Chereads / Delete09 / Chapter 11 - 11. Sosok di Kegelapan

Chapter 11 - 11. Sosok di Kegelapan

Lexus masuk ke ruangan itu dengan cepat. Di belakangnya, ia membawa salah satu petugas yang berpakaian hitam merah. Namun petugas itu tidak mau melepas maskernya.

"Ben memerintahkanku untuk menyuntikmu," ujar Lexus.

Pria bertubuh hampir 2 meter itu meletakkan kotak yang dibawanya di lantai. Namun begitu dibuka, tidak ada apa pun di dalamnya selain pistol. Myujin mengernyit, ia langsung maju satu langkah ke depan Julia. Ia berusaha melindungi wanita itu saat melihat ada senjata api.

Lexus tersenyum tipis. Ia mendorong kotak itu hingga membentur ujung sepatu Myujin. Lalu ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar pria itu tidak menganggapnya berbahaya.

"Santai saja, Myujin. Aku membawakan ini untukmu," ujar Lexus.

"Pasti Ben yang menyuruhmu." Myujin mengeratkan genggamannya pada tangan Julia. "Aku beritahukan satu hal. Aku sulit untuk dibodohi."

"Aku juga akan beritahukan sesuatu, Myujin." Lexus maju dua langkah dengan tangan yang masih terangkat. "Aku tidak pernah melukai siapa pun."

"Petugas amputasi tidak pernah menyakiti siapa pun?" Myujin tertawa pelan. "Omong kosong!"

Lexus mengangguk beberapa kali. Ia diam di tempatnya sembari menunduk. Lalu petugas yang ada di belakangnya langsung mengeluarkan pistol dari saku. Ia mengarahkan moncong pistol ke arah Myujin.

"Sudah ku duga. Ben mengirim kalian untuk membunuhku," gumam Myujin.

Lexus mengangkat bahunya sembari tersenyum. Sementara petugas yang berdiri di belakangnya semakin berjalan maju hingga mendekat pada Myujin. Moncong pistol tidak pernah teralihkan dari wajah pria tersebut.

"Turuti permintaan kami," ujar petugas itu sembari membuka masker laboratoriumnya.

"Juan?!"

Myujin merasakan seluruh tubuhnya tidak bertenaga. Ia sama sekali tidak menyangka bisa bertemu dengan Juan yang dianggap sudah mati sejak 3 tahun lalu. Pria itu menatap tajam ke arah Myujin. Wajahnya sudah dipenuhi luka. Mata kanannya tertutup sempurna.

Myujin langsung melemparkan tatapannya tepat di kaki Juan. Hanya sekali lihat, ia bisa langsung tahu kalau pria itu mengenakan kaki palsu. Juan semakin mendekat dengan langkah yang tertatih.

"Naik ke sana!" kata Juan sembari menunjuk ke atap.

Lexus yang ada di belakang langsung membekap mulut Juan. "Jangan berisik!"

Juan yang terkejut hampir saja menarik pelatuk pistol yang ada digenggamannya. Untung saja ia langsung menjatuhkan benda tersebut. Jika tidak, Ben dan pasukannya bisa mendatangi tempat ini.

"Pergi kalian," kata Myujin sembari mendorong pelan Julia agar masuk ke ruangan sebelah.

Lexus menghela napasnya pelan. "Tunggu dulu, Myujin. Kita ada di pihak yang sama."

Myujin yang panik langsung mengambil pistol yang tergeletak di lantai. Ia melempar benda itu ke dalam ruangan yang ditempati Julia. Sementara satu pistol di dalam kotak langsung direbutnya.

Keadaan langsung berbalik. Kini Myujin mengambil alih kedua senjata itu. Ia menudingkan pistol ke arah Lexus. Namun siapa sangka, Juan masih menyimpan satu pistol di saku lainnya. Ia langsung menempelkan moncong pistol ke pelipis Myujin.

"Jatuhkan pistolnya atau kepalamu berlubang?" ujar Juan.

Myujin yang masih menyayangi nyawanya memilih untuk menjatuhkan pistol tersebut. Ia tertawa pelan dengan tubuh yang kaku. Situasi saat ini sangat menyulitkannya.

"Ikuti kata-kata kami," kata Juan.

"Baiklah ... Apa yang kalian inginkan?" tanya Myujin.

Juan menunjuk ke arah atap. "Naik ke sana."

Myujin mengangguk beberapa kali. "Baik, tapi bagaimana caraku untuk ke sana? Apa ada sesuatu yang bisa ku panjat?"

Juan menoleh ke arah Lexus. "Ambilkan tangga."

Lexus menautkan kedua alisnya. "Bagaimana kalau aku tertangkap kamera?"

"Aku sudah matikan kamera di sekitar gudang," ujar Juan.

Lexus bergegas keluar dari ruangan tersebut. Kini tersisa Myujin dan Juan, tentunya dengan pistol yang masih menempel di pelipisnya. Ia enggan menjauhkan benda itu dari Myujin.

"Bagaimana kabarmu, Myujin? Apa 2 tahunmu indah?" tanya Juan.

Myujin tertawa pelan sembari menunjuk ke pintu yang ada di belakangnya. "Aku sangat bahagia bisa melihat putraku dan menghabiskan waktu dengan wanita pemberani itu."

Juan mengangguk beberapa kali. Lalu ia mulai menjauhkan pistol itu dari Myujin. Ia menatap rekan lamanya lekat-lekat. Sebelah tangan terangkat menepuk bahu pria yang ada di depannya tersebut.

"3 tahunku benar-benar seperti neraka, Myujin."

~~~

Persiapan sudah selesai!

Gill yang pandai dalam pertarungan jarak dekat membawa sebilah pedang peninggalan ayah Revanta. Jeremy memilih bermain aman dengan AWM. Revanta sudah menemukan senjata yang paling cocok dengannya, Winchester Model 1901. Bran masih tetap setia dengan Maschinenpistole 40 yang sudah sehidup semati dengannya. Sedangkan rekan Revanta yang satu lagi memilih AK-47, karena menjadi salah satu senjata paling populer di telinganya.

"Dalam hitungan ketiga, buka pintunya," ujar Revanta setengah berbisik.

Mereka mulai menghitung mundur tanpa bersuara. Tepat pada hitungan ketiga, Gill langsung membuka pintu tersebut. Nampak salah satu pria berpakaian hitam tepat di depannya. Pria itu sangat terkejut hingga tidak bisa berkelit dari tebasan pedang yang diayunkan oleh Gill. Pria itu langsung tergeletak di lantai dengan leher yang bersimbah darah.

Gill mengacungkan ibu jarinya begitu melihat kondisi di luar yang masih kosong. Lalu ketiga rekannya keluar dengan cepat. Revanta menunjuk ke arah rumah berlantai 2 yang sedari dulu tidak pernah dijamah oleh siapa pun.

"Anak yang membawa AWM, pergi ke lantai 2 rumah itu. Kau akan lebih mudah mengarahkan senjatanya," ujar Revanta.

Jeremy mengerutkan dahinya. "Anak? Siapa yang kau panggil anak? Usiaku 21 tahun!"

"Usiaku 25 tahun," sahut Revanta.

Jeremy hendak membalas ucapan wanita itu, namun Gill langsung menarik tangannya. Mereka berjalan masuk menyusuri rumah yang gelap gulita. Kedua tangan Gill masih gemetar sejak mengingat korban pertamanya.

"Gill, apa di sini aman?" tanya Jeremy.

"Aman. Kau tidak akan mati ditembus peluru karena mengenakan rompi itu." Gill berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah sahabatnya. "Kau bawa rompi anti peluru, 'kan?"

Jeremy menggeleng pelan. Gill hanya bisa menghela napas pelan. Ia segera melepas rompi yang melekat di tubuhnya. Lalu menyerahkan benda itu pada Jeremy.

"Pakai punyaku," ujar Gill.

Jeremy menggeleng cepat. "Tidak. Bagaimana dengan kau?"

"Aku baik-baik saja, bahkan setelah ditabrak mobil."

Gill kembali melanjutkan langkahnya dengan diikuti Jeremy yang masih sibuk mengenakan rompi. Suasana ruangan gelap itu tentu saja membuat keduanya merasa was-was. Apalagi seringkali terdengar suara aneh dari berbagai penjuru. Beberapa kali Jeremy meminta agar keluar dari sana, namun Gill memilih untuk tidak mendengarkan rekannya tersebut.

Gill berhenti, lalu ia menunjuk ke lantai. "Hati-hati, ini anak tangga."

Jeremy mengangguk cepat. "Aku melihatnya."

Mereka berjalan menaiki anak tangga dengan hati-hati. Dari luar sana terdengar derap langkah kaki yang cukup banyak. Gill mengisyaratkan rekannya untuk cepat ke lantai 2. Begitu tiba di atas, suasananya jauh lebih gelap karena tidak ada cahaya rembulan dari luar sana.

Jeremy meraba-raba ruang kosong di depannya. Ia berusaha mencari sosok Gill yang sudah tidak terlihat. Hingga akhirnya ia bisa merasakan jemari hangat di sampingnya.

"Hei, mengapa kau cepat sekali? Aku tidak bisa melihatmu!" protes Jeremy.

Samar-samar ia mendengar bisikan dari sosok yang ada di dekatnya tersebut. Lalu tangannya dicengkram erat hingga sangat sulit untuk bisa melepaskan diri.

"Anak bodoh," bisik sosok tersebut.