Gill berusaha menenangkan Juan. Ia mendekati pria yang saat ini tengah bersembunyi di bawah kasur. Di tangannya sudah terdapat sebilah pisau yang entah didapatnya dari mana. Ia mengarahkan pisau itu pada Gill.
"Menjauh! Anak iblis!" racaunya.
Gill perlahan mundur karena tidak mau memicu keributan di tempat itu. Kondisi saat ini tidak begitu menguntungkannya. Apalagi suara langkah kaki yang terus berlalu lalang di depan bangunan tersebut.
Gill melempar tatapannya ke arah Jeremy. Lalu ia mengisyaratkannya untuk ikut keluar dari tempat tersebut. Gill menarik pedang dari sarungnya, pertanda ia sudah siap untuk bertarung.
"Mari kita cari teman yang lain," ujar Gill.
Jeremy menoleh sebentar ke arah Juan yang masih ketakutan. Ia mendekati pria itu sembari melempar senyuman manis. Anehnya Juan terlihat tenang saat didekati Jeremy. Pria itu memberikan respon yang berbeda dengan sebelumnya.
"Jauh-jauh dari dia, Nak," bisik Juan.
Jeremy langsung berjongkok karena suara pria itu tidak terdengar. "Apa yang anda katakan, Pak?"
Juan melirik ke arah Gill yang masih berdiri di depan pintu. "Jauhi anak itu. Dia anak iblis!"
Jeremy ikut menoleh ke arah Gill, lalu ia tertawa beberapa saat. Entah apa yang dikatakan oleh pria tersebut. Ia menudingkan telunjuk ke arah sahabatnya tersebut.
"Dia Gill, sahabatku. Selama ini dia selalu membantuku," ujar Jeremy.
Juan menggeleng dengan cepat. "Tidak! Kau harus menjauhi dia!"
Gill bergegas mendekati Jeremy, lalu menarik pria itu agar pergi dari sana. Ia melirik sekilas ke arah Juan yang masih bersembunyi di bawah ranjang. Gill menarik napasnya dengan berat. Ucapan pria aneh itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Mereka keluar dari rumah tersebut secara perlahan. Sebisa mungkin kedua orang itu tidak mengeluarkan suara yang bisa mengundang kedatangan orang banyak. Revanta bergegas menjemput mereka yang terlihat seperti orang yang tersesat.
"Ke mana saja kalian?" tanya Revanta.
Gill menunjuk ke arah Jeremy. "Mencari dia."
Jeremy mengangguk cepat. "Kami sempat berpisah. Untung saja ada pria tua yang menolongku."
Revanta mengernyitkan dahinya. "Pria tua?"
"Ya, pria itu mengenakan topeng kuda." Gill menunjuk ke sembarang arah. "Dia tinggal di rumah lantai 2 yang gelap."
Revanta membulatkan kedua matanya. Ia menatap kedua temannya dengan wajah yang mulai memucat. Jeremy dan Gill hanya bisa saling pandang. Mereka tidak tahu apa yang salah dari ucapannya.
"Memangnya siapa pria itu?" tanya Gill.
Revanta terdiam, ia tidak menjawab pertanyaan Gill. Suasana di ruangan itu berubah menjadi sunyi. Langkah kaki yang banyak terdengar jelas berlalu lalang di depan rumah tempat persembunyian mereka.
"Sepertinya mereka tidak ada di sini."
"Mereka pasti sudah lari terkencing-kencing."
"Kalau begitu, kita harus melapor pada Ben."
Gill langsung mengepalkan sebelah tangannya dengan penuh tenaga begitu mendengar nama Ben. Ia mengambil pedang yang tergeletak di lantai, lalu bergegas bangun dan berjalan ke arah pintu. Revanta dengan cepat menahan tangan pria itu. Ia menggelengkan kepalanya.
"Jangan keluar," ujar Revanta.
Gill melepaskan genggaman Revanta dalam sekali hentak. "Aku harus mencari orang tuaku. Mereka pasti ditangkap oleh pria bernama Ben."
Bran yang sedari tadi diam mulai hilang kesabaran. Ia bergegas bangun dan melangkah cepat ke arah Gill. Tanpa mengatakan apa pun, ia melayangkan pukulan ke wajah pria tersebut. Seketika Gill hilang keseimbangan dan terjatuh. Sementara itu Jeremy dengan sigap membantu rekannya itu untuk berdiri.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Jeremy.
Bran menudingkan telunjuk ke arah Gill. "Tanyakan saja pada temanmu itu."
"Gill, apa yang kau lakukan?" tanya Jeremy sembari menepuk bahu rekannya tersebut.
Gill menepis tangan Jeremy dengan kasar. "Aku muak berada di sini!"
Bran mengangguk sembari tertawa. "Kalau begitu, kau boleh keluar lewat jendela belakang. Jika mau mati, lebih baik tidak mengajak orang lain."
Gill langsung mengambil kotak yang berisi senjata. Lalu ia berjalan cepat ke arah dapur rumah tersebut. Jeremy terdiam di tempatnya untuk beberapa saat. Ia menatap Revanta dan kedua rekannya secara bergantian. Setelah itu, barulah ia mengikuti Gill yang sudah menghilang di balik pintu dapur.
Jeremy bisa melihat Gill yang tengah berusaha keras menyingkirkan barang dari atas meja. Ia langsung membantu rekannya itu dengan penuh semangat. Begitu semua barang sudah dipindahkan ke bawah, barulah jendela tua itu terlihat. Gill menoleh ke arah Jeremy, lalu membuka jendela tersebut. Langit terlihat sangat gelap membuatnya sedikit takut.
"Tetaplah di sini, Jeremy. Kau bisa saja mati jika ikut denganku," ujar Gill.
"Tidak! Kita ini sahabat, 'kan?" kata Jeremy lalu tersenyum manis.
Gill tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Kau harus menjauh dariku."
~~~
Lorreine berdiri di depan sebuah kabin tua. Suaminya masih terus berusaha membuka pintu tempat tersebut. Sekilas ia melihat kilatan cahaya di sudut jendela. Lorreine menghampiri jendela itu dengan hati-hati.
"Jordan, sepertinya ada sesuatu di sini."
Jordan langsung melepas kawat yang ada di tangannya. Ia bergegas mendekati Lorreine yang berdiri di depan jendela. Lalu wanita itu berusaha menarik keluar sebuah benda yang berkilau di sela jendela.
"Sepertinya itu kunci," ujar Lorreine.
Jordan mengangguk. "Biar aku yang mengambilnya."
Lorreine segera menyingkir. Ia membiarkan suaminya meraih benda itu dengan sebatang tusuk gigi yang selalu ada di sakunya. Tanpa membuang banyak waktu, pria itu bisa berhasil mengeluarkan kunci dari tempat sempit tersebut.
"Sepertinya itu kunci pintu kabin." Lorreine merampas benda itu, lalu berlari kecil ke arah pintu. "Mari kita coba."
Wanita itu langsung memasukkan kunci ke dalam lubang. Ia memutarnya ke arah kanan, lalu senyumnya terbit begitu pintu terbuka. Namun saat pintu itu didorong, senyumnya langsung sirna. Kini yang terlihat hanyalah ruang kosong dan berdebu. Lorreine berbalik ke arah suaminya dengan wajah cemberut.
"Tempat macam apa ini, Jordan?" tanya Lorreine.
Jordan menunjuk ke dalam kabin sembari tersenyum kikuk. "Ini ... rumah."
"Apa tempat kosong ini bisa disebut rumah?" tanya Lorreine.
Jordan langsung masuk ke dalam kabin tersebut. Lalu ia berkeliling ruang kosong itu sembari tertawa. Lorreine yang melihat tingkah suaminya hanya bisa berdecak sebal.
"Ini gudang bukan rumah, Jordan!" kata Lorreine.
Jordan tertawa cukup keras. Lalu ia mengambil sapu yang ada di sudut ruangan tersebut. Ia bergegas membersihkan lantai yang dipenuhi daun dan rumah rayap. Sementara Lorreine masih terus memperhatikan gerak-gerik suaminya.
"Aku tidak akan membantumu. Jadi jangan berharap lebih."
Jordan menoleh ke arah istrinya. "Lalu kau mau ke mana, Bu? Kembali ke rumah yang sudah hancur?"
Lorreine mendecak kesal. "Ini semua salah Gill!"
"Justru Gill yang sudah menyelamatkan kita!" sahut Jordan dengan suara yang meninggi.
Baru saja Lorreine hendak membalas ucapan suaminya. Mereka mendengar suara tembakan yang bersahut-sahutan cukup dekat. Jordan menutup pintu kabin itu rapat-rapat. Lalu ia menarik istrinya dan tiarap di lantai yang masih belum terlalu bersih.
Samar-samar terdengar langkah kaki yang mendekat. Tidak lama, suara tembakan kembali terdengar berasal dari depan kabin. Jordan dan Lorreine semakin merapatkan tubuh mereka dengan lantai.
"Sepertinya aku salah lihat. Tidak mungkin ada orang yang tinggal di dalam kabin ini."
Pria berpakaian serba merah itu kembali menyimpan senapannya di punggung. Lalu ia mengambil kertas dari saku celananya. Nampak beberapa nama beserta foto di sana. Lalu ia menunjuk salah satu foto pria sembari tersenyum.
"Hutan Negara Apache kosong. Mungkin saja mereka pergi ke Arizona."