada di genggaman tangannya dan kini Ana menatap layar ponsel yang memperlihatkan wajahnya.
"Video?"
Mengetahui itu, Ana kebingungan dan tidak terlalu paham dengan keadaan disini.
"Iya, silahkan di play." Reon menganggukkan kepala, mengiyakan apa yang di katakan oleh Ana kepadanya.
Ana menekan tombol play yang ada di layar, setelah itu ia menganggukkan kepala kala mendengar perintah yang di suruh Reon.
"Hari ini, hari yang kau tunggu, bertambah satu tahun, usia mu, bahagialah kamu."~
Dor!
Tiba-tiba isi dari Party Popper melayang ke udara.
Ana terkejut dengan semua ini bahkan ia sampai mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, ia tidak habis pikir kalau ternyata mereka melakukan semua ini untuk ulang tahunnya?
Tunggu sebentar, apa? ulang tahunnya? Apa dirinya tidak salah menyangka?
Ana mengedarkan pandangan. Ia bisa melihat ada Sasa, Ilham, Chef Roy, Chef tora dan juga beberapa yang lainnya namun tidak lengkap karena kemungkinan sisanya bertugas untuk tetap mengurus orderan mumpung resto cukup sepi karena biasanya akan ramai di malam hari.
Tunggu sebentar, apa? ulang tahunnya? Ana mengerjapkan mata, ia benar-benar lupa kalau ternyata ini adalah hari spesialnya.
Ana terharu, ia mengerucutkan bibirnya kala melihat semua yang ada disini bertepuk tangan menyanyikan lagu selamat ulang tahun versi Jamrud yang sangat enak di dengar.
Belum lagi, kini Ana melihat Chef Tora yang berjalan ke arahnya dengan membawa kue ulang tahun yang tampak menggiurkan itu.
Ana tersenyum dengan cukup lebar, ia tidak pernah mendapatkan surprise seperti ini dan ini adalah pertama kalinya yang ia rasakan.
"Makasih banyak, guys… Termasuk Pak Reon yang udah pertisipasi."
Ternyata bukan ada hal yang aneh atau masalah yang menimpanya dan ini hanyalah prank yang biasa di lakukan oleh orang yang ingin memberikan kejutan, Ana tersentuh bahkan sekarang di ujung matanya terlihat air mata.
Terakhir kali dirinya di berikan kejutan adalah di saat tau ibunya menjadi wanita malam dan ketahuan oleh ayahnya dan itu menjadi pagi hari yang paling berarti untuk menghancurkan kehidupannya.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya."
Tanpa perlu beranjak dari duduk, kini Chef Tora menyodorkan kue ke hadapannya. "Selamat ulang tahun…"
Dan di penghujung nyanyian, Ana meneteskan air mata dari sudut matanya.
"Make a wish!" Seru mereka yang ada disini.
Mendengar itu, Ana menganggukkan kepala dan mulai memejamkan kedua mata untuk melakukan pengharapan yang harus di lakukan memang setiap bertambahnya usia.
Setelah itu, Ana membuka mata dan langsung saja tersenyum dan meniup lilin yang ada di depannya.
Setelah api dari lilin redup, suara tepuk tangan di sekelilingnya menjadikan tanda kalau mereka juga senang dengan perayaan kecil-kecilan ini.
Ana beranjak dari duduknya, ia memeluk semuanya satu persatu namun bukan pelukan erat yang terlalu dekat, hanya pelukan formal.
"Terimakasih, semuanya. Aku gak tau mau bales dengan cara apa, tapi ini sangat berarti…"
Wajar saja ia sendiri tidak tau hari spesial yang kini menjadi hari dimana usianya bertambah, keluarganya saja tidak melakukan banyak hal yang membangkitkan ingatan karena sudah lama ia berpikir kalau hari ulang tahun adalah hari yang patut untuk di hindari.
…
Next Chapter