Chereads / Delete09 / Chapter 18 - 18. Hutan El Dorado

Chapter 18 - 18. Hutan El Dorado

"Jangan banyak bergerak, Myujin. Aku hampir selesai."

"Arghhh!"

Myujin menggerakkan tubuhnya ke segala arah. Ia berusaha melepaskan diri dari tali yang mengikat tubuhnya. Entah sudah berapa lama ia merasakan perih di kedua telapak tangan dan jemari kakinya. Ben yang seakan sudah hilang rasa kemanusiaannya terus menyayat sela jari kaki pria tersebut.

"Bagaimana ini, Myujin?" gumam Ben saat pisau di tangannya terjatuh.

Tiba-tiba saja tubuh Ben bergetar, ia seperti hilang kendali. Myujin yang melihat itu hanya terdiam karena tubuhnya terikat. Ia menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar. Nampak Julia yang datang dengan sebatang besi. Ia tersenyum lebar sembari menghampiri suaminya.

"Menungguku?" tanya Julia.

Myujin meringis saat wanita itu mulai masuk ke dalam ruangan. Ben yang sedang kesakitan sembari memegangi kepalanya itu nampak tidak menyadari kedatangan Julia. Hingga kepala pria itu harus menjadi korban hantaman benda keras yang dibawa wanita tersebut.

Julia menendang tubuh Ben yang tidak sadarkan diri itu agar menjauh darinya. Lalu ia mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Ia sedikit bersenandung sembari memotong tali yang mengikat kedua tangan dan kaki suaminya. Setelah itu mereka bergegas keluar dari ruangan tersebut. Baru saja hendak menuju pintu, terdengar keributan dari luar.

"Itu pasti Alan dan Vasko," ujar Myujin.

Julia mengangguk, ia menunjuk ke arah lemari besar yang ada di sudut ruangan itu. "Masuk ke sana."

Myujin langsung menarik tangan istrinya itu ke arah lemari. Di dalam sana kosong, tidak ada apa pun selain botol obat kadaluwarsa. Mereka masuk dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kekacauan. Lima detik setelahnya, pintu ruangan itu dibuka dengan kasar.

"Ah ... Orang tua ini tidak berguna," rutuk Vasko.

Alan mendecak pelan. "Kalau ada yang mendengar ucapanmu, pasti sekarang kau langsung dilempar ke ruang radar dingin."

Vasko hanya tertawa sembari menggaruk kepalanya. "Untung saja tidak ada orang."

"Itu!" Alan menudingkan telunjuk ke arah Ben yang tergeletak dengan kepala berdarah. "Kau pikir dia bukan orang?"

"Ya, dia itu iblis!" jawab Vasko.

Usai berbincang, Alan langsung mengangkat tubuh dokter gila itu ke atas ranjang yang biasanya digunakan untuk penelitian. Vasko meraih besi yang tergeletak di lantai. Ia berdiri lalu melempar pandangannya ke segala arah. Kakinya bergerak menendang besi itu hingga menggelinding ke dekat lemari.

"Ayo kita cari pelakunya!" kata Vasko.

Alan menghampiri rekannya itu lalu mengangguk. "Ini pasti ulah pasangan suami istri yang merepotkan itu."

Mereka bergegas keluar dari ruangan itu dengan tergesa-gesa. Setelah dirasa cukup aman, Myujin membuka pintu lemari yang menjadi tempatnya bersembunyi. Ia keluar terlebih dahulu untuk memastikan keadaan di luar baik-baik saja. Setelah itu barulah Julia mengikutinya.

"Bagaimana kalau kita bawa salah satu obat?" tanya Julia.

Myujin mengernyitkan dahinya. "Untuk apa? Lagipula itu obat yang sudah kadaluwarsa!"

Julia mengangguk lalu tersenyum lebar. "Itu dia tujuannya!"

Kedua sudut bibir Myujin perlahan tertarik hingga membentuk senyuman. "Jangan bilang?"

"Ya!" Julia meraih sebotol obat yang ada di dalam lemari tersebut. "Kita racuni mereka."

~~~

Gill mendengar dengan jelas suara ledakan yang berada dalam radius sekitar 50 meter dari posisinya saat ini. Jeremy dengan jiwa detektifnya langsung berlari untuk mendatangi lokasi tersebut. Padahal ia tahu kalau di sana tidak aman.

"Hei, Jeremy! Apa kau tidak bisa mendengarkan ucapanku sedikit saja?" tanya Gill.

Jeremy menghentikan langkahnya, lalu ia berbalik. Pria itu menempelkan jari telunjuk di bibirnya dengan wajah panik. Secepat mungkin keduanya bersembunyi saat saat derap langkah cepat semakin mendekat.

"Dia meledak."

"Ya, kita harus singkirkan mayatnya sebelum polisi datang."

"Mustahil ada polisi yang datang ke kota mati seperti ini."

Begitu lima orang pria berpakaian hitam ketat itu pergi, Gill langsung menarik tangan Jeremy. Tujuan mereka kali ini untuk melihat apa yang dilakukan oleh kelima orang itu selanjutnya. Jika mendengar dari obrolan, nampaknya mereka ingin menghilangkan jejak orang yang meledak tersebut.

"Hei, Gill. Menurutmu, mengapa dia meledak?" tanya Jeremy sembari berlari.

Gill menoleh sekilas. "Mungkin dia memang ditugaskan untuk meledak di tempat ini."

Atau mungkin dia ditugaskan meledak di dekat kita, batin Gill.

Begitu tiba di rumah yang menjadi sumber ledakan itu, Gill dan Jeremy bersembunyi di balik pagar besi yang berkarat. Mereka bisa melihat dengan jelas, kelima orang itu menyiram bensin ke sekeliling rumah.

"Mereka ingin membakar tempat ini," ujar Gill.

Jeremy mengangguk setuju. "Benar. Sepertinya ledakan itu punya sesuatu yang rahasia."

"Mungkin barang yang dibawa oleh pria itu?"

Gill mencoba untuk mengingat barang yang sempat digeledah dari pria pembawa bom tersebut. Namun seingatnya, tidak ada apa pun lagi selain kertas curahan hati dan beberapa foto. Gill melebarkan kedua matanya, lalu memukul bahu Jeremy cukup keras.

"Mungkin foto itu," kata Gill setengah berbisik.

Jeremy mengernyitkan dahinya. "Foto?" Sebelah tangan pria itu bergerak merogoh saku celananya. Lalu ia mengeluarkan selembar kertas dari sana. "Maksudmu ini?"

Gill tersenyum lebar, ia mengambil selembar foto yang ada di tangan sahabatnya tersebut. Nampak enam orang dengan jas laboratorium tengah tersenyum lebar. Namun begitu dibalik, kini ia tahu alasan mengapa kelima orang itu membakar tempat tersebut.

"Hutan El Dorado."

~~~

Revanta menoleh ke segala arah, ia berusaha mencari tempat untuk bersembunyi. Namun setiap tempat yang dilaluinya sudah berantakan. Nampaknya orang-orang itu sudah menyapu bersih kawasan real estate tersebut.

Jika mengulas suara ledakan yang terjadi beberapa menit lalu, Revanta yakin orang-orang itu berniat menghancurkan kawasan tersebut. Samar-samar ia mendengar teriakan yang menyerukan namanya. Ia mendecih, pria itu masih terus mengejarnya.

"Mengapa dia tidak pernah memikirkan hidupnya?" gerutu Revanta.

"REVANTA!"

Wanita itu menyerah, ia berhenti di tempatnya agar Bran tidak berteriak lagi. Ia menoleh ke arah satu-satunya rekan yang tersisa. Pria itu berlari cukup kencang ke arahnya sembari tersenyum.

"Kau pikir aku akan menyerah?" kata Bran begitu sudah tiba di dekat wanita tersebut.

Revanta menaikkan kedua bahunya. "Entahlah, aku tahu kau cukup keras kepala."

Bran tersenyum, ia meraih sebelah tangan Revanta dan menggenggamnya cukup erat. Wanita itu hanya diam tanpa melakukan perlawanan seperti biasa. Bran menariknya masuk ke jalan kecil yang menuju ke depan real estate. Namun begitu tiba di ujung jalan, mereka disambut oleh kelima orang berpakaian hitam yang sudah siap dengan senjata api.

"Jangan bergerak!" seru pria yang berdiri paling depan.

Pria itu berjalan perlahan sembari mengarahkan ujung senapan Lee-Enfield hasil penyeludupan dari angkatan darat Inggris pada Bran. Sedangkan keempat orang lainnya hanya membawa pistol semi otomatis. Kini Revanta dan Bran terpaksa harus menurut agar kepalanya tidak berlubang.

"Berbaris!" teriak pria itu lagi, kini ujung senapannya sudah menempel di pelipis Bran.

Revanta segera menyamakan barisannya dengan Bran. Lalu mereka mulai dikelilingi oleh sekumpulan pria asing tersebut. Sesekali punggung Revanta ditendang dari belakang agar bisa menyesuaikan langkahnya dengan Bran.

"Lebih cepat!" teriak pria yang ada di belakang Revanta sembari menembak ke udara.

Pria yang berjalan paling depan mengisyaratkan untuk berhenti. Ia mengambil ponsel dari saku celananya, lalu menghubungi seseorang. Setelah panggilan terhubung, ia menempelkan benda itu di telinganya.

"Kami sudah berhasil menangkap wanita itu dan satu temannya. Harap segera sisir rute di utara hutan El Dorado. Pastikan tidak ada pemburu atau pengunjung di sekitar sana."