Gill mengenakan helm yang ada di dalam mobil Jeremy. Kini ia sudah bisa melihat sosok yang menembaki mereka dari kejauhan. Tiga orang berpakaian hitam dengan topi baseball. Saat ini mereka berada sekitar 8 meter dari posisi Gill dan Jeremy.
"Satu orang di dalam mobil," ujar Gill.
Jeremy mengintip dari celah kaca mobil yang pecah. Ia bisa melihat orang yang dimaksud oleh Gill. Rambutnya panjang sedada, namun berjanggut. Bisa dipastikan bahwa dia laki-laki.
"Dua lainnya dibalik mobil seperti kita," lanjut Gill.
Jeremy membulatkan mulutnya. "Wow ... Bagaimana kamu bisa tahu?"
Gill menunjuk ke bawah mobil. "Aku melihat dua pasang kaki dari bawah mobil."
Jeremy berjongkok, lalu ia mengintip dari bawah mobil. Ternyata posisi mereka saat ini berhadap-hadapan, namun dalam jarak yang cukup jauh. Setelah itu ia kembali bangun dengan senyum ceria.
"Kalau begini, kita bisa membidiknya dari bawah!" kata Jeremy.
Gill mengangguk cepat. "Kalau begitu, kita tidak boleh melakukan hal yang sama."
Jeremy menunjuk ke arah roda mobil yang ada di dekat Gill. "Kau harus berdiri dibalik roda itu agar tidak bisa dibidik."
Mereka sudah menemukan cara. Kini keduanya sudah bersiap di tempat masing-masing. Langkah selanjutnya, Gill dan Jeremy berjongkok. Mereka terus mengawasi gerak-gerik sepasang kaki tersebut. Walau membidik kaki tidak terlalu efektif karena tangan masih bisa bergerak bebas, namun itu bisa sedikit menghambat pergerakan lawan.
"Tembak yang benar!" kata Gill.
Jeremy menyisir rambutnya ke belakang. "Aku ini hebat dalam permainan battleground."
Gill hanya menanggapinya dengan helaan napas. Mereka sudah bersiap di tempat. Moncong pistol terarah ke kaki lawan yang terus bergerak. Gill setengah berbisik mulai menghitung mundur.
"Satu."
Jeremy menggenggam gagang pistol dengan erat. "Dua."
Mereka semakin menajamkan bidikan pistol yang ada digenggamannya. Perlahan Gill membuka mulutnya. Jeremy nampak sudah tidak sabar dan langsung menarik pelatuk tanpa menunggu hitungan ketiga.
Dor!
Seketika orang-orang yang ada di seberang sana langsung bersembunyi. Kini rencana mereka sudah ketahuan. Tembakan Jeremy juga tidak membuahkan hasil karena malah mengenai roda mobil saja. Gill menghela napas pelan, kedua kaki itu sudah tidak terlihat lagi.
"Sudah ku bilang, hitungan ketiga!" kata Gill dengan marah.
Jeremy menggaruk tengkuknya. "Kau belum bilang tiga?"
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. "Terserahlah. Sekarang kita harus pikirkan cara lain untuk menghadapi mereka."
Jeremy mengacak kotak yang berisi banyak senjata tersebut. Lalu ia melihat sebuah benda bulat yang cukup menarik perhatian. Ia mengambil benda itu dan menunjukkannya pada Gill.
"Bagaimana kalau kita gunakan ini?" tanya Jeremy.
Gill mengambil alih benda tersebut dengan bingung. Ia menautkan kedua alisnya. Kedua mata pria itu terus meneliti benda tersebut.
"Apa ini granat?" tanya Gill.
Jeremy mengangguk cepat. "Kita lempar ini, lalu kabur!"
Gill menoleh ke samping sembari menunjuk mobil yang menjadi pusat pertahanan mereka. "Lalu bagaimana dengan mobilmu?"
Jeremy mendesis. Ia menendang roda mobil yang ada di dekatnya. "Ini rongsokan, bukan lagi mobil. Memangnya kau mau mati hanya karena mendorong dia?"
Gill tertawa pelan. Suara tembakan mulai terdengar menghantam mobil yang saat ini menjadi pertahanan mereka. Tidak ada pilihan lain, kecuali melempar benda bulat tersebut. Pria itu sedikit mengintip lewat belakang mobil. Gill bisa melihat wajah salah satu dari orang yang menembak mereka.
"Perempuan?!" kata Gill dengan kaget.
Jeremy membulatkan kedua matanya. "Hei! Kita sedang berada di situasi seperti ini, tapi kau masih memikirkan perempuan?!"
Gill menggeleng cepat. "Bukan. Tapi orang yang menembak kita itu perempuan."
Jeremy tersenyum lebar. "Kau pasti bohong."
"Bagaimana ini?" Gill menatap benda yang ada di tangannya. "Apa kita tetap harus melempar ini ke sana?"
Jeremy mengangguk cepat. Ia mengambil alih benda bulat itu dari Gill. Lalu tangannya sedikit terangkat ke udara, bersiap pada posisi melempar. Ia menghitung mundur dalam hati. Sementara Gill segera memeluk kotak berisi senjata.
Saat benda itu dilempar, mereka langsung berlari cepat. Gill terus mempersiapkan jantungnya menunggu suara ledakan, namun tidak kunjung terdengar. Begitu menoleh, rupanya itu hanya bom asap.
"Cepat lari! Itu bukan granat, tapi bom asap!" teriak Gill.
~~~
Myujin dan Julia bersiap di depan pintu dengan besi hasil pencarian dari ruangan tersebut. Detik jarum jam yang ada di dinding membuat suasana semakin mendebarkan. Mereka terus mengira-ngira kapan pintu di depannya akan terbuka.
Tik ... tik ... tik.
Begitu jarum panjang tepat berada di angka enam, knop pintu mulai bergerak. Myujin bersiap dengan besi yang sudah digenggam layaknya tongkat baseball. Sementara Julia berdiri di belakang suaminya.
Myujin langsung melayangkan besi saat pintu terbuka. Ia tidak peduli bahkan jika orang yang ada di depannya bukan Ben ataupun kedua tentara yang terus mengawasi mereka.
Seketika pria berjas lab itu langsung terjatuh ke lantai. Julia bergegas menarik pria itu masuk ke dalam, kemudian pintu kembali ditutup. Myujin melucuti pakaian labpratorium yang dikenakan oleh petugas tersebut. Lalu ia memberikannya pada Julia.
"Kali ini kita akan menyamar," ujar Myujin.
Julia tersenyum, lalu mengangguk dengan penuh semangat. "Baiklah. Kalau begitu, kita membutuhkan satu lagi untukmu."
Tubuh pria yang sudah tidak sadarkan diri itu langsung dimasukkan ke ruangan yang semula ditempati Julia. Barulah mereka kembali berdiri di depan pintu untuk menunggu korban selanjutnya. Myujin mengusap darah yang menempel di besi.
Samar-samar terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Mereka bisa melihat bayangan yang berhenti tepat di depan pintu. Myujin semakin mengeratkan genggamannya pada besi.
"Ah! Selamat siang, Dokter!"
Myujin terpaku di tempat. Ia tidak mungkin memukul Ben. Pria itu bisa saja membuat mereka malah jatuh dalam perangkap. Besi itu juga tidak mungkin bisa membunuh Ben dalam sekali pukul. Ia mengisyaratkan Julia untuk mundur.
"Apa yang kamu lakukan di depan ruangan ini?"
"Saya kira Anda ada di ruangan ini."
"Ada keperluan apa sampai mencariku di luar ruang penelitian?"
"Vasko membawa laki-laki tua yang sempat menyelamatkan istri Myujin."
Julia menutup mulutnya dengan kedua mata terbuka lebar. Ia ingat jelas dengan pemburu yang sempat menolongnya. Rasa bersalah langsung menyelimuti wanita tersebut. Mungkin seharusnya ia tidak meminta pertolongan pada siapa pun.
"Bawa saja laki-laki itu ke ruang bedah."
"Tapi ada luka tusuk di punggungnya."
"Tidak masalah selagi organnya baik-baik saja."
Julia maju satu langkah, namun Myujin menghalanginya. Pria itu menggeleng pelan. Ia tidak akan membiarkan Julia terluka lebih dari ini.
Tidak lama, kedua orang yang berbincang di depan pintu itu pergi. Julia dan Myujin bisa kembali bernapas dengan lega. Setidaknya mereka sudah bebas dari kehadiran Ben. Keadaan Julia saat ini sudah cukup membuat Myujin merasa cemas.
"Siapa pria itu?" tanya Myujin.
Julia mengusap wajahnya dengan frustasi. "Pemburu. Aku meminta bantuannya untuk kabur dari hutan."
Myujin tersenyum tipis sembari menepuk punggung istrinya beberapa kali. "Itu bukan kesalahanmu, Julia. Kau hanya berusaha untuk bertajan hidup."
"Tapi dia jadi seperti ini hanya karena aku."
Julia menarik tubuh Myujin dan memeluknya begitu erat. Ia menumpahkan air mata tanpa bersuara. Myujin terus mengusap punggung Julia untuk menenangkan wanita tersebut. Lalu ia mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala istrinya.
"Tidak masalah. Kau sudah melakukan yang terbaik, Julia. Mungkin itu sudah takdirnya."