Musik mars sekolah sihir berbunyi menyambut di pagi yang cerah. Matahari terbit dari arah timur, cahaya yang menempus setiap celah-celah benda yang ia lalui, begitu juga dengan kastil kuno terbuat dari batu alam yang berdiri kokoh sekian lamanya. Seorang Pria berdiri mencoba melihat bagaimana perjalanan kastil tersebut dibuat dengan kekuatannya, kekuatan pemberian Tuhan sejak lahir.
"Selamat pagi kak Habil." Sapa seorang wanita berambut hijau muda.
Habil tersenyum. "Hai." Balasnya.
Green pun melihat kastil tersebut. "Apa yang kakak lihat?" tanya Green penasaran.
"Masa lalunya."
"Masa lalu? Itu artinya kakak bisa melihat masa lalu ku?" tanya Green.
"Ya, kau begitu abadi." Ungkap Habil.
Green menunduk menyembunyikan senyumnya.
"Kaum Kami sangat sulit untuk mengakhiri hidup kalau tidak jatuh cinta. Karena kami hanya mencintai satu orang saja sampai kami pun akhirnya menjadi bibit pohon." jelas Green.
Habil menjadi pendengar yang baik untuk Green. "Apa sekarang kau sudah menemukannya?" tanya Habil penasaran.
Green mengangguk pelan penuh semangat.
"Siapa?" tanya Habil.
Green terkejut, ia belum siap untuk jawaban seperti itu, apalagi ia tidak pernah berbohong sekali pun. Mungkin ini saatnya ia harus jujur dengan perasaannya pada Habil, Green menoleh, menatap Habil 15cm tingginya dan saat ini ia dibawahnya.
"Anu, itu-"
"Selamat pagi." Sapa Qabil yang tiba-tiba datang mengejutkan mereka.
"Selamat pagi kak Qabil. Kak Habil, saya pamit ke kamar." Sapa Green lalu ingin beranjak pergi, menundukkan kepala pada Qabil dan Habil.
Kedua pria itu melihat kepergian Green dengan tatapan heran. "Ada apa dengannya?" tanya Qabil pada Habil menunjuk Green yang sudah semakin menjauh.
"Entahlah, dia hanya bercerita kalau ada seorang pria yang dia suka." ucap Habil.
"Siapa?" tanya Qabil.
"Itu pertanyaan ku yang terakhir dan akhirnya kakak datang membungkamnya." Habil berjalan pelan meninggalkan Qabil.
~*~
Lonceng dari menara berbunyi dengan nyaring, memberi tanda jam sibuk di area sekolah sihir akan dimulai. Seluruh murid yang sudah rapi bersiap berjalan menuju sekolah, sebenarnya bukan hanya mereka yang memiliki kekuatan khusus yang bersekolah di sini tapi juga ada manusia Bumi biasa yang bersekolah karena orang tua mereka adalah seorang penyihir.
Penyihir? Mungkin kebanyakan orang penyihir itu memakai pakaian serba hitam, dengan hidung yang panjang lancip yang selalu memakai topi runcing, jaman memang selalu mengubah segalanya.
Hari ini upacara sekolah yang dilaksanakan setiap hari Rabu, dari upacara ini para guru akan melihat tingkat kemandirian para murid mereka dalam berserakan, mereka bisa melihat para murid memasang dasi dan menata rambut.
"Aaiisshh!!" Decak Rival kesal dengan dasinya.
"Mau ku bantu?" Tawar Aidan saat melihat Rival yang kesulitan.
"Apa tidak apa-apa?" tanya Rival tidak ingin membawa orang lain kedalama masalahnya.
Aidan mencoba meraih dasi yang menggantung dikedua sisi leher Rival, dengan cekatan ia mencoba membuat sampul yang sudah ia pelajari sebelumnya.
"Oke, selesai. Jadi kau tidak perlu diperhatikan oleh mata tajam mereka." Ditepuknya dua sisi dada Rival dengan telapak tangan saat karyanya sudah selesai dibuat.
"Terima kasih." ucap Rival. Tidak sengaja Rival menatap mata Aidan menyala seperti api, Rival bisa melihat apa yang akan terjadi dibalik mata api tersebut. "Apa kau sedang ada masalah?" tanya Rival.
Aidan melangkah mundur, menatap Rival untuk beberapa detik. "Yang dikatakan anak-anak tentang mu memang benar."
"Ha? Apa?"
Seorang wanita menghampiri mereka, memegang pundak Rival dengan pelan, ternyata itu adalah salah satu guru. "Sedang apa kalian? Ayo mulai berbaris." Suruhnya.
Kedua remaja laki-laki tersebut pun berjalan menuju barisan kelas mereka, tentu saja mereka mengambil barisan belakang karena tinggi mereka lebih satu senti saja. Rival mencoba melirik ke kanan untuk melihat keadaan Aidan.
"Kalian berdua sangat mirip." ucap Rival tanpa basa-basi.
"Dia bukan ayahku. Kau pun tau aku lahir dari api langsung."
"Mungkin kau dan Lyne bersaudara."
"Ya, tapi dia tidak mengakuinya."
Rival terkekeh menahan tawa, ia seperti tahu segalanya. Entah kenapa kekuatannya bukan hanya abdi, bahkan ia bisa melihat masa lalu dan masa depan seseorang, mungkin ini akibat ia terlalu dekat dengan kedua saudara itu, Habil dan Qabil.
~*~
1 jam berdiri itu membuat beberapa murid yang tidak kuat memilih tumbang dipertengahan acara dengan sigap mereka yang memiliki kekuatan penyembuhan mencoba menyelesaikan murid yang pingsan tersebut.
"Apa ini sering terjadi?" tanya Rival berbisik pada Aidan.
"Ya." jawabnya, mencoba tenang agar tidak ketahuan.
Seorang wanita tua berbaju hitam dengan jubah dengan warna senada berjalan cepat mendekati atlar panggung.
"Siapa dia? Aku baru melihatnya?" tanya Rival berbisik lagi.
"Ibunda Tuan Eric." balas Aidan.
DEG!
Entah ada apa dengan nama itu membuat Rival begitu takut, rasa ingin berlari namun tidak mampu karena ia tidak ingin terlalu mencolok didepan orang banyak.
"Rival." Menepuk pundak Rival, membuat remaja laki-laki bermata merah itu terkejut.
"Ya?" jawab Rival.
"Ayo kita ke kelas." Ajak Aidan berjalan mendahului masuk ke dalam barisan, begitu juga dengan Rival.
Perasaan Rival tidak begitu nyaman, ia seperti diperhatikan dari jauh membuat dirinya harus menghentikan langkah untuk mengecek siapa yang berani memandangi dirinya. Rival menelan air liburnya semalam mungkin, dengan perlahan ia mencoba melangkah mundur, berlari secepat mungkin keluar dari aula upacara.
"Siapa anak itu?" tanya Madam Earlena. Wanita berusia 70 tahun dengan kacamata bulat berantai emas dan busana resmi Belanda kuno, walaupun usianya sudah menginjak 70 tahun, namun wajahnya tidak begitu menunjukkan hal tersebut, ia tetap terlihat segar dan bersemangat.
"Dia murid atas perintah Tuan Eric, nyonya." ucap Habil.
"Dan Siapa yang membawanya?" tanya Madam Earlena kembali.
"Kami nyonya." jawab Habil dan Qabil bersamaan.
"Catat jadwalnya untuk bertemu denganku." Pintahnya.
"Baik nyonya."
Wanita paruh baya itu berjalan meninggalkan mereka, keluar dari aula upacara. Seluruh murid membungkuk setiap berpapasan dengannya, memberikan salam untuk memberi tanda mereka menghormati dirinya. Ia hanya membalas dengan anggukkan namun tetap berwisata untuk menjaga jabatan sebagai Kepala dan pemilik sekolah sihir.
Pengawal pribadi membukakan pintu mobil untuknya. Langkah kaki kanannya saat memasuki mobil terhenti, dengan cepat ia menoleh melihat atap sekolah.
"Sedang apa dia di sana?" tanya Pengawal pribadi Madam Earlena saat melihat seseorang berdiri di atap sekolah seperti melihat ke arah mereka.
"Anak itu. Jangan sampai anak itu dipihak yang salah." ucap Madam Earlena beranjak masuk ke dalam mobil.
Dengan cepat Pengawal pribadinya menutup pintu dan berlari ke belakang untuk bergabung dengan pengawal lain di mobil terpisah.
"Sekretaris Ren." Panggil Madam Earlena pada seorang pria berambut pirang yang duduk di depan bersama supir.
"Ya nyonya?" tanya Ren gercap.
"Gunakan kekuatan mu untuk memata-matai anak itu." Pintah Madam Earlena.
Ren menunduk memberi hormat tanda ia menyanggupi perintah tersebut.