Chereads / Mental Health -Aku bukan Aku / Chapter 3 - Aneh tapi Nyata

Chapter 3 - Aneh tapi Nyata

Setiap selesai ujian dan memasuki triwulan baru, papa dan mama selalu membekali kami dengan alat tulis baru dan semua perlengkapnnya. Aku ingat saat SD dulu sedang marak penggaris besi berwarna warni dan bergambar lucu-lucu. Aku pencinta warna pink, jadi semua alat tulisku berwarna pink. Aku bukan seorang yang perfeksionis, tapi aku cinta kerapian.

"Pinjem penggaris, Ta." Izin Lena yang langsung mengambil penggaris besi milikku.

"Oh, iya." Jawabku.

Aku sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, dan saat itu aku membutuhkan penggaris, seingatku Lena meminjamnya. Aku pun berdiri dan berjalan menuju bangkunya untung meminta kembali penggarisku.

"Len, mana penggarisku." Pintaku.

"Ini." Lena menunjuk sebuah penggaris yang ada dimejanya. Aku mengerutkan kening.

"Ini?" Aku mengambil penggaris yang ditunjuk oleh Lena barusan. "Rasanya ini bukan punyaku." Batinku.

"Bener lho, ini penggaris kamu." Tukas Lena tanpa merasa bersalah.

Aku berjalan kembali ke tempat dudukku sambil memperhatikan penggaris yang ku pegang. Benar itu adalah penggaris besi berwarna pink persis seperti milikku, namun setahuku penggaris yang aku punya tidak ada noda sama sekali di sana. Jangankan tulisan namaku menggunakan tipe-x seperti ini, satu titik coretan pena saja tidak ada, karena aku benar-benar menjaga kebersihan barang-barang yang aku punya.

Air mataku menetes melihat penggarisku menjadi seperti itu, ada namaku tertulis sangat besar memenuhi badan penggaris menggunakan tipe-x, dan beberapa coretan menggunakan pena di titik sudut penggaris itu. Aku pun mengambil tissue yang selalu ada di dalam tas sekolahku, ku coba bersihkan menggunakan minyak telon yang juga selalu ku bawa dalam tas sekolahku, nodanya memang memudar, namun warna catnya bercampur dengan warna pink lapisan besi penggarisnya, perasaanku saat itu rasanya ikut bercampur bersama tipe-x dan warna pink penggaris yang memudar.

Meskipun hatiku hancur melihat nasib penggarisku, aku tetap saja berusaha untuk menerima. Papaku selalu berpesan, jangan menjadikan suatu hal kecil menjadi masalah besar, jadi selagi masalah itu bisa ku maklumi, aku berusaha untuk tidak memperpanjangnya.

Namun keadaan seperti itu selalu saja terjadi. Pernah suatu hari aku kehilangan stabilo warna-warni untuk buku catatanku. Aku selalu mewarnai buku-buku catatanku untuk memudahkan aku dalam menghapal, jadi dalam kotak pensilku selain berisi alat tulis, juga berisi stabilo dengan berbagai warna, dan saat itu aku kehilangan semua stabilo yang aku punya.

Saat aku main ke rumah Lena yang letaknya sangat dekat dengan rumahku, betapnkagetnya aku saat melihat kakaknya sedang menggambar menggunakan stabilo milikku.

Ku ambil salah satu stabilo warna tersebut. Ku amati tanda yang ku buat disetiap ujung stabilo milikku, aku ingin memastikan sebelum menuduh. Dan ternyata benar, tanda yang ku buat di tiap ujung stabilo itu masih menempel di sana.

Lena keluar dari kamarnya, dia agak tersentak saat melihatku memegang salah satu stabilo tersebut. "Fredi, minjem kok nggak bilang, itu kan stabilo punya Widanta, aku cuma pinjem." Ucap Lena sambil tersenyum canggung kepadaku.

"Aku fikir punya kamu, Len. Kan ada di meja belajar kamu, ya aku pakek." Jawab Fredi yang adalah kakaknya Lena.

Aku hanya mendengarkan percakapan kakak beradik itu tanpa ikut nimbrung. Hampir saja aku tidak bisa menahan emosi, aku pun pamit pulang.

Sering sekali barang pribadi milikku dirusak dengan sengaja atau bahkan berpindah tangan ke Lena. Aku masih bisa menahannya, setiap kali kuceritakan hal itu kepada papaku, papa selalu berpesan jangan buat ribut, mungkin dia butuh atau tidak sengaja melakukannya, jadi aku selalu mencoba bersabar menghadapinya. Sebentar lagi aku lulus dari sekolah ini. Itulah yang selalu kutanamkan dalam hati jika aku sudah mulai emosi.

Aku memang memiliki hobi menulis, aku punya buku diary yang setiap harinya ku tulis tentang kegiatan dan kejadian yang ku alami hari itu. Setiap malam sebelum tidur, ku sempatkan untuk membuat penaku menari di atas lembaran buku diary tersebut, tidak ada hal yang luput ku ceritakan disana. Buku diary itu selalu ku letakan di atas meja belajarku. Tidak ada satupun orang yang berani mengusiknya, termasuk orang tuaku, karena itu barang privasi milikku.

Suatu hari, gantian Lena yang berkunjung kerumahku, karena pda saat itu kami ada belajar kelompok, dan rumahku yang menjadi tempat berkumpul. Setelah selesai belajar dan teman-teman yang lain pulang, Lena terlihat masih betah berada di rumahku, tidak mingkin aku mengusirnya, bukan?

"Kamarmu yang mana, Ta?" Tanya Lena tiba-tiba. Kami sedang duduk di ruang keluarga dan sedang menonton TV.

"Yang itu." Tunjukku ke arah pintu kamarku. Pada saat itu orang tuaku masih belum pulang kerja, dan kakakku sedang ada jadwal kursus bahasa inggris di luar, hanya ada kami dan Wak Nur asisten rumah tanggaku. Tidak ada rasa curiga yang kurasakan pada saat itu. Mungkin dia hanya mau tau, fikirku. Aku pun bangkit menuju kamar mandi karena aku ingin buang air kecil.

Aku menuju kamar mandi yang ada di dapur, karena kamar mandi rumahku hanya ada dua, satu ada di dalam kamar orang tuaku, satu lagi ada di dapur. Setelah dari kamar mandi, aku kembali ke ruang TV dan tidak melihat keberadaan Lena lagi di sana. Oh, mungkin dia pulang, fikirku, aku pun kembali duduk untuk lanjut menonton film kartun yang sedang tayng di TV.

"Dek, wak pulang ya." Suara wak Nur mengagetkanku. Wak Nur memang tidak menginap di rumah kami, rumahnya ada di lingkungan yang sama, setiap pagi Wak Nur datang dan pulang menjelang sore setelah pekerjaannya selesai.

"Oh iya, Wak." Jawabku. "Lena tadi pulang bilang sama Wak nggak ya?" Aku bertanya.

"Lah, Lena kan ada di kamar dedek." Ucap Wak Nur. Di rumah, aku memang dipanggil dedek, karena aku adalah seorang anak bungsu.

"Oh. Ya sudah wak, hati-hati. Terima kasih ya." Setelah Wak Nur pergi, aku pun bergegas masuk ke kamarku. Betap kagetnya aku melihat Lena duduk di kursi belajarku dengan buku diaryku berada di tangannya. Dia dengan santai melirik ke arahku dan kemudian lanjut membaca.

Aku melangkah mendekatinya, ku rebut buku diary itu, ku tutup lalu ku taruh kembali ke tempatnya semula.

"Kenapa lancang?" Tanyaku kesal.

"Kan temen deket nggak boleh ada rahasia dong." Jawabnya santai. Lena berdiri lalu dengan tanpa berdosanya pamit pulang, dan hanya ku jawab dengan anggukan. Ku antarkan dia sampi ke pintu keluar, setelah memastikan dia pergi, aku mengunci pintu lalu kembali ke kamarku.

Aku terduduk di kursi belajarku, mataku memerah menahan amarah, ingin sekali rasanya ku jambak rambut panjangnya pada saat itu. Kulirik jam yang ada di meja belajarku, 14.15 WIB. "Astagfirullah." Ucapku lalu mengusap wajahku menggunakan kedua tanganku.

Aku berdiri menuju kamar mandi untuk mengambil wuduh, hampir saja aku kelewatan sholat zuhur. Emosiku akhirnya menghilang di atas sajadah sembari menghadap Allah.

Keesokan harinya, saat aku pergi ke sekolah dan memasuki ruangan kelas, teman-teman sekelasku berbisik-bisik sambil melirik ke arahku. Tentu saja aku bingung, namun sama sekali tak ku gubris tingkah laku mereka. Aku terus saja berjalan menuju bangkuku, saat tiba-tiba saja temanku yang juga teman dekat Lena yang bernama Riska menghampiriku.

Riska berdiri tepat di sampingku, dia menyandarkan bokongnya di pinggiran meja. Aku sedikit mendongak untuk melihat wajahnya.

"Kenapa, Ka?" Tanyaku.

"Mana diarynya? Masa cuma Lena yang dikasih baca, aku nggak? Katanya temen deket." Ucapnya sambil menadahkan satu tangan ke arahku seperti meminta sesuatu.

Deg!! Jantungku terasa berdegup keras, seolah ada yang memukulnya. Secepat itu dan selancang itu Lena menyebarkan isi diaryku yang dibacanya tanpa izin kemarin kepda orang lain. Aku menundukkan kepala, masih mencoba menahan emosi.

"Lena membacanya tanpa izinku, tidak mungkin seseorang mengizinkan diarynya dibaca oleh orang lain, termasuk orang tuanya sendiri, apa lagi cuma seorang teman." Tuturku perlahan namun penuh penekanan.

"Ya sudah." Riska pergi dari hadapanku.

Ku keluarkan buku tulis dan peralatan tulis milikku, kuluapkan emosi dengan menulis kata-kata kasar disana. Tiba-tiba saja salah satu teman sekelasku yang bernama Hasan mendekat dan membaca tulisanku.

"Woooy, Widanta nulis kata-kata kasar!" Hasan berteriak memberitahukan tulisanku ke semu orang yang ada di kelas.

Aku merobek lembaran itu, ku bawa lembaran kertas tersebut menuju toilet yang ada dibelakang kelas. Ku remat kertas itu lalu kulenpr ke rawa yang ada dibelakang sekolah dan terpisah pagar dinding beton setinggi 2,5 meter. Lalu aku pun menangis di dalam toilet sendirian.

Setelah tangisku mereda, aku berniat masuk kembali ke dalam kelas, betapa kagetnya aku melihat Ibu Nelly yang merupakan guru olahragaku di sekolah memegang secarik kertas tulisan kasarku yang sudah ku buang ke rawa yang mustahil bisa diambil. Bu Nelly menatapku sangat sinis, Hasan, Lena dan teman-teman lainnya hanya tertawa sambil mengejek melihatku. Entah apa yang sudah diceritakan mereka tentangku kepada Ibu Nelly pada saat itu, bahkan sampi aku lulus sekolah pun, Ibu Nelly terlihat sangat membenciku. Beberapa hari dari kejadian itu, aku baru tau bahwa Hasan dengan sengaja memanjat tembok setinggi 2,5 meter untuk sekedar mengambil secarik kertas yang ku buang dan mengadukannya kepada Ibu Nelly, namun aku masih belum tau apa yang mereka ceritakan tentangku hingga Ibu Nelly sangat membenciku.

Aneh bukan, hal yang tidak pernah ku alami di sekolah lamaku, bisa ku alami di sekolah baruku. Hal yang diliar nalar anak SD, bisa dianggap biasa di sekolah ini. Sungguh Aneh, tapi ini benar-benar nyata.

Ulang tahun wali kelasku sudah dekat, anak-anak satu kelas patungan untuk membeli film kamera untuk berfoto, kebetulan aku memiliki kamera di rumah, jadi teman-teman sekelas patungan untuk beli film dan mencetaknya kelak saat sudah selesai. Lena yang menjadi bendahara mengumpulkan uang patungannya.

"Ta, uangnya belum terkumpul semua, bisa tolong beliin dulu nggak? Nanti kalau sudah terkumpul, aku kasih ke kamu." Ucapnya meyakinkan.

"Insyaallah bisa." Jawabku. Aku pun mencoba bicara kepada papaku, dan papaku menyanggupinya.

Satu hari sebelum ulang tahun wali kelasku, kamera beserta fimlnya dibawa oleh Lena ke rumahnya, dengan alasan biar dia yang memegang dokumentasinya. Besoknya benar saja, dia menjadi seksi sibuk memfoto setiap kegiatan, mulai dari kejutan, suap-suapan, foto kenangan, semuanya dia abadikan.

Setelah selesai acara, dia memberikan kamera itu kembali kepadaku untuk dijadikan negatif film dan dicetak.

"Uangnya setelah selesai cetak ya, Ta." Yakinnya.

Aku pun mencetak foto-foto tersebut, 3 hari setelahnya, aku mengambil hasil cetak ke studio foto bersama papa. Dan betapa kagetnya aku, hampir 10 lembar foto berisi foto-foto Lena dan keluarganya.