Julia menatap langit yang perlahan berubah gelap. Entah sudah berapa lama ia berlari sejak perpisahannya dengan Myujin. Namun kedua orang itu masih terus mengejarnya. Untung saja ia masih sempat bersembunyi di lubang yang tertutup semak belukar.
"Semoga saja mereka tidak menemukanku," gumam Julia.
Julia semakin menundukkan kepalanya saat suara langkah kaki mulai mendekat. Wanita itu meringkuk ketakutan di dalam lubang. Ia tidak peduli lagi dengan serangga yang merayap di kulitnya.
"Sepertinya dia tidak ada di sini," ujar Alan —pria berambut panjang yang dibebankan tanggung jawab lebih besar dari rekannya.
Vasko —rekannya itu mengangguk. Ia menyapukan pandangannya ke segala arah. Suasana hutan saat itu terang benderang karena cahaya matahari yang masuk dari celah pohon tinggi. Rasanya sulit untuk dipercaya, kedua pria yang selama ini tidak pernah melewatkan mangsa, malah kehilangan jejak wanita tua.
"Bisa-bisanya wanita tua itu berlari secepat kuda," gumam Vasko.
Alan menautkan kedua alisnya. "Kalau dipikir-pikir, tidak mungkin wanita setua itu bisa lari secepat kuda."
"Entahlah. Mungkin dia punya jubah yang bisa membuatnya tidak terlihat." Vasko memilih duduk sembari meregangkan kedua kakinya.
Alan menepuk kepala rekannya itu. "Benar sekali! Pasti dia masih ada di sekitar sini!"
Julia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia berusaha untuk tidak bersuara walau saat ini, ia bisa melihat dengan jelas sosok pria yang mengejarnya dalam jarak 1 meter. Jika ia membuat suara sedikit pun, pasti ia akan langsung dibawa ke tempat menakutkan itu.
Alan menghela napasnya pelan. "Apa kita kembali saja? Lagi pula Myujin sudah ditangkap."
Vasko tersenyum lebar. "Iya! Lebih baik kita melihat Myujin disiksa oleh dokter gila itu."
Julia yang ada di dalam lubang hanya bisa terdiam. Hatinya terasa sangat sakit mendengar percakapan kedua orang tersebut. Semudah itu mereka melakukan perbuatan kejam pada manusia yang punya hak hidup.
Perlahan kedua orang itu pergi menjauh dari tempat persembunyian Julia. Suara langkah kakinya juga sudah semakin jauh hingga membuat wanita itu bisa sedikit bernapas dengan lega. Ia menyingkirkan semak yang menghalangi jalan keluarnya. Lalu sekuat tenaga, ia menarik tubuhnya untuk naik ke atas. Tapi ternyata sangat sulit karena lubang yang terlalu dalam.
"Butuh bantuan, Nona?"
Julia menatap tangan besar yang ada di depannya. Lalu pandangannya perlahan naik ke atas. Detak jantungnya berpacu begitu cepat. Ia langsung melotot saat mendapati Alan yang tersenyum lebar ke arahnya.
Pria itu langsung menarik tangannya dengan kasar hingga keluar dari lubang tersebut. Setelah itu sosok Vasko datang dengan karung. Sesaat, pandangan Julia berubah menjadi gelap karena kepalanya dimasukkan ke karung tersebut.
Bugh!
Hantaman keras di belakang kepalanya mengakhiri semua.
~~~
"Belok ke kanan," ujar Jeremy.
Gill menautkan kedua alisnya. Ia langsung memutuskan untuk menepi sejenak. Tangan kanannya menyambar peta yang ada digenggaman Jeremy.
"Hei, kau bisa membaca peta atau tidak?" tanya Gill dengan mata melototnya.
Jeremy tertawa sembari menggaruk kepalanya. Hanya dengan respon seperti itu, seakan Gill langsung bisa mendapat jawaban. Ia menelusuri setiap jalan yang ada di peta itu dengan telunjuk.
"Perjalanan kita dimulai dari Buford." Gill menunjuk sebuah bangunan yang digambar begitu sederhana. Lalu telunjuknya bergerak ke gambar jalan yang cukup panjang.
"Berarti kita bisa tiba 1 jam lebih cepat kalau melalui belokan yang sebelumnya," gumam Gill.
Pria itu langsung menoyor kepala Jeremy dengan gemas. "Kau mengemudi, biar aku yang baca petanya!"
Jeremy tertawa untuk beberapa saat. Lalu ia mulai melajukan mobilnya untuk kembali ke rute tercepat. Gill mengambil ponsel dari sakunya, lalu mencari nama lokasi yang saat ini tengah dilaluinya.
"Timbercreek Canyon," gumam Gill.
Jeremy menoleh sekilas ke arahnya. "Canyon? Itu artinya kita berada di Texas?"
Gill mengangguk cepat. "Kita bisa tiba di California 2 hari lagi."
Jeremy tersenyum miring. "Tidak, sampai aku menginjak pedal gasnya!"
Mobil jeep wrangler sport berwarna silver itu melaju sangat kencang membelah jalan yang tidak terlalu ramai. Orang-orang yang melintas seakan dipaksa untuk mengalah. Jeremy tertawa kegirangan melihat tingkahnya sendiri. Sementara Gill hanya bisa menggelengkan kepala sembari berpegangan erat pada sabuk pengamannya.
"Jangan ubah rute sebelum mendengar perintahku," ujar Gill.
Jeremy mengangguk patuh. "Siap, Kapten"
Saat tengah melalui jalan yang lurus dan tenang, tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Gill yang semula fokus melihat peta, langsung mengalihkan tatapannya pada Jeremy. Sahabatnya itu juga terlihat bingung. Akhirnya mereka keluar untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.
Begitu keluar, Jeremy mendecak pelan. Ia melihat kawat berduri yang sudah melilit ban depan mobilnya. Alhasil sekarang ban depannya harus diganti. Untung saja ia selalu membawa ban cadangan. Ia segera mengganti ban dengan bantuan Gill. Dalam waktu kurang dari 15 menit, mereka berhasil memperbaiki satu-satunya transportasi untuk ke tempat tujuan.
"Lanjut?" tanya Jeremy.
Gill mengangguk pelan. "Mau berhenti pun, tidak ada tempat untuk menginap."
Sahabatnya itu mengangguk, ia membenarkan ucapan Gill. "Kalau begitu, ayo masuk mobil."
Selama di perjalanan setelah kejadian kawat berduri, perasaan Gill terus menerus memburuk. Ia tidak tenang dan merasa ingin marah. Apalagi saat Jeremy dengan sengaja menghantam polisi tidur tanpa menurunkan kecepatan.
Gill menarik napasnya dalam-dalam, lalu ia menoleh ke arah Jeremy yang tengah bersenandung dengan santai. Melampiaskan semuanya pada pria itu malah akan memperburuk keadaan. Makanya ia memilih untuk memejamkan kedua matanya. Walau ia tahu, kapan pun matanya bisa terpejam selamanya mengingat begitu ugal-ugalannya tingkah Jeremy di jalan.
Dor!
Kedua pria yang ada di dalam mobil itu terperanjat. Jeremy yang mengemudi juga merasa bingung saat mobil menjadi sangat sulit dikendalikan.
"Ada yang menembak ban mobilku!" seru Jeremy.
Gill membuka kaca mobil. Lalu ia mencoba untuk melihat ke belakang. Sebuah peluru melesat begitu cepat ke arahnya. Beruntung hanya mengenai ujung rambutnya.
"Ada yang berniat membunuh kita!"
~~~
Julia menatap Gill yang duduk di kursi dengan tangan dirantai. Ia merangkak ke dekat suaminya sembari menangis. Kondisi pria itu sudah terlihat lemah. Matanya terpejam dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Myujin ...," panggil Julia dengan suara bergetar.
Julia menyentuh pipi suaminya. Ia tidak bisa menahan air mata yang terus saja mengalir. Apalagi saat melihat darah di sudut bibir Myujin. Hatinya terasa sangat teriris.
Perlahan Myujin membuka matanya. Samar-samar ia bisa melihat sosok Julia. Pria itu menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman yang nyaris tidak terlihat.
"Ju ... lia ...," gumam Myujin.
Julia mengangguk cepat dengan wajah yang cemas. "Aku di sini, Myujin. Apa yang mereka lakukan padamu?"
Myujin tidak menjawab. Ia terus menatap wanita di depannya dengan setengah mata tertutup. Ia berusaha menggerakkan tangannya, namun terhalang rantai.
"Da ... himu."
Julia langsung menyentuh dahinya. Tanpa melihat, ia bisa langsung tahu kalau ada darah di sana. Sebisa mungkin ia tertawa untuk mencairkan suasana yang dipenuhi kesedihan tersebut.
"Ah ... Aku menabrak pohon saat kabur," ujar Julia.
Myujin menggeleng pelan. Ia mengatakan sesuatu tapi suaranya tidak terdengar. Julia semakin mendekatkan telinganya ke mulut pria tersebut.
"Pergi ... dari sini."
Julia menautkan kedua alisnya, lalu menggeleng pelan. "Aku harus menyelamatkanmu."
Myujin memaksakan bibir pucatnya untuk tersenyum. "Aku ... sudah tidak punya ... kekuatan lagi."
Tiba-tiba pintu ruangan yang semula tertutup, langsung terbuka lebar. Nampak sosok Ben yang diikuti oleh Alan dan Vasko. Mereka tertawa bersamaan menatap sepasang suami istri yang tengah diselimuti kesedihan tersebut.
"Menyedihkan sekali," ujar Ben sembari mengusap matanya.
Julia langsung berdiri tepat di depan Myujin. "Jangan berani mendekat!"
Ben mengernyitkan dahinya. "Wah ... berani sekali."
Ben menoleh ke arah Alan. Lalu anak buahnya menyerahkan sebuah remot kecil. Dokter gila itu menekan satu-satunya tombol di benda tersebut. Seketika tubuh Myujin mengejang. Julia sangat panik melihat keadaan suaminya. Rupanya itu kursi listrik yang biasa digunakan pihak kepolisian untuk menginterogasi tersangka.
"Hentikan!" teriak Julia.
Ben mengangguk beberapa kali. "Baik."
Myujin menatap Julia, kedua matanya berkaca-kaca. Ia menggeleng pelan sembari mengucapkan sesuatu. Namun Julia tidak bisa mendengarnya. Myujin yang frustasi menarik napas dalam-dalam. Ia memberontak keras berusaha melepaskankan kedua tangannya yang dirantai.
"Biarkan Julia pergi!" teriak Myujin yang sudah putus asa.
Ben membulatkan mulutnya. "Kau pria yang berani, Myujin. Pantas saja wanita ini tergila-gila padamu."
Myujin memejamkan mata, lalu air mata langsung menetes ke pipinya. "Tolong turuti permintaanku, Ben."
"Kau akan membalasnya dengan apa?" tanya Ben.
"Kau boleh menyiksaku sepuasnya."
Ben menggelengan kepalanya dengan cepat. "Tidak. Itu tidak cukup."
Myujin menarik napasnya dalam-dalam. Lalu ia menatap dokter gila yang berdiri 3 meter darinya.
"Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Myujin.
Ben tersenyum puas. Nampaknya memang sedari tadi, ada sesuatu yang benar-benar diinginkannya. Dokter gila itu melangkah perlahan mendekati Myujin dengan diikuti kedua anak buahnya.
"Putramu. Biarkan dia bekerja denganku, maka kalian akan bebas."