Myujin menatap wajah istrinya dari samping. Ia bisa melihat raut cemas di sana. Selama ini mereka selalu hidup tenang jauh dari banyak orang. Namun suasana mendadak berubah hingga membawanya ke kondisi berbahaya seperti ini.
"Jangan takut," kata Myujin setengah berbisik.
Julia sedikit mengangkat wajahnya. Ia menarik kedua sudut bibirnya, membentuk lengkungan yang indah. Myujin benar-benar dibuat merasa bersalah telah membawanya ke dalam masalah pribadi ini. Jika saja saat itu ia tidak melarikan diri dan pulang ke rumah, mungkin saat ini Julia sedang hidup tenang.
"Apa kamu bisa berlari?" tanya Myujin.
Julia mengangguk. "Aku masih sanggup berlari."
"Baiklah." Myujin menunduk sejenak. "Aku akan mengalihkan perhatian Ben. Lalu kamu harus berlari secepat mungkin agar bisa keluar dari sini."
Wanita itu membelalakkan kedua matanya. Ia menggeleng cepat. "Tidak. Kita harus pergi bersama."
"Jika kamu berhasil kabur, maka aku pasti bisa selamat. Kamu bisa mencari bantuan dari polisi atau semacamnya," jelas Myujin.
Julia masih terus menggelengkan kepalanya. "Tidak, kita harus lari bersama."
Myujin meletakkan kedua tangannya di bahu wanita tersebut. Ia menatap wanita itu lekat-lekat, lalu tersenyum. Kedua matanya berkaca-kaca begitu melihat wajah istrinya yang pucat.
"Kamu harus tetap hidup ... untukku. Masih banyak hal yang harus kamu lakukan bersama Gill. Tetaplah hidup, Julia."
Julia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Bulir air mata mulai jatuh ke pipinya. Namun Myujin masih tetap pada pendiriannya. Pria itu berdiri dengan gagah, ia menampakkan diri dari semak tempatnya bersembunyi. Nampak Ben yang terkejut, dokter gila itu berdiri dua meter dari posisi Myujin.
"Hei, Myujin A!" sapa Ben sembari melambaikan tangannya. "Lama tidak berjumpa."
Myujin terdiam, ia mengepalkan kedua tangannya. Lalu perlahan ia berjalan mendekat ke arah Ben. Sekilas ia melirik Julia yang membekap erat mulutnya sembari menggeleng. Wanita itu berusaha menahan suara tangisannya. Myujin tersenyum tipis, namun ia tetap berjalan menjauh dari Julia.
"Kau sendirian?" Ben mengernyitkan dahinya. Ia menatap ke belakang Myujin. "Di mana istrimu?"
"Untuk apa mencari orang yang tidak ada hubungannya dengan masalah kita?" ujar Myujin.
Ben menganggukkan kepalanya sembari tersenyum lebar. "Benar juga. Aku hanya membutuhkanmu, Myujin."
Myujin berjalan semakin mendekat dengan Ben. Ia berhasil membuat dokter gila itu memberikan seluruh fokus padanya. Ben sudah tidak lagi menatap ke arah semak tempat Julia bersembunyi.
"Kau mau masuk sendiri atau dibuat pingsan dengan stun gun?" kata Ben.
Tanpa berpikir panjang, Myujin langsung berjalan mendahului Ben. Ia berhenti tepat di depan pintu yang beberapa menit lalu dilaluinya bersama Julia. Tapi kali ini, ia harus masuk ke neraka itu lagi, seorang diri.
Ben menempelkan ibu jarinya di finger print yang ada di dekat pintu. Selain itu, ada beberapa tombol sandi. Mungkin itu yang digunakan oleh dokter ataupun orang kepercayaan Ben selama keluar masuk tempat tersebut. Dokter gila itu masuk terlebih dahulu. Lalu Myujin menoleh ke arah semak tersebut. Ia masih bisa melihat punggung Julia yang sudah menjauh. Ia tersenyum tipis, lalu kaki kanannya mulai melangkah masuk ke tempat yang gelap tersebut.
Kamu harus tetap hidup untukku, Julia.
Sementara itu, Julia terus berlari menembus semak belukar yang ada di depannya. Ia sama sekali tidak tahu tempat semacam apa ini. Bahkan ia tidak bisa menebak nama hutan yang mengurungnya saat ini.
Jackson atau Stanislaus?
Entahlah! Julia tidak pernah mengunjungi keduanya.
Wanita itu semakin memacu kepecatan kakinya. Ia bahkan tidak peduli saat duri atau ilalang menyakiti lengan dan kakinya. Hingga akhirnya ia melihat seorang pria tua yang berjalan dengan membawa senapan. Melihat senjata itu, Julia merasa pria tersebut pasti bisa menolongnya.
"Pak!" panggil Julia dengan wajah paniknya.
Pria tua itu mengernyit bingung. "Ada apa? Apa yang Anda lakukan di sini?"
"Sebenarnya ini di mana?" tanya Julia.
"El Dorado. Ini kawasan berburu," jelas pria tersebut.
Julia menelan ludahnya sembari menoleh ke segala arah. "Apa Anda bisa membantu saya keluar dari sini?"
Pria itu mengangguk walau wajahnya sangat bingung. "Tentu saja. Lewat sini."
Jleb!
Uhuk!
Julia sangat terkejut hingga terjatuh ke tanah. Ia melihat dengan jelas bagaimana pisau itu mendarat tepat di belakang punggung pria tua yang ingin menolongnya tersebut. Julia meringsut ketakutan, ia berusaha untuk bangkit. Kedua pria bertubuh besar yang tidak terlalu jauh darinya mulai berlari.
"To ... long ...," rintih pria tua tersebut.
Julia ingin sekali menolong pria itu, tapi kondisi saat ini lebih gawat. Akhirnya ia memilih untuk berlari dan meninggalkan pria tersebut. Beberapa kali ia melihat pisau yang melayang di sampingnya dan berakhir menancap kuat di pohon.
"Aku harus tetap hidup dan menyelamatkan Myujin!" gumam Julia dengan jantung yang berdegup cepat.
~~~
Gill menghela napasnya pelan. Entah sudah berapa lama dia dan Jeremy berputar di lahan kosong itu. Sejak langit masih gelap hingga matahari yang sudah bersinar sangat terang, namun mereka masih belum menemukan apa-apa.
"Di sana ada sesuatu?" tanya Gill.
Jeremy menggelengkan kepalanya. "Hanya tumpukan jerami."
Gill mengusap dahinya yang dipenuhi keringat. Ia terus berjalan tanpa melewati satu sentimeter dari luasnya tempat tersebut. Ia menghentikan langkahnya saat menginjak tanah yang empuk.
Matanya menyipit, ia membedakan tanah itu dengan sekitar. Nampaknya tanah itu bekas galian karena permukaannya yang terlihat tidak kering. Ia menoleh ke arah Jeremy, ia melempar segumpal tanah keras ke temannya tersebut.
"Apa?!" kata Jeremy dengan wajah terkejut.
"Bantu aku menggali ini," ujar Gill sembari menunjuk tanah yang diinjaknya.
Jeremy bergegas menghampiri temannya. Lalu mereka mencari sesuatu untuk menggali tanah tersebut. Jeremy yang berjiwa hidup liar langsung menunjuk sebuah papan yang tergeletak tidak jauh darinya. Ia mengambil papan itu dan mulai menggali tanah yang dimaksud oleh Gill.
"Kau akan tetap berdiri di sana dan menonton?" tanya Jeremy.
Gill mengedikkan bahunya. "Kalau begitu carikan aku sesuatu."
"Bergantian saja," ujar Jeremy sembari menyodorkan papan tersebut.
Gill menghela napasnya, lalu ia bergantian menggali tanah yang mencurigakan tersebut. Hingga akhirnya ia tidak bisa menggali apa pun lagi karena tertutup sesuatu. Ia berusaha menggali dari sisi yang lain.
"Ada sesuatu yang menghalangi," gumam Gill.
Jeremy berjongkok, ia berusaha menarik papan yang menghalangi proses galian tersebut. "Sepertinya ini kotak."
"Kotak?" tanya Gill dengan wajah bingung.
Jeremy mengangguk dengan yakin. "Benar. Jika disentuh dari samping, terlihat seperti kubus."
Gill menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Kalau begitu mari gali dari bagian sekitarnya. Lalu kita bisa menarik kotak itu keluar dari sana."
Gill mencari kayu yang bisa dijadikan alat penggali. Setelah berhasil ditemukan, mereka langsung menggali tanah itu dengan penuh semangat. Cukup lama hingga menghabiskan waktu lebih dari 15 menit.
Mereka menghela napas lega, lalu mengusap keringat yang ada di pelipisnya secara bersamaan. Kotak itu berhasil diangkat dengan mudah. Tidak ada pengaman apa pun pada kotak tersebut, jadi bisa dipastikan kalau benda itu tidak berisi sesuatu yang penting.
Gill membuka kotak itu dengan jantung yang berdegup cepat. Wajah mereka sangat terkejut begitu melihat apa yang ada di dalam kotak tersebut. Gill meraih secari kertas usang yang ada di atas tumpukan senjata. Nampak gambar bangunan yang dibuat sesederhana mungkin dengan jalan yang dirangkai seperti menunjukkan arah.
"Ini ... peta?"