Begitu hampir tiba di gerbang, Gill menghentikan langkahnya. Ia menepi agar tidak terlalu mencolok. Kedua matanya menangkap jelas sosok pria yang dilihat sebelumnya.
"Dia orang yang ingin menangkap Revanta," ujar Gill.
Jeremy mengernyitkan dahinya. "Lalu kau mau apa?"
Gill menoleh sekilas ke arah rekannya tersebut. "Kita harus menghentikan dia."
"Kau gila?!"
Gill menurunkan kotak yang sedari tadi menjadi beban terberatnya. Ia membuka kotak itu, lalu mengambil sepucuk pistol. Jeremy menatapnya dengan wajah bingung. Pria itu terus menggeleng, nampaknya dia tidak setuju dengan apa yang dipikirkan oleh rekannya.
"Kau ingat tujuan awal kita?" tanya Jeremy.
Gill mengangguk sembari tersenyum. "Tentu saja mencari orang tuaku. Tapi aku yakin, mereka semua saling berkaitan."
"Bagaimana kau bisa seyakin itu?"
Gill menaikkan kedua bahunya. "Entahlah. Kita akan tahu kalau menangkap salah satu dari mereka."
Jeremy reflek menutup telinganya saat Gill menarik pelatuk, namun ternyata sama sekali tidak terdengar suara tembakan. Tapi orang yang bersandar di mobil itu terkapar. Entah apa yang terjadi, Jeremy hanya bisa mengikuti rekannya yang sudah berlari lebih dulu.
Begitu tiba di sana, Gill langsung menyerahkan kotak senjata pada Jeremy. Ia memapah pria itu masuk ke dalam salah satu rumah yang terbengkalai. Lalu ia merebahkan pria itu di lantai. Sebisa mungkin ia mencari tali untuk mengikat sanderanya.
"Letakkan kotaknya di sana, lalu bantu aku mencari tali," kata Gill sembari menunjuk ke arah ruangan yang gelap.
Jeremy mengangguk, kemudian bergegas menyimpan kotak tersebut. Tanpa perlu mencari ke mana-mana, ia menemukan tali yang cukup panjang di dalam ruangan gelap. Ia langsung memberikannya pada Gill.
"Kau mencari tali atau penjualnya?" tanya Jeremy.
Gill mengedikkan bahunya, lalu ia menyambar tali yang ada di tangan sahabatnya. Kemudian mereka kembali ke tempat sandera yang tergeletak tidak sadarkan diri. Kedua orang itu berbagi tugas untuk mengikat tangan dan kaki pria tersebut.
Setelah terikat sempurna, kini saatnya mereka menggeledah sanderanya. Gill mulai merogoh setiap saku di pakaian pria tersebut. Ia menemukan sebuah pil berwarna kuning, lalu ia melemparnya ke sembarang arah. Sementara Jeremy menemukan pisau lipat di saku celana pria tersebut.
"Tidak ada yang penting," gumam Jeremy.
Gill menunjuk pisau yang digenggam rekannya. "Benda itu penting. Kita bisa menggunakannya saat dalam tahap interogasi."
Jeremy mengangguk beberapa kali, lalu ia menyimpan benda itu di belakangnya. Gill mengernyit saat tangannya tanpa sengaja menyentuh benda keras saat tengah meraba perut pria tersebut. Tanpa pikir panjang, ia menyingkap pakaian pria itu.
"Bom!" jerit Gill.
Begitu melihat detik yang terus berjalan di bom itu, Gill berlari mengambil kotak senjata. Lalu ia menarik Jeremy keluar dari sana. Ia menghitung mundur di dalam hatinya. Sedangkan Jeremy yang masih kaget dan bingung, hanya bisa berlari mengikuti langkah kaki Gill.
"Dia pasti orang gila!" rutuk Gill.
"Bagaimana bisa dia menyimpan bom di tubuhnya?" tanya Jeremy.
Gill berhenti setelah kabur cukup jauh dari rumah tersebut. Ia menoleh ke segala arah, lalu menyandarkan tubuh di tembok. Ia membuka telapak tangannya, lalu menatap benda kecil yang ada di sana. Potongan kertas dengan sebuah nama yang ditemukannya berada dalam kepalan pria tersebut.
"Dia tidak dengan sengaja memasang bom itu," gumam Gill.
Jeremy mengernyitkan dahinya."Maksudmu?"
"Pasti ada seseorang yang memaksanya untuk memasang bom itu."
~~~
Myujin tiba-tiba saja di seret dari ruangannya. Ia sudah tahu kalau ini akan terjadi. Ben tidak akan membiarkannya berpikir terlalu lama. Dokter gila itu pasti akan segera menagih jawaban darinya.
"Masuk!"
Kedua ajudan terpercaya Ben mendorongnya dengan keras masuk ke dalam sebuah ruangan. Myujin menyapukan pandangannya ke segala sudut ruangan tersebut. Terlihat sangat rapi dan terawat. Bisa dipastikan ini tempat yang menjadi singgasana Ben. Dokter gila dan licik itu tidak bisa tinggal di ruangan yang kotor, tapi selalu menempatkan orang-orang di tempat yang lebih terlihat seperti kandang.
"Selamat datang, Myujin!" sapa Ben yang baru keluar dari balik tirai merah.
Ben melambaikan tangannya, seolah ia memanggil tamu itu agar mendekat dengannya. Walau dengan perasaan yang penuh curiga, Myujin tetap menghampiri dokter tersebut. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Ben. Rasanya sangat mencekam, apalagi terdengar jeritan dari ruang sebelah yang merupakan tempat uji coba radar dingin.
"Bagaimana, Myujin? Aku menunggu jawaban darimu," kata Ben tanpa basa-basi.
Myujin menunduk, ia menatap meja kayu yang ada di depannya. Kemudian ia menggeleng pelan. "Sepertinya aku tidak bisa."
Ben membulatkan kedua matanya. "Ada apa? Coba katakan padaku alasannya."
"Aku sudah tidak bisa melihat orang lain menderita," jawab Myujin.
"Bagaimana kalau anakmu yang menderita?"
Ben mengambil ponselnya, lalu ia menunjukkan sebuah gambar pria muda tanpa busana. Di perutnya sudah terikat bom waktu yang dalam 5 jam akan meledak. Wajah Myujin berubah pucat pasi. Walau ia tidak bisa melihat wajahnya, namun entah mengapa perasaannya semakin memburuk.
"Apa ... apa yang kau lakukan padanya?" tanya Myujin dengan suara lirih.
Ben mengangkat kedua bahunya. "Hanya melakukan sedikit permainan."
"Bermain dengan bom?!" Myujin menarik kerah baju Ben dengan kasar. "Berani sekali kau bermain dengan bom!"
Myujin yang sudah tersulut emosi itu tanpa pikir panjang melayangkan pukulan tepat di wajah dokter lanjut usia tersebut. Ia sudah tidak peduli lagi dengan nasibnya setelah ini. Sekarang ia hanya perlu melampiaskan seluruh amarahnya pada orang gila itu.
"Tenangkan dia!" teriak Ben saat wajahnya sudah dipukul berulang kali.
Layaknya robot, dua orang bertubuh besar itu masuk. Alan langsung memukul kepala bagian belakang Myujin dengan sikunya. Kini pria itu tergeletak di lantai tidak sadarkan diri. Sementara Ben memegangi wajahnya sembari meringis. Pukulan Myujin menyisakan lebam di seluruh wajahnya.
"Ikat dia, lalu bawakan aku kotak berwarna kuning dari ruang sifilis."
Alan dan Vasko berdiri dengan tegak, lalu mengangguk. Mereka langsung mengikat kedua kaki dan tangan Myujin. Kemudian pria itu diikat pada tiang kayu yang ada di samping tempat duduk Ben.
Tiang persembahan.
Begitu para pekerja menyebutnya, baik dokter maupun penjaga. Siapa pun yang sudah terikat di sana, tidak akan bisa hidup normal. Pastinya akan menyisakan cacat permanen di seluruh anggota tubuh.
Ben menyalakan rokoknya, lalu ia menyundut telapak tangan Myujin lebih dari 3 kali. Dokter gila itu tersenyum sangat lebar. Ia nampak puas saat melihat jejak rokok di telapak tangan pria di sampingnya. Tidak cukup sampai di situ, ia juga memaksa Myujin yang tidak berdaya membuka mulutnya. Lalu ia memasukkan rokok yang masih dalam kondisi menyala ke dalam mulut pria tersebut.
"Wah ... tidak ku sangka kau akan mengalami hari ini," ujar Ben.
Selanjutnya apa? batin dokter gila tersebut.
Ben melangkah dengan riang ke lemari yang ada di sudut ruangannya. Ia menemukan banyak sekali alat di sana, namun ada salah satu yang begitu menarik perhantiannya. Ben meraih tang yang ada di sana. Ia melangkah pelan ke arah korbannya yang terikat. Senyumnya mengembang saat melihat Myujin membuka matanya.
"Wah! Ini pasti akan sangat menyenangkan, Myujin!" seru Ben.
Myujin meringis saat merasakan perih di telapak tangannya. Ia tidak bisa melihat apa yang terjadi di sana karena kedua tangannya terikat ke belakang. Kini yang bisa ia lihat hanya Ben yang tersenyum miring ke arahnya dengan sebuah tang.
"Mau bermain?" tanya Ben.
Myujin menatap pria itu dengan dahi berkerut. "Mengapa kau melakukan ini padaku?"
Ben semakin mendekat ke arahnya dengan senyum yang mengerikan. Ia menyembunyikan tangan kanan yang menggenggam tang di belakang tubuhnya. Lalu saat sudah cukup dekat, ia melayangkan tang itu ke kepala Myujin.
"Tentu saja karena aku sangat menyukaimu, Myujin. Aku menyukaimu sampai gila rasanya!" teriak Ben tepat di depan wajah pria tersebut.
Myujin meringis saat kepalanya sangat pusing ditambah dengan rasa sakit. Pandangannya mulai menggelap, namun ia masih bisa melihat Ben yang terlihat cemas. Ia mengerjapkan matanya berulang kali sembari menggelengkan kepalanya.
Ben menyentuh bagian kepala yang dipukulnya beberapa detik lalu. Mulutnya terbuka lebar, ia nampak sangat terkejut. Tapi dalam sekejap, ia langsung tertawa.
"Untung saja hanya berdarah. Saat memukul kepala Juan, aku membuatnya berlubang," ujar Ben dengan suara riang.
"Kau ... orang gila!"