Chereads / Mental Health -Aku bukan Aku / Chapter 2 - Anak Baru

Chapter 2 - Anak Baru

Ini kisahku saat sekolah dasar, di mana aku sebagai murid pindahan dari SD N 277 ke SD N 534. Saat itu aku baru memasuki kelas 5 SD. Alasanku pindah sekolah karena orang tuaku memutuskan untuk pindah rumah, dari rumah kami yang jauh dari sanak saudara, memilih untuk lebih dekat dengan keluarga mama. Aku memiliki 3 orang sepupu yang umurnya 1 tahun di bawahku dan bersekolah di sekolah baruku. 2 orang (kembar) anak dari kakak perempuan mama, dan 1 orang anak dari adik perempuan mama. Mereka adalah alasan untukku memilih pindah ke sekolah itu.

Aku mengikuti langkah kaki Ibu Tanti sebagai wali kelas 5 pada saat itu untuk memasuki ruangan kelas. Ke tiga sepupuku berada di kelas 4 yang pada saat itu masuk lebih siang setelah murid kelas satu pulang karena keterbatasan kelas. Aku memasuki ruangan kelas, aku berdiri di depan, ku tatap satu per satu wajah yang akan menjadi teman-teman baruku. Sebagian dari mereka sudah ku kenal, karena menjadi teman sepermainanku semenjak pindah rumah. Aku pindah di sebuah perkampungan padat penduduk, sebagian murid di sekolah ini adalah tetangga baruku di rumah. Sebelum kenaikan kelas, aku masih bersekolah di sekolah lamaku, jadi aku mempunyai waktu mengenal tetanggaku sebelum pindah sekolah.

"Anak-anak, kita kedatangan murid baru." Ucap Bu Tanti." Coba perkenalkan diri." Titahnya kepadaku.

"Namaku Widanta Ester, panggil aku Danta. Senang berkenalan dengan kalian." Tuturku singkat.

Teman sepermainanku di rumah yang sudah aku kenal melambaikan tangannya dan tersenyum dengan ceria ke arahku. Aku pun merasa senang berada satu kelas dengannya. "Paling tidak, aku tidak akan merasa sendiri." Batinku.

Bu Tanti mempersilahkan aku duduk di kursi barisan paling belakang, mengingat aku memiliki tinggi badan yang agak lebih dari anak-anak seumuranku.

Hari pertama sekolah sebagai anak baru pun ku lewati dengan indah, memiliki teman-teman baru, suasana sekolah baru, guru baru, serta seragam sekolah yang baru.

Teman yang sudah ku kenal lebih dulu sebelum pindah ke sekolah ini selalu menemaniku. Kebetulan, kami memiliki model rambut yang sama, sering kali kami janjian untuk menguncir rambut dengan gaya yang sama saat pergi ke sekolah. Berkatnya, aku merasa tidak sendirian.

4 bulan sudah ku lewati sebagai murid baru, kini saatnya menjalani ujian catur wulan pertama tahun ajaran itu. Murid kelas 4 dan 5 memiliki jadwal ujian yang sama. Aku dan ke tiga sepupuku memiliki jadwal ujian yang sama. Pagi-pagi, aku berangkat bersama dengan ketiga sepupuku ke sekolah untuk melaksanakan ujian. Ku fikir tidak ada yang salah dengan itu. Orang tua kami berlangganan becak untuk antar jemput kami selama ujian berlangsung. Mang Amun, begitulah kami memanggil tukang becak itu. Namanya Salamun, Mang Amun adalah langganan becak sepupuku yang bernama Dira, berhubung tujuan kami sama, maka aku dan sepupuku yang lain sering nebeng, yang akhirnya kaki berangkat ber4 di satu becak.

Sesampinya di sekolah, kami berpencar menuju ruang ujian masing-masing. Semua murid menjalani ujian dengan penuh konsentrasi, hingga bel tanda istirahat pun berbunyi. Ku lihat ke tiga sepupuku sudah menunggu aku di depan pintu ruang ujianku untuk mengajakku jajan bareng. Aku pun dengan tidak sabar menghambur keluar mendekati mereka. Saat aku dan para sepupuku melangkah berjalan menuju jajanan yang ada diluar gerbang sekolah, tiba-tiba terdengar suara ocehan dari seorang temanku yang sudah ku anggap dekat itu.

"Sombong beneeer!" Teriak Lena, teman yang sudah kuanggap dekat itu ketika aku dan sepupuku lewat.

Aku menoleh ke arahnya, senyumku mengembang melihat dia dan teman-temanku yang lain. Aku pun berlari mendekatinya meninggalkan para sepupuku.

"Heeyyy... ketemu..!" Ucapku riang saat mendekatinya. Saat ujian, kami beda ruang, dari pagi hingga istirahat itu aku benar-benar tidak bertemu dengannya, karena focus ku memang pada ujian tersebut.

Wajah Lena masam, matanya tajam melihatku, seperti sekor harimau yang ingin menerkam mangsanya. Dia berdiri bersandar di dinding sekolah, dan dikawal oleh dua teman lainnya, Riska dan Rika.

"Setan kamu itu!" Teriaknya padaku. Aku tersentak, apa aku berbuat salah, fikirku. Aku mundur perlahan dengan pandangan bingung yang masih menatap mereka bertika, dan melangkah mendekati para sepupuku kembali yang masih menunggu.

Kami ber empat melanjutkan untuk jajan, aku tidak terlalu menghiraukan perlakuan Lena tadi kepadaku, aku tidak ingin focus ujianku terganggu.

Setelahnya, aku dan ketiga sepupuku kembali ke ruang ujian masing-masing, bel sekolah tanda ujian kedua pada hari itu akan dimulai. Aku memulai ujian seperti biasa ku lakukan, dan menyelesaikan ujian juga seperti biasa. Akhirnya, 5 hari ujian catur wulan pun selesai dilaksanakan, aku berangkat ujian, mengerjakan ujian, hingga pulang ujian seperti biasanya, tidak ada yang bisa memecah konsentrasiku.

Setelah ujian selesai, para murid tetap disuruh datang ke sekolah, namun proses belajar mengajar tidak dilaksanakan. Aku masuk ke dalam ruang kelasku yang diperuntukkan untuk murid-murid kelas V. Saat aku duduk di bangku tempt dudukku semula, Lena dan teman-teman lainnya mulai mengolok-olok, entah siapa yang mereka perolok, karena aku tidak merasa. Aku pun masih duduk dengan santai, mengambil sebuah buku cerita yang sudah ku baca beberapa hari belakangan setelah ujian selesai.

"Liat kan, pura-pura nggak tau!" Teriakan Lena menggemah ke penjuru ruangan disambut tawa oleh teman-teman lainnya. Aku masih diam dan tetap asik membaca. Hal itu terus saja berlanjut, sama seperti hari-hari setelahnya. Namun aku mulai menyadari bahwa olokan-olokan yang mereka lakukan itu ternyata adalah untuk diriku, namun aku masih diam. Tidak akan ada yang memihakku jika aku berontak, toh mereka juga bukan mengolok di depan wajahku langsung. Aku enggan memulai keributan, aku hanya murid baru dan hanya 2 tahun berada di sekolah ini, aku tidak ingin meninggalkan catatan buruk di sekolah ini, itulah yang ada difikiranku.

Setelah liburan sekolah usai, Lena sudah kembali seperti biasa, mengajakku berteman, bermain bersama, seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Oh, mungkin kemarin dia hanya kesal kepadaku, fikirku begitu. Namun hal itu terus saja berulang, ku perhatikan, setiap kali ujian catur wulan datang, Lena selalu saja terlihat kesal kepadaku, entah memang aku yang salah atau bagaimana, aku masih binggung. Namun hal itu tidak pernah ku gubris sama sekali, lagi-lagi focus ku bukan pada itu.

Sampailah pada kenaikan kelas, aku dan sepupuku pun akhirnya memiliki jadwal yang sama untuk bersekolah.

Oh aku lupa menceritakannya, Lena adalah salah satu dari 3 terbaik di sekolah itu, di mana juara satu selalu di raih oleh temanku yang bernama Dewi, kedua adalah Lena, ketiga adalah Nina.. setiap pembagiaan raport selalu seperti itu, sangat susah untukku menembusnya, sekeras apapun aku belajar dan berusaha. Sekalipun di sekolahku yang lama dulu aku selalu masuk 3 besar, namun di sekolah ini otakku seperti terbatas.

Di kelas enam ini, sangat banyak hal konyol yang aku alami, kalau sekarang hal itu disebut pembullyan. Yang pelakunya tidak lain adalah teman-teman yang ku anggap dekat.

Kami bersepakat untuk mengadakan arisan kelas, 1 orang 2ribu rupiah dua minggu sekali selama satu tahun. Seluruh murid kelas VI ikut serta dalam arisan itu, tak terkecuali aku. Aku hanya ikut satu nama, sedangkan yang lain ada yang ikut dua bahkan tiga nama. Wali kelasku pada saat itu adalah Ibu Nelly yang juga ikut dan menjadi penanggung jawab arisan tersebut.

Waktu arisan sudah berjalan setengah, aku tidak sengaja melihat lena mencari sebuah nama di kertas kuncangan arisan, lalu sembunyi-sembunyi merobeknya. Dia membuang kertas tersebut di kolong meja tempt dia duduk.

"Apa itu, Len?" Tanyaku curiga.

Lena terlihat panik. "Oh, ini nama yang sudah dapat arisan." Jawabnya gugup. Hal itu menambah kecurigaanku. Jika memang itu nama orang yang sudah mendapat arisan, mengapa harus sembunyi-sembunyi merobeknya.

Aku berusaha untuk tidak menggubris hal tersebut. Setelah selesai proses kuncang arisan kali ini, dan bangku yang dipakai sebagai tempat berkumpul tersebut sudah mulai ditinggalkan oleh teman-teman lain, aku pun akhirnya mengambil secarik kertas kecil yang dirobek oleh Lena, dan betapa kagetnya aku yang tertulis di kertas itu adalah namaku.

Itu baru satu pembullyan yang dilakukannya kepadaku, masih banyak perlakuan buruk yang ku terima, bukan hanya dari Lena, tapi dari teman lainnya juga.