Gill menyambar ranselnya yang tergantung di belakang pintu dengan kasar. Lalu ia memasukkan secara asal pakaian seperlunya. Jeremy yang baru datang langsung ikut merapikan pakaiannya.
"Kau yakin ingin pergi ke Buford?" tanya Jeremy.
Gill menoleh sekilas. Wajahnya langsung bisa menjawab semuanya. Tidak ada raut bercanda di sana. Jeremy mengangguk pelan. Tangannya langsung dengan sigap membawa peralatan yang diperlukan, termasuk P3K yang tidak boleh tertinggal.
Setelah semuanya masuk ke dalam tas, Gill langsung mendorong tubuh Jeremy keluar dari kamar tersebut. Ia mengunci pintu dengan kawat dan meletakkan sesuatu di bawah karpet depan kamarnya.
"Apa itu?" tanya Jeremy.
Gill mengedikkan bahunya. "Hanya berjaga-jaga."
Gill berlari menuruni tangga rumah Jeremy. Begitu tiba di bawah, ia langsung menghampiri ayah temannya tersebut.
"Paman, Jangan berkeliaran di kamar atas sebelum saya kembali," ujarnya.
Ayah Jeremy mengernyitkan dahinya. "Ada apa, Gill? Apa kau menyimpan harta karun?"
Gill menggeleng, wajahnya terlihat serius. "Tidak, Paman. Jika ada orang yang mencariku, Paman bisa menyuruhnya ke lantai atas. Setelah itu Paman harus pergi sejauh mungkin."
Pria lanjut usia itu masih terlihat bingung. Namun ia tetap menganggukkan kepalanya. Gill kembali menarik Jeremy keluar dari rumah tersebut. Ia mengambil alih kunci mobil yang ada di tangan temannya.
"Cepat naik!" ujarnya.
Jeremy meringis saat mendapati mobilnya sudah diambil alih oleh temannya tersebut. Mau tidak mau ia berada di samping kursi kemudi dan membiarkan Gill yang belum memiliki SIM untuk mengemudikan mobilnya.
"Mau ke mana kita, Gill?" tanya Jeremy saat sudah mengenakan sabuk pengaman.
Gill mengambil ponselnya, lalu menghidupkan gps. Tanpa mengatakan apa pun, ia melajukan mobil itu dengan kecepatan rata-rata. Jeremy yang penasaran mengintip layar ponsel yang tergeletak di dasboard.
"Buford?" Jeremy menepuk bahu Gill dengan panik. "Kau serius mau ke sana?"
Gill mengangguk pelan. Matanya terus tertuju pada jalan yang saat itu tidak terlalu ramai. Hari sudah menjelang siang, mereka harus tiba di Buford sebelum esok pagi. Jika itu terjadi, bisa saja polisi terlebih dahulu mengambil barang bukti yang tersisa.
"Gill, bagaimana kalau kau memikirkannya lagi?" ujar Jeremy yang terlihat mulai takut.
"Aku sudah berulang kali memikirkannya," gumam Gill.
Jeremy menghela napasnya pelan. "Tapi ...."
"Kencangkan sabuk pengamanmu. Aku harus tiba di sana dalam waktu 12 jam."
Gill langsung menaikkan kecepatan laju mobil tersebut. Beberapa kendaraan yang dilewatinya mulai membunyikan klakson bersahut-sahutan. Namun ia tidak peduli lagi. Kini tujuannya hanya satu.
Tiba di Buford secepat mungkin!
~~~
Ben tersenyum lebar begitu melihat pintu ruangan yang sedikit terbuka. Sebelah tangannya mulai menyentuh knop pintu tersebut. Ia tertawa pelan, jantungnya berdegup begitu cepat.
"Sudah dua tahun ya, Myujin," gumam Ben setengah berbisik.
Ben mendorong pintu itu dengan keras. Matanya membulat sempurna begitu melihat suasana di dalam ruangan tersebut. Kedua sudut bibirnya tertarik hingga membentuk lengkungan yang sempurna.
Kedua tahanannya menghilang!
Ben langsung melangkah cepat ke arah ruang pengawas yang berisi banyak cctv. Ia mendorong salah satu pria yang bertugas mengawasi setiap gerakan melalui layar tersebut. Lalu matanya dengan cermat mulai memperhatikan satu-satu orang yang berlalu lalang.
"Ke mana dia?" tanyanya pada diri sendiri.
"Ada apa, Pak?"
Ben berbalik, ia menatap kedua orang yang sebelumnya bertugas membawa Myujin dan istrinya. Ia mendekati kedua pria itu, lalu memukul mereka secara bergantian.
"Mengapa kalian tidak menutup ruangan itu?" tanya Ben sembari tersenyum.
Mereka langsung menundukkan kepala. Tidak ada yang berani bersuara. Padahal saat itu mereka masih menyandang pangkat Sergeant Major Of The Army—pangkat tertinggi di bintara dan mengomandani semua sersan mayor yang ada. Walaupun keduanya sudah kabur dari barak sejak 4 tahun lalu.
"Tidak ada ruangan lain, Pak," jawab pria berambut panjang.
Ben menganggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu ia mengisyaratkan keduanya agar lebih mendekat. Setelah itu, kepala mereka diadu dengan kuat hingga salah satu dari mereka menjerit. Anehnya, tidak ada satu pun yang berani membalas perbuatan dokter tua tersebut.
"Cari mereka sampai dapat!" titah Ben.
Kedua pria itu langsung berpencar. Sementara Ben kembali ke ruang pendingin. Langkah kakinya yang begitu cepat membuat semua orang yang dilewatinya bergidik ngeri. Selama 2 tahun ini, Ben selalu berjalan dengan santai. Seolah ia menikmati setiap jeritan dan pemandangan mengerikan di sana.
Ben membuka pintu ruangan pendingin itu dengan kasar hingga engselnya hampir lepas. Ia melihat sebuah kilatan cahaya di lantai. Tanpa banyak berpikir, ia menghampiri benda tersebut. Rupanya sebuah anting permata yang indah. Pria itu tertawa pelan sembari menggenggam erat anting itu hingga telapak tangannya berdarah.
"Aku pasti menemukanmu, Myujin!"
~~~
"Bertahan sedikit lagi, Julia."
Wanita bersurai panjang diikat satu itu mengangguk. Saat ini mereka berada di dekat pintu masuk yang gelap. Myujin ingat dengan jelas, mereka melewati jalan ini saat baru masuk. Jika ia menggunakan cara yang sama dengan waktu itu, pasti mereka bisa bebas.
Samar-samar mulai terdengar langkah kaki dan suara tawa yang perlahan mulai mendekat. Myujin semakin merapatkan dirinya ke tembok yang gelap. Julia meringis saat punggungnya dipaksa semakin menempel dengan dinding yang permukaannya tidak halus tersebut.
"Myujin A itu menyusahkan saja! Padahal dia hanya perlu menerima hukuman dan semuanya selesai."
Myujin mengernyitkan dahinya. 'Selesai?'
Rasanya ia ingin sekali keluar dan memukuli kedua dokter yang baru saja lewat. Myujin menoleh ke arah istrinya sembari tersenyum. Seolah ia memberikan tanda bahwa sebentar lagi mereka akan bebas dari sini.
Kretek!
Myujin membelalakkan kedua matanya. Ia menoleh ke arah kaki Julia yang tanpa sengaja menginjak ranting kayu kering. Kedua dokter yang hendak membuka pintu itu langsung menoleh. Namun belum sempat melihat apa-apa, kepala mereka langsung ditutup dengan karung.
Setelah itu Myujin mengarahkan pukulannya tepat di ulu hati dokter tersebut secara bergantian. Mereka terbatuk lalu merintih kesakitan. Myujin memanfaatkan keadaan itu. Ia menarik tangan Julia agar mengikuti langkahnya. Ia meraba dalam gelap, berusaha mencari tombol atau apa pun yang bisa membuka pintu tersebut.
"Kami mendengar teriakan dari sebelah sini!"
Myujin mendecak, ia semakin panik. Tangannya bergerak ke sana dan ke mari meraba dinding yang ada di samping pintu. Barangkali ada sesuatu di sana. Tiba-tiba saja saat ia berjalan tepat di depan pintu, lantai langsung bergetar. Julia memegangi ujung kemejanya dengan takut.
Sedetik kemudian, pintu di depannya terbuka lebar. Kedua sudut bibir Myujin tertarik sempurna. Ia langsung menarik tangan Julia berlari keluar dari sana. Sama seperti 2 tahun lalu, ia bersembunyi di semak yang tertutup pohon besar.
"Pasti Myujin A masih ada di sekitar sini!" teriak Ben dengan marah.
Dokter itu menendang pintu dengan keras. Ia memijat pelipisnya, lalu menyapukan pandangan ke segala arah. Ia terus menerka ke mana tawanannya melarikan diri. Samar-samar telinganya mendengar suara dari semak yang berjarak 3 meter dari pintu.
"Kalau pintu belum tertutup sempurna, berarti mereka keluar dari 40 detik yang lalu. Jarak dari pintu ke semak itu sekitar 20 detik jika salah satunya terluka," gumam Ben dengan mata yang terus menatap semak tersebut.
Ben tersenyum miring. Ia berjalan dengan perlahan mendekati semak yang sedari tadi mencuri perhatiannya. Kedua tangannya bersiap menyingkap semak tersebut. Ia menghitung mundur mulai dari tiga di dalam hatinya.
Tiga.
Dua.
Satu!
Srek!
"Kalian ketahuan!"