Chereads / Delete09 / Chapter 19 - 19. Anak Panah di California

Chapter 19 - 19. Anak Panah di California

Gill dan Jeremy mengikuti mobil yang sudah melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan tempat tersebut. Kali ini tujuan mereka sama, hutan El Dorado. Namun karena tidak memiliki kendaraan, Gill dan Jeremy harus kembali memikirkan cara untuk mendayangi tempat tersebut.

"Bagaimana kalau kita kembali ke mobil lalu menunggu seseorang datang?" usul Jeremy.

Gill menengadahkan kepalanya, saat ini matahari sudah bersinar sangat terang. Jika menurut perkiraannya, bisa saja sekarang telah mendekati pukul 12 siang. Jeremy menepuk bahunya beberapa kali dengan panik.

"Bagaimana kalau kita segera pergi dari sini?" kata Jeremy.

Gill yang berdiri di sampingnya langsung mengangguk. "Kita harus tiba sebelum terjadi sesuatu yang buruk pada kedua orang itu."

Jeremy menunjuk ke arah jalan besar. Nampak sebuah mobil pengangkut barang yang melintas cukup lambat. Mereka langsung berlari menghampiri mobil tersebut. Gill berdiri di tengah jalan sembari melambaikan kedua tangannya.

"Pak! Tolong berhenti dulu!" teriak Gill.

Jeremy yang tidak kalah heboh mulai mengetuk-ngetuk kaca mobil tersebut. "Pak! Tolong berikan kami tumpangan!"

Mobil itu perlahan berhenti, lalu nampak pria tua bertubuh tinggi kurus dengan kepala botak. Pria itu mengerutkan dahinya, seakan merasa tidak senang dihentikan oleh kedua orang tersebut. Jeremy menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman yang manis. Ia berusaha untuk membuat pria tua itu mengizinkannya naik ke mobil. Berbeda dengan Gill yang membalas tatapan pria itu sangat tajam.

"Senyum, Gill!" titah Jeremy setengah berbisik, bahkan ia itu menginjak kaki Gill cukup keras.

Gill dengan terpaksa menarik sebelah sudut bibirnya. "Tolong izinkan kami menumpang, Pak."

"Mengapa kalian ada di Timbercreek Canyon?" tanya pria tersebut.

Gill menoleh sekilas ke arah Jeremy, lalu ia mengambil alih pertanyaan tersebut. Sebisa mungkin mereka harus naik ke mobil itu agar bisa tiba di hutan El Dorado.

"Kami tersesat," ujar Gill.

Pria tua itu memicingkan kedua matanya. "Pasti kalian punya alat komunikasi. Tidak mungkin kalian datang ke sini tanpa persiapan, 'kan?"

Gill dengan cepat menunjuk ke sembarang arah. "Mobil kami meledak di sana."

"Meledak?!" kata pria itu dengan suara meninggi, bisa dipastikan ia sangat terkejut mendengar jawaban Gill.

Gill menggaruk tengkuknya sembari tertawa pelan. "Sebenarnya perjalanan kami dihentikan oleh perampok. Mereka menghancurkan mobil kami."

Kebohongan Gill nampaknya bisa dengan mudah dipercaya oleh pria tersebut. Mungkin karena kawasan itu memang terkenal dengan tingkat kejahatan yang tinggi. Apalagi Timbercreek Canyon sering menjadi perbincangan hangat di kalangan penduduk Texas. Mereka sering mengaitkan tempat itu sebagai persembunyian peneliti gila yang berasal dari unit 202.

"Baiklah kalian boleh naik di belakang," ujar pria itu sembari menunjuk tumpukan barang di bagian belakang.

Gill tersenyum manis, lalu ia membungkukkan tubuhnya sebagai tanda terima kasih. Lalu Jeremy mengikuti sahabatnya itu naik ke atas mobil. Sementara pria itu menoleh ke segala arah dengan wajah yang cemas.

Beberapa menit kemudian, mobil itu kembali melaju walau bukan dengan kecepatan tinggi. Kini Gill dan Jeremy berhasil mendapat tumpangan untuk ke hutan El Dorado. Tujuan mereka tidaklah banyak, hanya menyelamatkan kedua orang tua Gill dan sahabat barunya. Lalu mencari tahu sosok iblis yang bersembunyi dibalik nama Ben tersebut.

Tunggu aku, semuanya.

~~~

Lorreine membuka matanya dengan penuh perjuangan. Pandangannya buram, kepalanya terasa sangat sakit. Samar-samar ia juga mendengar dua orang yang tengah berbincang. Ia menolehkan kepalanya ke segala arah, mencari dari mana asal keberadaan suaranya tersebut.

"Kau sudah sadar?"

Lorreine menoleh tepat ke sampingnya. Nampak Jordan yang masih berbaring, namun kondisinya sudah lebih sehat. Lorreine mengangguk pelan, lalu memaksakan sebelah sudut bibirnya terangkat.

"Kau bisa membantuku bangun?" tanya Lorreine.

Jordan mengangguk cepat. Ia bangun terlebih dahulu lalu menarik tangan wanita tersebut. Kini Lorreine bisa melihat dengan jelas dua orang yang duduk di depan pintu. Suasana bangunan itu sangat tua, bahkan dindingnya sudah sedikit berlumut.

"Ini ... di mana?" tanya Lorreine.

Jordan menunjuk ke arah poster besar yang menempel di sana. "Los Angeles."

Lorreine membelalakkan kedua matanya. Ia tidak menyangka kalau bisa pergi sejauh ini. Padahal ia hanya merasa tertidur sebentar setelah terjun ke jurang. Kedua orang yang diketahui pemilik tempat tersebut langsung menghampiri Lorreine. Wanita tua itu terlihat membawa mangkuk kecil berisi air keruh. Ia menyodorkan mangkuk itu pada Lorreine tanpa tersenyum sedikit pun.

"Apa ini?" tanya Lorreine sembari meraih mangkuk tersebut.

Wanita itu menatapnya sekilas. "Itu air piahong."

Lorreine mengernyitkan dahinya. "Piahong?"

"Minum saja!" bentak wanita itu.

Sontak Lorreine menenggak habis air yang ada di dalam wadah tersebut. Jordan yang melihat itu hanya bisa menahan tawanya. Tidak ada apa pun yang bisa ditertawakan, tapi laki-laki itu merasa perutnya digelitik dari dalam.

"Pulanglah setelah kondisi kalian membaik," ujar wanita tersebut.

Jordan mengangguk sembari tersenyum. "Baiklah. Setelah kondisi istri saya membaik, kami akan segera pergi dari sini."

Wanita itu tidak menjawab apa pun, ia hanya diak dengan tangan di belakang. Ia menghampiri suaminya yang masih duduk di depan pintu. Ia menunjuk ke arah jendela yang tertutup pagar besi.

"Mereka masih berkeliling," ujar pria tua itu dengan suara lirih.

Istrinya perlahan mendekat ke arah jendela. Anak panah langsung menancap kuat di pintu rumah tersebut hingga ujungnya menembus ke dalam. Rupanya orang gila itu terus mengikuti mereka sampai di tempat ini.

"Jangan mendekat ke sana," ujar pria tua itu sembari berusaha bangun dari tempat duduknya.

Lorreine langsung berdiri, lalu menarik tangan suaminya ke arah toilet. Begitu tiba di dalam, ia mengunci pintu tersebut. Lorreine mengusap wajahnya dengan kasar.

"Kita harus pergi dari sini," kata Lorreine.

"Melewati orang gila itu?" tanya Jordan.

Lorreine meletakkan sebelah tangannya di bahu Jordan. Ia menatap suaminya lekat-lekat. "Lebih baik kita mati daripada membahayakan orang lain."

~~~

OC Sheriff's Departement, California.

Suasana di tempat ini begitu ricuh. Banyak sekali laporan dari warga sekitar tentang kegaduhan yang terjadi di rumah sepasang lansia. Leffander Ors, seorang sheriff tampan yang begitu terkenal di California. Banyak kasus yang berhasil diselesaikan olehnya. Mulai dari kasus penculikan besar-besaran yang terjadi di Santa Ana, hingga kecelakaan antara mobil SUV dan Truk di California Selatan.

"Jika dia berniat membunuh, bukankah lebih baik menggunakan pistol?" tanya Leffander.

Joyi, satu-satunya wanita yang menjabat sebagai deputi kepala itu memutar bola mata. "Memangnya hanya pistol yang bisa digunakan untuk membunuh?"

Leffander menoleh ke arah Joyi. "Lebih baik kau diam, Nak!"

Baru saja hendak membalas, pria bertubuh gempal datang dari arah pintu masuk. Ia melemparkan tumpukan kertas yang ada digenggamannya hingga berserakan di lantai. Leffander dan Joyi bangun dari tempat duduknya dengan panik.

"Dasar tidak berguna!" teriak pria yang baru saja datang tersebut.

Fornard, sheriff senior yang berusia setengah abad itu merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Semalaman ia tidak bisa memejamkan mata karena panggilan yang terus masuk ke telepon rumahnya.

"Bereskan semuanya, Leff!" titah Fornard.

Leff mengernyitkan dahinya. "Tapi aku baru saja akan mengambil cuti. Bagaimana kalau Joyi yang datang ke lokasi itu?"

Joyi tersenyum miring dengan kedua tangan terlipat di dada. "Jangan hanya karena kau senior, bisa bebas menolak perintah. Apalagi itu datangnya dari sheriff Fornard."

Leffander menghela napasnya. Bekerja dalam satu ruangan dengan dua orang itu benar-benar menguras tenaganya. Fornard yang enggan bertugas di lapangan dan Joyi yang hanya bisa mengetik dan menerima keluhan publik.

"Berikan aku satu alasan yang bisa membuatku pergi ke sana," ujar Leffander.

Fornard yang semula terlentang, mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap lurus ke arah Leffander.

"Anak panahnya sama dengan yang kita temui 4 tahun lalu," ujar Fornard.

Leffander memicingkan kedua matanya. "Maksudmu ... anak panah yang kita temukan saat penculikan itu?"