Lyne mencoba mengetuk pintu kelas, seluruh mata melihat dirinya. Kali ini ia begitu beruntung, karena guru yang mengajar mereka tidak ada di kelas.
"Ke mana Mrs.Cindy?" tanya Lyne.
"Katanya ada urusan mendadak." ucap murid lain.
Tiba-tiba terdengar pintu terbuka, yang ternyata itu Green dan Lisa sekembalinya dari lantai atas. Lyne memilih kembali ke meja tanpa banyak bicara pada kedua wanita itu.
"Ada apa dengan Lyne?" Bisik Lisa pada Green.
"Entahlah."
Mereka berjalan bersama menuju meja, Lisa yang duduk di belakang bersama Lyne mencoba mengetuk meja Lyne pelan. Remaja perempuan bermata merah itu menoleh menatap Lisa dengan sinis. Lisa bedelik ngeri, mengurungkan niatnya untuk mengajak becanda Lyne, karena ia tahu saat ini suasana Lyne sepertinya kurang menyenangkan.
Mrs.Cindy pun masuk dengan tergesah-gesah, mencoba mencari sesuatu di mejanya dan pergi keluar lagi. Benar-benar tidak ada sedikitpun kata jika ia sedang sibuk atau mungkin seperti itulah guru sekolah sihir, Lagi pula para murid seperti tidak mempedulikan kehadirannya.
Lisa mencoba memajukan badannya dengan badan naik meja. "Kira-Kira, Mrs.Cindy ada urusan apa ya?" tanya Lisa pada Green yang duduk di depannya.
"Entahlah, mungkin ada rapat penting yang mendadak." ucap Green.
"Lebih baik kau belajar saja, tidak usah kepo!" Komentar Lyne tiba-tiba.
Lisa dan Green menoleh melihat Lyne dengan tatapan terkejut, karena Lyne yang mereka kenal tidak akan berbicara serendah itu pada temannya. Lyne kembali fokus menulis catatan yang di berikan Mrs.Cindy, Green dan Lisa pun kembali fokus pada buku catatan mereka, namun Lisa yang duduk bersebelahan dengan Lyne merasa tidak nyaman dan begitu penasaran dengan sikap Lyne yangvhari ini sangat dingin padanya.
"Lyne." Panggil Lisa memberanikan diri. "Apa kau marah padaku?" tanya Lisa.
"Tidak, aku hanya tidak suka dengan tingkah mu." ucap Lyne dingin.
Mendengar itu membuat Lisa menunduk, merasa bersalah. "Oh, begitu ya. Tolong maafkan aku ya, aku janji tidak akan seperti itu lagi." Janji Lisa memberikan senyuman yang tulus pada Lyne.
Remaja perempuan bermata merah itu melihat Lisa tanpa ada reaksi dan senyuman sedikitpun, datar seperti tidak peduli. "Ya, aku maafkan." Lanjut mencatat.
Bibir bawah Lisa kedepan merasa kecewa dengan sikap Lyne. Green yang sedari tadi memperhatikan, mencoba mengetuk meja Lisa, membuat remaja perempuan berambut ikan itu melihat dirinya, Green memberikan senyuman.
"Aku mendapat kabar kalau bunga dandelion sedang mekar, kau mau melihat?" tanya Green.
Lisa tersenyum kembali. "Iya, aku mau! Lyne, kau mau ikut?!" tawar Lisa semangat.
"Pergi saja tanpa aku, aku sibuk." ucap Lyne dingin.
"Ayolah Lyne sekali ini saja." Ajak Lisa mencoba merayu.
Kkriingg....
Bel sekolah berbunyi, Mrs.Cindy belum juga kembali dari urusan pribadinya, ini adalah kesempatan ketua kelas mewakili Mrs.Cindy untuk membubarkan kelas. Dengan bersemangat seluruh murid keluar dari kelas setelah selesai berdoa, mereka yang memiliki kekuatan mengembalikan keadaan kelas saat masih bersih mencoba menggunakan kekuatan tersebut, itu sebabnya para murid tidak perlu lagi mengadakan jadwal piket.
Lyne mencoba merapikan buku-bukunya yang tersusun rapi di loker tepat di belakang, bersama murid-murid lain. Semua murid terlukis raut wajah senang, tapi tidak dengannya yang seperti memiliki beban hidup masa lalu yang masih ia simpan lekat-lekat dari dunia.
Green dan Lisa tidak bisa mendekat pada Lyne jika suasana hati sedang buruk seperti sekarang ini, sebenarnya ini bukan kali pertama Lyne bersikap seperti itu. Jika mereka mengingat, mungkin ada banyak masalah yang membuat Lyne marah. Dari belakang mereka mengikuti Lyne, mereka tidak tahu kalau dari kejauhan Rival melihat mereka, mencoba mendekati.
"Sepertinya kalian bermasalah dengannya?" tanya Rival bergabung dengan Green dan Lisa tepat di tengah-tengah mereka.
"Bagaimana kau tau?" tanya Green tidak nyaman dengan kehadiran Rival yang tiba-tiba.
"Aku tau segalanya." ucap Rival membanggakan diri.
"Apa kau tau Lyne marah pada siapa?" tanya Lisa berharap bukan dirinya yang membuat masalah.
Rival menghentikan langkahnya, begitu juga dengan kedua remaja perempuan jauh selangkah dengan Rival, memandang Rival seperti menunggu sesuatu jawaban.
"Kalian mau tau?" Melihat Green dan Lisa bergantian.
"Katakan saja, jangan buat kami penasaran!" ucap Green mulai kesal melipat kedua tangannya.
"Jauhi aku." Melangkah meninggalkan mereka.
"Apa? Kau dengar apa yang dia katakan?" tanya Lisa yang kurang jelas mendengar ucapan Rival barusan.
"Entah." Green berbalik, melihat jendela kamar asrama mereka. Ia bisa melihat jelas mata senja milik Lyne, panas bagaikan api yang membara.
"Green." Panggil Lisa memegang pundaknya. "Kau melamun?" tanya Lisa.
"Tidak apa-apa, ayo." Ajaknya melanjutkan perjalanan mereka menuju kamar asrama.
~*~
Green mencoba membukakan pintu untuk Lisa masuk ke dalam kamar. Mereka disambut oleh Lyne yang menoleh, melihat mereka dan membuang pandangannya, kembali sibuk dengan urusan pribadi.
"Kita ke Lamiageist yuk, aku lapar sekali." ucap Lisa manja pada Lyne, bertujuan untuk meluluhkan hatinya.
"Kenapa tidak kau sendiri saja!" ucap Lyne dingin.
Sekuat apapun Lisa melakukan hal itu, tetap saja hati Lyne tidak akan bisa diluluhkan dengan mudah. Remaja berambut merah dan bermata senja itu masih sibuk dengan buku tugas sekolahnya. Lisa tidak menyerah terus mencoba mengajak Lyne untuk makan malam di Lamiageist.
"Sudah ku bilang pergi saja sendiri!!" teriak Lyne kesal.
Green yang sibuk dengan tanaman hiasnya pun ikut kaget dengan bentakkan Lyne, begitu juga dengan tanaman hias Green yang bernyawa. Lisa melangkah mundur, mencoba lari keluar kamar.
"Tidak seharusnya kau bicara seperti itu Lyne." ucap Green, mengejar Lisa.
Lyne kembali menatap buku catatan melanjutkan semua tanggung jawabnya sebagai murid, tanpa ada rasa bersalah pada temannya. Entah Lyne memikirkan perasaan Lisa atau tidak, raut wajahnya tidak menunjukkan perasaan apapun itu, yang ada hanyalah dingin, seolah-olah dia bukanlah Lyne yang dikenal oleh mereka.
"Tidak seharusnya kau bersikap seperti itu pada mereka." ucap seseorang.
Lyne menoleh ke belakang dengan cepat, mengecek siapa pria tersebut. "Kau?"
"Hai." Sapa Rival memberikan senyuman pada Lyne.
"Bagaimana caranya kau masuk?" tanya Lyne kembali fokus tanpa melihat wajah Rival.
"Apa kau kenal dengan Ravindra?" tanya Rival.
Seketika tangan Lyne yang semula sibuk menulis terhenti, diam untuk beberapa saat. Rival masih terus memperhatikan gerakan tangan Lyne yang bergetar ringan, membuat tinta pen memenuhi kertas di satu tempat di mana pen tersebut berdirinya, hingga membuat kertas putih menjadi bernoda hitam dengan perlahan.
"Sepertinya tidak." ucap Rival kecewa tapi sebenarnya berharap sesuatu pada Lyne.
"Keluar dari kamar." ucap Lyne dingin.
"Kalau aku tidak mau, bagaimana?" Rival menolak.
Lyne meletakkan pennya dengan kasar dan berjalan keluar kamar. Dari kejauhan ia melihat kepergian Lyne menyeringai puas dengan apa yang sudah ia lakukan.