Jeremy menunjuk ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Ia bisa melihat dengan jelas ada orang di dalam sana. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah mobil itu. Lalu menyempatkan bersembunyi untuk berjaga-jaga jika ada orang yang melihatnya. Sedangkan Gill masih berdiri di depan pintu rumah yang sudah berantakan tersebut.
"Anak itu tidak pernah mau mendengar jawabanku dulu," gumam Gill.
Melihat rekannya yang sudah ada di seberang, membuat Gill mau tidak mau berjalan menyusulnya. Ia bisa melihat dengan jelas Jeremy yang tengah mengintip ke dalam mobil melalui kaca belakang.
"Wanita itu ada di sini!" teriak Jeremy.
Revanta dan Bran sangat terkejut mendengar teriakan Jeremy. Mereka mengira kalau itu suara orang-orang yang mengejarnya. Tapi begitu menoleh, mereka menghela napas lega. Kedua orang itu keluar dari dalam mobil dan menghampiri Jeremy.
"Mengapa kalian ada di sini?" tanya Revanta.
Jeremy menunjuk ke arah Gill yang sudah hampir mendekat. "Dia bilang ingin menyelamatkan kalian. Jadi aku ikut ke sini."
Revanta menatap Gill dengan dahi yang sedikit berkerut. "Orang aneh."
Gill berdiri di belakang Jeremy, ia menepuk bahu sahabatnya itu beberapa kali. Lalu ia menunjuk ke arah mobil yang ada di depannya tersebut. Sementara Bran terus menatap tajam ke arah Gill.
"Mobil ini bisa digunakan?" tanya Gill.
"Mengapa kau tidak pergi dari sini?" tanya Bran.
Gill menautkan kedua alisnya. "Orang-orang itu mengincar Revanta."
Bran mengangkat sebelah alisnya. "Lalu?"
"Terserah kau saja. Niatku sudah baik mau kembali ke sini," ujar Gill.
Pria itu pergi tanpa mengajak ketiga orang yang ada di sana. Namun Jeremy yang sudah seperti bayangannya itu langsung membuntuti dengan penuh semangat. Ia menoleh ke arah Revanta dan Bran, lalu melambaikan tangannya.
Namun Revanta hanya menggelengkan kepalanya. Ia dan Bran pergi ke arah yang berlawanan, seakan menjauhi langkah Gill. Hal itu dilakukannya bukan karena membenci laki-laki tersebut. Ia hanya tidak ingin melibatkan orang lain ke dalam masalahnya.
"Sebelah sini, Bran. Kita tidak boleh keluar dari tempat ini," ujar Revanta.
Bran menggeleng, ia menggenggam pergelangan tangan wanita itu dengan lembut. Lalu ia membawanya masuk ke dalam sebuah rumah tanpa atap. Sekarang mereka harus keluar dari tempat ini. Jika terus berada di kawasan real estate, orang-orang itu bisa saja meratakan tempat tersebut.
"Dengarkan aku, Revanta. Kita harus keluar dari sini sebelum malam tiba."
Revanta menghentakkan tangannya dengan meras hingga genggaman Bran terlepas. "Tidak! Kita tidak boleh meninggalkan tempat ini!"
Bran mengha napasnya dengan berat. "Kau tau 'kan mereka itu ambisius?"
"Maka dari itu, aku ingin tetap di sini agar tidak membahayakan orang lain." Revanta menepuk bahu pria di hadapannya. "Kau boleh pergi dari sini, Bran. Mereka tidak menginginkanmu."
Bran menggeleng dengan cepat. Ia meletakkan kedua tangannya di bahu Revanta. Kedua matanya menatap lekat wanita tersebut.
"Bahkan jika mereka memotong kedua tangan dan kakiku, aku tidak akan meninggalkanmu!"
Revanta tersenyum sembari menganggukkan kepalanya berulang kali. Ia mundur satu langkah dari tempatnya. Tangan kanan wanita itu bergerak mengeluarkan pistol semi otomatis yang tersembunyi di saku belakangnya, lalu ia meletakkan benda itu di lantai.
"Kalau begitu ... aku yang akan meninggalkanmu, Bran."
Revanta berlari keluar dari sana dan menutup pintu sebelum Bran mengejarnya. Setelah itu ia menoleh ke kanan dan kiri, menimbang jalan yang hendak dipilihnya. Sementara Bran yang masih ada di dalam berusaha membuka pintu yang macet tersebut. Ia berlari menelusuri rumah lusuh itu untuk mencari jalan keluar. Tapi tidak ada satu pun akses keluar selain pintu dan atap yang rusak.
Bran menumpuk semua barang yang ada di penglihatannya. Berulang kali ia berusaha naik ke tumpukan benda itu, namun ia selalu terjatuh. Kakinya terkilir dan terluka saat jatuh karena terkena serpihan kayu di lantai. Tapi ia tidak menyerah, hingga tangannya bisa meraih kayu yang ada di atap. Harapannya untuk keluar semakin besar.
"Aku harus tetap bersama Revanta," ujar Bran sembari naik ke atap.
~~~
Entah sudah berapa lama Jordan dan Lorreine berada di dalam kabin. Untung saja mereka membawa cukup banyak persediaan makanan. Namun hari ini, semua makanan mereka sudah habis.
"Bagaimana jika kita keluar?" tanya Jordan.
Lorreine bangun dari tempat duduknya. Ia dengan hati-hati pergi ke arah jendela. Tangannya bergerak membuka sedikit tirai yang menutup tersebut. Suasana di sekitar sangat sejuk dan damai. Hanya terdengar suara burung-burung yang begitu merdu.
Wanita itu menoleh ke arah suaminya. "Sepertinya sudah aman."
Jordan ikut bangun dan membawa tasnya. Ia menghampiri wanita yang tengah mengintip ke luar tersebut. Ia yang masih kurang yakin ikut mengintip, ia masih harus memastikan keadaan di luar baik-baik saja. Jika mengingat kejadian saat pertama kali datang, tentu saja peluru yang menghantam kabin itu sungguhan.
"Kau yakin?" tanya Jordan.
Lorreine mengangguk dengan cepat. "Kita harus segera keluar sebelum orang itu datang lagi."
"Bagaimana kalau dia bersembunyi?" Jordan menunjuk ke dinding kabin yang sedikit menyisakan benjolan. "Peluru itu sungguhan, Lorreine."
"Tapi kalau tetap di sini, kita bisa mati kelaparan," ujar Lorreine.
Jordan menghela napasnya dengan berat. "Kalau begitu, biar aku saja yang keluar. Kau tetap bersembunyi di sini sampai aku kembali!"
Baru saja Jordan hendak membuka pintu, Lorreine menahan lengannya. Wanita itu menatapnya dengan sorot yang tajam hingga mampu membuat siapa pun tersayat. Jika sudah begini, Jordan tidak punya pilihan lain.
"Pakai sepatuku," ujar Jordan sembari berjongkok melepas sepatunya.
Lorreine menatap sandalnya yang sudah rusak. "Jangan bersikap sok manis."
Jordan mendecak pelan. "Diam dan turuti ucapanku!"
Pria itu menarik paksa kedua kaki Lorreine dan memakaikannya sepatu. Sementara ia mengambil alih sandal milik istrinya tersebut. Setelah itu dengan perlahan ia membuka pintu tua. Sebelum keluar, ia menoleh sejenak ke arah Lorreine.
"Tetap di belakangku," ujar Jordan.
Lorreine tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Baik."
Jordan keluar dari kabin itu dengan perlahan. Matanya mengawasi sekitar layaknya elang yang tengah berburu. Sementara Lorreine mengikuti suaminya dengan langkah yang seirama. Mereka menelurusi jalan penuh dedaunan itu dengan hati-hati. Mungkin saja banyak hewan berbahaya tersembunyi di daun tersebut.
Tiba-tiba saja sebuah anak panah menancap di pohon yang berjarak 2 meter. Jordan dan Lorreine sontak menghentikan langkahnya. Mereka menoleh dengan cepat ke arah munculnya anak panah tersebut. Nampak pria berpakaian hitam mengenakan topi koboi tengah membawa panah. Pria itu melambaikan tangannya sembari melompat-lompat.
"Hei!" teriak pria itu dengan penuh semangat.
Jordan langsung menggenggam erat tangan Lorreine. "Bersiaplah, Lorreine. Dia orang gila."
Lorreine mengangguk. "Ke arah kanan ya."
"Kau pimpin jalannya."
Pria itu berjalan semakin dekat, kemudian dia berhenti. Tangannya mulai menarik anak panah sembari tertawa. Wajah asing itu benar-benar terlihat seperti pemburu yang haus darah.
"Jangan terlalu banyak bergerak, aku ingin menancapkan anak panah tepat di dahi kalian!" teriaknya.