Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Delete09

🇮🇩Fit_
--
chs / week
--
NOT RATINGS
19.1k
Views
Synopsis
Naskah ditarik, pindah ke platform lain.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Unit 202

4 Januari 2018.

"Subjek A31 sedang menjalani amputasi tangan kanan dan kaki kiri."

Pria yang mengenakan jas laboratorium itu menyerahkan sebuah papan kayu yang sudah ditempel data pribadi subjek penelitian. Kepala laboratorium yang ada di depannya mengangguk. Ia mengambil alih papan tersebut dari tangan anggotanya.

Suasana ruangan dengan keliling 60 meter persegi kala itu sangat ricuh. Jeritan dari subjek yang kesakitan ditambah suara ledakan bom dari lapangan penelitian, benar-benar menambah rasa takut siapa pun yang masuk ke kawasan tersebut.

"Sambungkan tangan kanan di kaki kirinya," ujar kepala laboratorium.

Anggotanya itu mengangguk cepat. "Lalu bagaimana dengan kaki kirinya yang sudah diamputasi?"

"Sambungkan saja ke hewan."

Setelah itu, kepala laboratorium yang sangat dikenal dengan nama Dokter Ben keluar dari ruangan tersebut. Ia memperhatikan semua kandang yang berjejer di setiap lorong. Banyak sekali jenis baru yang sudah dibuat oleh unit tersebut.

Salah satunya manusia berkaki beruang.

Jenis yang itu baru saja selesai pada tanggal 24 Desember 2017. Kala itu, musim dingin di California benar-benar melancarkan aksinya. Beruang yang ada di sekitar bisa dengan mudah diburu untuk diambil kakinya. Setelah itu, mereka memotong kaki subjek dan menyambungnya dengan kaki hewan tersebut.

Apakah manusia itu mati?

Jawabannya tidak. Ia masih tetap bertahan hidup walau dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

"Bagaimana dengan suntikan sifilisnya?" tanya Ben saat memasuki ruangan yang ditutupi pagar besi.

Wanita berambut kuncir kuda yang tengah memegang keranjang penuh jarum suntik itu tersenyum manis. "Sudah kami suntik ke beberapa wanita."

Ben membuka salah satu tirai yang ada di depannya. Nampak lebih dari lima orang wanita hamil yang tengah tertidur. Mereka sudah terjangkit sifilis melalui suntikan. Pria itu tersenyum puas. Ia menyerahkan papan kayu yang ada di tangannya pada wanita yang bertugas di ruangan tersebut.

"Ini data dari ruang amputasi. Tolong buat data untuk ruang penyelidikan sifilis dan penyakit lainnya. Jangan lupa untuk memberitahukan perkembangan dari setiap subjek."

Wanita itu mengangguk dengan tegas. Lalu Ben segera keluar dari ruangan tersebut. Ia terus menelusuri lorong panjang yang membelah setiap ruang penelitian. Cahaya dari lampu berwarna merah itu membuat suasana menjadi sangat mencekam. Tujuannya kali ini menuju ke lapangan penelitian. Salah satu tempat kesukaannya untuk melihat efek radiasi dari bom buatannya.

Ben mendorong pintu kayu yang ada di hadapannya. Senyumnya langsung merekah, terutama saat melihat beberapa subjek yang sudah terkapar di tanah. Keadaan sekitarnya berantakan, bahkan pagar besi yang mengelilingi tempat itu mengalami sedikit kerusakan.

"Efek ledakannya terlalu kuat, Dokter," ujar salah satu pria yang ditugaskan menjadi pengawas di tempat tersebut.

Ben menganggukkan kepalanya. "Berapa subjek yang masih bertahan?"

Pria itu menunjuk beberapa subjek yang masih bernapas. Beberapa dari mereka sudah kehilangan organ gerak, baik kaki ataupun tangan. Apalagi yang berdiri cukup dekat dari tempat diletakkannya bom, bentuknya sudah tidak terlihat lagi. Pasti tubuh subjek itu sudah hancur saat bom meledak.

"Catat berapa jarak yang terkena ledakan. Setelah itu coba untuk menggunakan C2 dengan 5 subjek yang diikat dalam jarak 2 meter," ujar Ben.

"Tapi kita baru saja meledakkan C2 beberapa menit lalu." Pengawas itu nampak enggan melakukan perintah dari kepala laboratorium tersebut.

"Ikuti semua perintahku atau kau yang akan berdiri di dekat C2!"

Pria yang hanya menyandang tugas sebagai pengawas itu menundukkan kepalanya. Ia terlalu takut kalau dibuat menjadi salah satu dari subjek penelitian tersebut. Unit yang didirikan lebih dari 10 tahun itu benar-benar terlihat seperti neraka di matanya.

"Jangan lupa untuk memberikan data terkait subjek yang masih bertahan. Saya ingin melihat perkembangan semuanya," titah Ben.

Dokter Ben, begitu terkenal dengan sikapnya yang tidak pandang bulu. Semua orang yang sudah memasuki kawasan unit 202, tidak akan bisa keluar. Baik itu tahanan maupun pengawas.

Pria itu meninggalkan lapangan yang sudah terlihat seperti kapal pecah. Ia melangkahkan kakinya menuju pintu besi yang ada di ruang bawah tanah. Begitu pintu terbuka, nampak hamparan tanah yang luas dan ditumbuhi ribuan pepohonan. Berbeda dengan keadaan di atas sana, suasana di tempat ini begitu sejuk dan dipenuhi hawa kehidupan yang tenang.

Namun tanpa diduga, salah satu pengawas yang ada di lapangan itu mengikutinya. Pria itu berhasil keluar walau harus merelakan kakinya sedikit mendapat luka karena terjepit pintu yang hampir tertutup secara otomatis. Ia tidak menyangka masih bisa melihat pemandangan hijau setelah lebih dari 7 tahun terkurung di neraka.

"Bagaimana? Apa kalian sudah menemukan lokasi untuk mencari pasien?"

Pengawas yang melarikan diri itu langsung bersembunyi dibalik pohon besar. Ia mendengar dengan jelas perbincangan Ben dan empat orang tentara.

"Kami sudah mendapatkan tempat yang cocok untuk itu, Dokter."

Ben mengangguk dengan senang. "Bagus. Kapan kita bisa menjemput mereka?"

"Saat ini, nama unit 202 masih melekat jelas di ingatan orang banyak. Kemungkinan kita bisa ke sana tahun 2020. Saat itu, pasti semua orang sudah lupa. Jadi kita bisa menculik siapa pun yang ada di sana."

Ben mengernyit. "Memangnya ke mana tujuan kita kali ini?"

"Tentu saja kota yang ramai penduduk. Tidak mungkin kita mencari orang di Buford."

~~~

13 April 2020.

"Dongeng yang bagus, Jeremy."

Pria yang tengah duduk di depan laptopnya itu hanya menggelengkan kepala. Sedari tadi, teman sekamarnya itu terus menceritakan tentang unit 731. Padahal ia tidak dibayar untuk mendengar ocehan temannya tersebut.

"Hei, Gill. Ini bukan dongeng! Bahkan ada filmnya!"

Pria bernama Gill Nath itu langsung mengusap wajah temannya. Ia tertawa begitu keras hingga suaranya memenuhi seisi kamar. Jeremy hanya mendengus, ia mengambil alih laptop yang ada di depan temannya tersebut.

"Hei, hei! Mau apa kau?!" tanya Gill dengan panik.

Jeremy tersenyum miring. "Kita cari keberadaan unit 202 yang katanya terobsesi dengan unit 731."

"Gila," ujar Gill sembari menggelengkan kepalanya.

Jeremy dengan antusias mengetikkan kata 'Unit 731' di pencarian. Matanya menelusuri ribuan sumber yang membahas tentang unit 731. Saat Gill hendak ikut membaca, ponsel di kasurnya berdering. Pria itu langsung bergegas mengambil benda tersebut.

"Kekasihmu?" tanya Jeremy tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

Gill mengangguk sambil tersenyum. Ia menggeser layar ponselnya. Lalu menempelkan benda itu di telinga.

"Halo, Ma."

"Anak mama," celetuk Jeremy.

"Bagaimana pekerjaanmu di Chicago, Gill?"

Gill tersenyum lebar. Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu dengan orang tuanya. Saat ini mendengar suara mereka bisa sedikit mengurangi rasa rindu.

"Pekerjaanku? Semuanya lancar, Ma. Bahkan sekarang aku punya kerjaan tambahan," jelas Gill.

"Oh ya?" Suara mamanya di seberang sana terdengar bahagia. "Apa pekerjaan tambahanmu? Mengantar makanan?"

Gill menggeleng cepat. "Bukan. Tapi mendengarkan ocehan Jeremy."

"Kau masih tinggal dengan Jeremy?" tanya mamanya.

"Iya." Gill menoleh ke arah Jeremy sekilas. "Sebenarnya aku sangat ingin pindah. Dia berisik sekali."

Mamanya langsung tertawa. "Memangnya apa yang dia bicarakan?"

"Unit 731. Katanya dia mau mencari unit 202 yang terobsesi dengan unit bersejarah itu," jelas Gill.

"Unit ... 202?" gumam mamanya setengah berbisik.

Tiba-tiba terdengar suara dengingan keras yang membuat Gill menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara aneh itu berlangsung cukup lama. Begitu mulai tenang, Gill kembali mendekatkan ponsel ke telinganya. Suasana di seberang sana begitu hening.

"Ma?" panggil Gill.

"Aaaaaaa!!!!"

DOR!!!

Tut ... tut ... tuuut ....

Panggilan langsung berakhir begitu saja. Kini menyisakan Gill yang mematung di tempat. Ponsel di tangannya terjatuh begitu saja. Pria itu menarik napasnya, namun terasa sangat sulit. Ia merasa seluruh udara menghilang.

"A-apa yang sebenarnya terjadi?"