Reno memandang foto yang ada dihadapannya. Sebenarnya gadis ini cantik, tapi gue nggak suka sama dia. Lagipula dari pertemuan kemarin itu sepertinya gadis ini terlalu barbar dan akan sulit diatur. Gue nggak mau nikah sama dia. Nggak kebayang sama gue punya istri model begini. Lagipula Sandra mau gue kemanain? Tapi Sandra belum resmi jadi pacar gue meski beberapa bulan terakhir ini kami dekat. Apa gue harus menyatakan perasaan kepada Sandra?
Aaah ngapain sih kakek dan opa Steven punya rencana kayak begitu? Mommy yang batal dijodohin, kenapa jadi gue yang harus jadi korban. Lagipula gue belum siap menikah. Umur gue aja belum 35 tahun.
"Yo, bro! Ngapain bengong? Foto siapa tuh? Wuiiih cantik." Bian mengambil foto yang ada dihadapan Reno.
"Cantik tapi barbar. Nggak punya manner," balas Reno kesal.
"Nggak papa barbar yang penting cantik. Nggak malu-maluin buat diajak ke tongkrongan. Menurut gue lebih cantik dari Sandra."
Reno kembali memandang foto tersebut. Memang benar apa yang Bian katakan. Gadis tersebut memang sangat cantik. Seandainya saja sikapnya nggak terlalu barbar, pasti gue akan mempertimbangkan.
"Coba elo hubungi dia dan ajak ketemuan. Siapa tahu kalau hanya berdua sikapnya beda."
"Bipolar dong."
"Mau bipolar, polarbear atau apapun itu, kalau gue yang dijodohin sama dia, gue pasti akan langsung taubat."
"Dasar cowok ba*****n, kalau tuh cewek jadian sama elo, bisa-bisa kakek gue sembuh dari stroke dan bangkit mukulin elo."
"Cieee... overprotektif banget bro. Belum jadi istri aja sudah di-protect banget. Gimana kalau jadi istri. Jangan-jangan lo pasung di rumah," ledek Bian.
"Bi, apa gue tembak si Sandra aja ya? Terus gue bilang sama kakek kalau gue sudah punya pacar. Jadi kakek membatalkan niatnya buat ngejodohin gue sama si cewek barbar."
"Cara itu nggak akan berhasil Ren. Keinginan kakek lo bukan cuma melihat cucunya yang bujang lapuk ini menikah. Tapi dia mau elo menikah dengan cucu sahabatnya. Satu-satunya cara yang mungkin bisa berhasil adalah elo ketemuan sama tuh cewek lalu minta si cewek itu yang batalin perjodohan ini."
"Hmm .... boleh juga ide lo. Tumben pintar lo."
"Eh, sahabat lucknut gini-gini gue lulusan S2 dari Sydney. Gue lulus cum laude bro."
"Sayangnya otak lo sekarang lemot gara-gara elo keseringan main cewek."
"Hehehehe.. namanya juga masih muda bro. Eh, tapi kalau elo beneran nggak mau sama tuh cewek, gue aja yang ngelamar dia. Lumayan buat gue kenalin ke abi dan ummi."
"Gue heran, gimana ya perasaan abi dan ummi lo lihat anaknya kayak gini."
"Kam***t!" Bian melempar pulpen ke Reno.
"Bi, nanti elo temenin gue ketemu sama tuh cewek ya."
"Siap bro! Janji ya, kalau elo nggak mau oper ke gue."
"Memangnya tuh cewek barang sewaan bisa dioper sana sini."
⭐⭐⭐⭐
"Na, si Reno nge-wa nih."
"Dia bilang apa?"
"Dia ajak ketemuan nanti malam. Gimana nih?"
"Ya, elo temuin aja. Dia kan calon suami lo."
"Gue belum setuju ya buat dijodohin sama dia."
"Memangnya elo berani melawan opa?" tanya Risna sambil berbisik.
"Gue bakal bikin kejutan buat opa. Elo tunggu aja." ucap Risma sambil tersenyum misterius.
"Jangan aneh-aneh, Ma." Risna agak takut dengan langkah yang akan diambil kembarannya. Karena ia tahu Risma akan berbuat nekat bila memang diperlukan. Berbeda dengan dirinya yang lebih berhati-hati bahkan cenderung takut mengambil langkah nekat. Apalagi jika berhubungan dengan opa Steven.
"Ma, kalau nanti elo jadi nikah sama Reno, gue bakal keluar dari sini. Gue takut sama opa."
Risma memeluk Risna erat. Ia bisa mengerti ketakutan Risna.
⭐⭐⭐⭐
"Ren, itu bukan cewek yang mau elo temuin?" tanya Bian. "Itu tuh yang pakai celana jeans dan kaos ketat warna pink."
Reno memperhatikan. Benar, itu si cewek barbar. Tapi kenapa agak beda ya? Apa karena dandanannya nggak seheboh waktu itu?
"Bi, elo aja yang temuin dia."
"Kok gue? Dia kan sudah tahu muka lo."
"Elo kan jago menilai cewek. Pasti elo bisa tahu tuh cewek seperti apa. Radar lo lebih sensitif daripada gue. Elo ajak dia ngobrol dulu. Gue lagi tunggu Sandra."
"Gue mesti bilang apa ke dia? Wait.. Sandra? Elo suruh Sandra kesini? Maksud lo apa Ren? Nanti kalau tuh cewek ngamuk gimana?"
"Elo kan jago menaklukkan cewek. Pasti elo bisa bujukin tuh cewek kalau nanti dia ngamuk."
"Elo ngorbanin gue?"
"Kurang lebih begitu. Demi persahabatan kita, bro."
Sementara itu...
"Ma, gue takut ketauan." Tulis Risna. Rupanya Risma menyuruh Risna menemui Reno, menggantikan dirinya.
"Santai aja. Jangan terlalu gugup, jangan terlalu berlebihan. Elo tau kan sifat gue seperti apa. Elo tiru aja kebiasaan-kebiasaan gue. Kalau ada apa-apa elo wa gue ya. Oh iya peralatan komunikasi aman kan?" Risna tanpa sadar mengangguk.
Aaah... kenapa sih gue harus mau mengikuti rencana gila Risma. Kalau tuh cowok marah gimana? Tangan Risna mulai dingin. Berkali-kali ia meminum air putih yang tadi diantarkan pelayan.
"Selamat malam. Nona Risma?" tanya seorang pria berkemeja coklat. Tampan. Eh, tapi siapa dia?
"Na, itu siapa? Ngapain dia ngedatangin elo. Jangan-jangan cowok hidup belang. Na, jangan mau diajak salaman ya. Ketusin aja kalau ditanyain."
Aaah Risma kenapa malah nakut-nakutin gue sih, omel Risna dalam hati.
"Selamat malam. Siapa ya? Maaf, sebaiknya anda pergi karena saya sedang menunggu calon suami saya," ucap Risna dengan nada lembut namun tajam.
"Na, kenapa.elo bilang nunggu calon suami. Bisa besar kepala tuh si Reno. Eh, tapi nggak kalah ganteng dari Reno. Elo pepet aja tuh cowok." Ucap Risma melalui airpods yang terpasang di telinga Risna.
"Perkenalkan saya Bian. Sahabat calon suami anda."
"Oh... lalu mas Renonya kemana ya?" tanya Risna.
"Inaaa... kenapa elo sebut si Reno pake sebutan mas segala? Bisa terbang tuh dia sampai atap kalau tahu," omel Risma dengan suara keras sehingga mengakibatkan wajah Risna berkerenyit. Hal itu tak luput dari pengamatan Bian.
"Kamu.. eh anda nggak apa-apa nona Risma?" Tanya Bian khawatir.
"Eh, saya nggak apa-apa. Cuma agak sedikit pusing." jawab Risna gugup. "Kalau mas Reno nggak bisa datang, sebaiknya saya pulang saja."
Si Reno buta kali ya. Cewek model gini dia sebut barbar. Di mata gue, cewek ini polos, lembut dan sepertinya nggak banyak tingkah, batin Bian. Mana manggil pake mas segala. Dasar Reno oon.
"Reno sebentar lagi datang. Tunggu saja. Oh iya, kata Reno kamu pernah tinggal di luar negeri? Dimana?"
"Oh, dulu saya tinggal di sy.... eh Ontario. Aku kuliah S2 disana. Setelah mama papa meninggal, ka.. eh aku tinggal sama opa Steven."
Kenapa gadis ini terlihat gugup. Ada apa sebenarnya? Tanya Bian dalam hati. Apa karena dia terpesona dengan ketampananku makanya di gugup.
"Oh ya, mas Bian sahabatnya mas Reno?"
"Iya. Aku dan Reno berteman sejak SMA. Sekarang aku malah menjadi tangan kanan dia dalam menjalankan perusahaan kakeknya Reno. Ris, mendengar kamu memanggil namaku pakai embel-embel mas bikin aku klepek-klepek nih," ucap Bian absurd.
Risna hanya tertawa kecil. Sialan Reno, ini sih gue yang bakalan jatuh cinta sama nih cewek. Ketawanya empuk banget kayak roti, batin Bian.
"Mas Bian bisa aja nih. Sering ngegombalin cewek ya mas? Oh iya, mas Bian dan mas Reno dulu kuliahnya bareng?" Tanya Risna hati-hati.
"Nggak. Lulus SMA aku langsung pindah ke Sydney. Kebetulan abi bekerja di sana. Aku disana sampai meraih gelar master."
Tak lama keduanya terlihat asyik berbincang mengenai Sydney dan Australia.
"Kamu pernah tinggal di Australia?"
"Kebetulan granny dan grandpa dulu tinggal disana."
"Kamu blasteran Australia dong?" Risna mengangguk.
"Grandpa asli Australia. Sementara granny Indonesia."
"Pantas saja kamu cantik," puji Bian. Risna hanya tersenyum mendengar pujian Bian.
"Tuh kan gombal lagi. Pasti mantan mas Bian banyak ya?"
"Aku ini pria jujur Ris. Kalau melihat cewek cantik pasti aku akan jujur memuji cewek itu. Ris, kalau kamu nggak mau dijodohi dengan Reno gimana kalau kamu jadi pacarku saja? Kalau kamu mau, aku akan minta abi dan ummi meminangmu."
"Mas Bian player ya. Jago banget ngegombalnya." Risna tertawa mendengar keabsurdan Bian.
⭐⭐⭐⭐