"Tidak. Keputusan ku sudah bulat, Tuan Denish."
"Baiklah, aku antar atau tidak sama sekali?"
…
"Ngapain?"
"Mau ikut masuk ke rumah kamu, lah."
"Enggak, lo pulang sana. Dengan lo nganterin sampai depan rumah kayak gini aja udah narik gosip baru pagi besok,"
Ana memutar kedua bola matanya, ia melepaskan helm yang di pinjami oleh Denish. Lalu meletakkannya di kaca spion. "Makasih, itu helmnya masih mulus." Ia berkata.
Mendengar itu, Denish menaikkan sebalah alisnya. "Ambil aja, helmnya sengaja buat kamu."
"Loh?" Ana membeo. Ya memang sih helm yang di pinjamkan oleh Denish berwarna sangat mencolok, pink muda. Namun, ia tidak expect kalau helm ini akan di berikan kepadanya.
Denish mengangguk. "Bawa aja, helm baru, kemarin aku ngukur kepala kamu."
Ana menganga. Tidak bisakah Denish si Tuan kaya raya tampan ini bertindak tidak random yang berakhir menghamburkan uang untuknya?
Belum sempat Ana mengeluarkan kalimat dari dalam mulutnya, sekarang ia dapat melihat dengan jelas kalau Denish turun dari motor besarnya yang sangat ganteng —ya, kalian tau kan definisi motor ganteng?—, sambil membawa helm yang tadi dirinya gunakkan.
"Setidaknya mereka harus tau kamu memiliki pacar." celetuk Denish.
Mendengar itu, Ana kebingungan. "Mereka? Siapa yang kamu sebut dengan mereka? Dan siapa yang mengatakan aku punya pacar?"
Denish dengan tatapan yang masih berwibawa dan orang yang sekali menatap ke arahnya langsung bisa menyimpulkan kalau dirinya adalah laki-laki yang ber-uang, itu langsung saja menunjuk ke arah rumah Ana. "Biarkan aku bertamu, setidaknya orang rumah tidak khawatir kalau kamu bersama ku." Ia berkata.
Mendengar itu, menjadikan Ana menganggukkan kepala. Belum lagi, kini Denish terlihat memegang paper bag besar yang berisikan semua hadiah ulang tahun yang di berikan laki-laki itu kepadanya.
"B-baiklah." Memang benar. Ia tidak sopan, tidak menawarkan Denish untuk mampir ke rumahnya, yang padahal kalau jarak tempuh bolak balik akan memakan waktu dan juga lelah di perjalanan.
"Motornya jangan di tinggal di jalanan, Pak. Banyak maling di daerah sini,"
"Pak?" Denish mengulang sambil melemparkan tatapan tajam pada Ana yang memanggilnya seperti karyawannya di kantor.
Ana yang mendapatkan tatapan itu pun hanya nyengir sambil menjulurkan lidah. "Wlek!" Setelah itu ia berjalan ke arah Denish untuk mengambil alih semua barang-barang yang ada di tangan laki-laki tersebut. "Kamu masukin motor, biar aku yang buka gerbang."
Sesampainya mereka di teras rumah Ana…
Bruk!
"Kenapa?" Denish berbalik badan dan mendapatkan pelukan mesra dari Ana. Ia sangat tidak masalah di perlakukan seperti ini, namun bisa jadi ada orang yang menganggap sentuhan mereka sebagai sesuatu yang… belum di wajarkan.
Ana menggelengkan kepala, ia hanya ingin menghirup parfum yang melekat dengan sangat baik tubuh Denish. Ia tidak siap, tidak pernah siap membawa laki-laki ke rumahnya. Ini bukan perihal dimana ia tidak suka dengan lawan jenis, bukan begitu dan sudah sangat jelas tidak seperti itu.
Ada satu hal yang dirinya takutkan.
Throwback
Pluk
"Huh?"
Ana mendongak ke atas, dan dirinya melihat ada botol minuman yang menempel di keningnya. "Apa? Gak dingin, gue gak lebay kayak—"
"Kayak cewek lainnya maksud lo? Jangan pick me," dan laki-laki iseng di sampingnya langsung menanggapi dan menjauhi botol minuman itu dari kening Ana.
Mendapatkan perlakuan iseng beserta hinaan kecil, menjadikan Ana menghela napas. "Yakin mau ke rumah gue? Gue gak ada jaminan lo pulang dengan selamat ya?"
"Ya elah, kayak menempug jurang aja rumah lo." Balas laki-laki itu.
Mendengar apa yang di katakan seseorang yang berjalan di sampingnya, membuat Ana tersenyum tipis. Inilah kisah dirinya yang dekat dengan salah satu laki-laki yang masuk organisasi OSIS yang berada di SMA-nya.
"Yang mana rumah lo? Yang cat ungu?"
"Yang cat hijau itu?"
"Atau yang cat merah?"
Menadengar laki-laki tersebut yang menyebutkan ciri-ciri rumah bahkan menunjukkan tangan ke lain-lain tempat karena sedang menebak rumah yang mana yang sekiranya ia ketahui.
Ana menggelengkan kepala, setelah itu mencubit lengan laki-laki itu. "Yang benar saja?! Rumah gue gak terlalu mencolok dengan warna yang lo sebutkan!"
"Terus yang mana?"
"Kepo lo, tinggal jalan doang ikutin gue, susah?"
"Marah mulu setiap hari, pms ya?"
"Bawel."
Sampai pada akhirnya, laki-laki itu menoleh kala Ana berbelok ke sebuah rumah dan mulai mengutak-atik pintu gerbang yang sepertinya terkunci.
"Terbuka, sini masuk." Ana mempersilahkan.
Sampai pada akhirnya, mereka sudah masuk ke rumah Ana dengan keduanya yang masuk dengan mengucapkan salam sopan.
"Akhirnya pulang." bisik Ana sambil menghela napas lelah. Hei, benar, kan? Sekolah itu melelahkan.
"KAK ANAAAAAAA!"
Mendengar itu, sudah pasti yang mendengar langsung menolehkan kepala ke sumber suara, termasuk Ana dan 'teman' laki-lakinya. Entahlah, ia sedikit menaruh rasa pada lawan jenisnya itu, sungguh selalu mendebarkan setiap laki-laki tersebut menjahili dirinya.
Mendengar itu menjadikan Ana melihat Dipa yang melambaikan tangan ke arahnya. 'Sial, kenapa dia cuma pakai crop top? yang bahkan gak bisa nutupin semua dadanya'. Batin Ana.
Ana menolehkan kepala kepada teman di sebelahnya. "Kenapa lo?" Ia bertanya mumpung Dipa juga masih di lantai dua.
"Itu adek lo?"
"Iya, emangnya siapa lagi?"
"Kok cantikan lo sih?"
"Makasih."
Dalam diam, Ana tersipu.
"Tapi manisan ade lo, nanti pas pulang minta nomornya, ya? Mau gue deketin,"
Deg
Hati Ana… pecah. Ia berada dalam friendzone, dan kini Dipa dengan pesonanya selalu bisa merepot laki-laki yang berkunjung ke rumah mereka. Bukan hanya bisa merebut, tapi adiknya itu selalu akan memiliki status hubungan dengan mereka.
Sejak ini, Ana mengutuk dirinya sendiri untuk tidak lagi membawa laki-laki ke rumah. Ini yang terakhir kalinya…
Throwback off
"Lo mau gak puter balik?" Walaupun sudah sampai di teras rumah, ternyata Ana masih saja memaksa Denish untuk pulang.
Denish mengerutkan kening. "Satu langkah lagi bisa masuk rumah kamu loh." Ia berkata, karena ia hanya penasaran saja kenapa Ana bersikukuh.
"Gak mau, aku lupa kalau di rumah gak ada orang dan aku gak mau kalau tetangga mikir aneh-aneh." Ana berkata dengan tergesa-gesa sambil melepas pelukannya pada tubuh harum maskulin milik Denish. Ia langsung beralih menjadi berada di depan laki-laki itu dan berusaha untuk mendorong tubuh yang sangat kekar. 'Dia berat banget, badan gue yang se-kelingking bisa mental nih' batinnya.
Ceklek
"Ayo pergi, aku antar—"
"Kak Ana! Lho? Sama pacarnya?"
Tubuh Ana menegang, dan Denish pun menatap wanita yang barus saja keluar dari dalam rumah dan membuka pintu dengan tatapan yang menuju ke arahnya.
…
Next chapter