Rival menghela napas panjang, perasaannya begitu tidak nyaman jika ada orang asing yang sedari tadi mengikuti dirinya. Jika dilihat dari pandangan ujung mata Rival saat dirinya melirik pelan, ia adalah seorang pria dewasa, mungkin usianya sama dengan Qabil atau Habil, karena postur tubuh mereka sama begitu juga dengan tingginya. Dengan langkah cepat Rival mencoba berbelok dan bersembunyi dibalik pilar dinding.
"Ke mana anak itu?" tanya pria misterius.
Dengan perlahan tanpa suara, Rival mencoba mengintip, ia bersiap untuk menendang pria tersebut dari belakang, membuat pria misterius tersebut jatuh tersungkur. Dengan cepat Rival membuat senjata dengan darahnya.
"Siapa kau!?" tanya Rival jengkel dengan pria tersebut, walaupun pria itu lebih tua darinya, ia begitu tidak peduli karena pria itu duluan yang tidak sopan padanya.
"Aku Ren, sekretaris pribadi sekolah sihir." Mencoba berdiri dan menyibakkan debu yang menempel pada jasnya.
"Maksud mu sekretaris pribadi Madam Earlena?" jawab Rival membuat pria bernama Ren bingung harus menjawab apa, padahal ia sudah berjanji untuk tidak mengungkapkan jati dirinya bertugas untuk siapa, tapi Rival bukanlah remaja laki-laki sembarangan.
Bahkan disituasi seperti ini, ia memunculkan kekuatan baru yang belum pernah ia sadari sebelumnya. Darahnya berasal dari luka yang baru saja ia buat saat membersihkan lapangan, tanpa sengaja serpihan kayu menggores jari telunjuknya.
"Ada masalah?" tanya Habil duduk di kursi bergabung dengan Rival yang sedari tadi sudah berada di sana.
"Telunjukku tergores." jawab Rival menunjukkan jari telunjuknya pada Habil.
Tentu saja sebagai pria yang bertanggung jawab dan perhatian, ia mencoba mengecek telujuk Rival. "Apa darahmu memang membeku dengan cepat?" tanya Habil saat selesai mengecek.
"Entahlah, apa ada yang aneh?" Mencoba melihat jarinya kembali.
"Ujung jari mu sedikit lebam." jawab Habil, mencoba berdiri untuk mencari kotak obat.
"Jika aku beritahu memiliki kekuatan baru, pasti dia akan melapor pada si Eric." ucap Rival dalam hati.
"Baiklah. Berikan jari mu itu." Habil mencoba meraih jari telunjuk Rival. Dengan lembut pria itu mencoba membasuh luka dengan air khusus luka, Rival sedikit merintih, merasakan perih pada luka tersebut.
"Maaf. Sebentar lagi selesai." ucap Habil menjanjikan.
Qabil masuk, melihat mereka. "Ada apa dengannya?" tanyanya.
"Tidak apa-apa, hanya luka ringan." ucap Habil, mencoba mengikat balutan terakhir. "Selesai."
Rival mencoba mengecek hasil balutan yang dibuat Habil, entah kenapa pandangan mata Rival menjadi sayu.
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Habil.
Rival menghela napas. "Apa kalian kenal dengan Madam Earlena?" tanya Rival.
Qabil yang sibuk dengan pekerjaannya, berhenti sejenak dan kembali lagi bergerak untuk tidak menaruh curiga pada ucapan Rival barusan.
"Ya. Beliau, ibu dari tuan Eric. Ada apa?" jelas Habil kembali bertanya.
"Sepertinya dia tertarik denganku."
Mendengar itu setengah air yang Qabil minum, ia semburkan keluar dari dalam mulut membuat dirinya terbatuk-batuk. Ia tidak tahu harus bagaimana untuk mengungkapkan perasaan saat itu, dengan cepat Habil mencoba memberikan tisu pada Qabil yang masih batuk
"Terima kasih." Qabil menerima tisu tersebut.
"Apa aku salah?" tanya Rival kebingungan.
"Bagaimana bisa kau mengatakan itu?" tanya Qabil.
"Tadi siang dia menyuruh orang untuk memata-matai ku." Mata merah Rival berubah menjadi sinis. "Apa kalian tau sesuatu?" tanyanya.
Kedua pria itu menggeleng.
"Sudah malam lebih baik, kau pergi tidur." Qabil berdiri dari duduknya, berjalan menuju kamar.
Rival melihat kepergian Qabil, tidak terima dengan sikap Qabil padanya. Ia pun menurut untuk masuk ke kamar.
"Jika perlu sesuatu katakan saja." ucap Habil.
"Aku hanya ingin bebas dari sini."
"Kalau itu, aku tidak bisa. Maafkan aku." Berjalan menuju kamar.
"Sudah ku duga." Melihat kepergian Habil dengan kecewa ia memilih ke kamar.
Mata merah tidak sengaja melihat penampakan seorang wanita dengan rambut berkuncir dua memakai kacamata berseragam sekolah sihir, tersenyum pada Rival.
"Apa dia hantu, tapi kenapa aku melihatnya?" Batin Rival, mencoba berpura-pura tidak melihat.
Saat dirinya ingin beranjak berbaring, arwah wanita itu ikut berbaring di samping, entah ada apa dengan dirinya yang secara tiba-tiba bisa melihat hal sensitif ini. Seakan-akan ia harus menjadi anak indigo.
Rival mencoba membalikkan badannya untuk membelakangi arwah wanita tersebut, masih berpura-pura untuk tidak tahu apa-apa. Arwah wanita itu menghela napas kecewa, tentu saja itu membuat Rival bergidik ngeri, membuat bulu halusnya berdiri dari pembaringan.
Rival bisa mendengar suara tawaan dari belakang dengan cepat ia menghindar darinya.
"Kau ini siapa!?" tanya Rival kesal.
"Kamu bisa nelihatku?" tanya arwah senang. "Aku pikir kau tidak bisa melihatku."
"Tadinya. Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi anak indigo." Menggaruk kepalanya.
Arwah wanita tersenyum. "Kalau begitu kau bisa menolongku?" Berharap.
Rival menghela napas panjang.
~*~
"Selamat pagi." Sapa Rival mencoba bergabung dengan kedua bersaudara itu yang sibuk menikmati sarapan mereka.
"Pagi." Jawab mereka serempak.
"Cepatlah, sebentar lagi bel sekolah akan berbunyi, jika terlambat kau akan kena hukuman lagi." Suruh Qabil.
Rival menarik kursi, duduk bergabung dengan mereka. Habil memberikan dua lembar roti panggang pada Rival.
"Ada apa dengan mu? Apa ada masalah?" tanya Habil, mencoba duduk di depan Rival.
"Astaga Rival? Kenapa dengan matamu, apa kau begadang? Belajar?" tanya Habil terkejut saat melihat lingkaran hitam diarea mata Rival.
"Sepertinya aku memiliki kekuatan berkomunikasi dengan arwah penasaran." jelas Rival dengan nada serak.
"Hantu? Apa kau bisa melihat hantu?" tanya Qabil tidak percaya, sesekali ia melihat sekitar ruangan makan tersebut. "Apa di ruangan ini ada?" tanya Qabil.
"Ya. Sekarang dia ada di dekatku."
Kedua saudara itu terkejut. "Apa!?" Bersamaan, dengan cepat mereka berdiri menjauhi Rival.
"Jam berapa sekarang? Astaga seperti aku terlambat." Qabil meninggalkan mereka, begitu juga Habil mencoba mengejar kakaknya.
"Sial." Rival meletakkan kepalanya di atas meja, tidak tahu kenapa begitu banyak kekuatan yang ia terima. "Itu sebabnya Tuan Eric dan ibunya begitu tertarik dengan ku?"
"Apa? Tuan Eric?" tanya arwah wanita itu.
Rival melirik. "Kau kenal mereka?" tanya Rival.
Arwah murid wanita itu mengangguk-angguk pelan.
"Apa yang mereka lakukan padamu?" tanya Rival penasaran.
Arwah itu menggeleng. "Entahlah aku lupa."
Raut wajah Rival menjadi kecewa, ia memilih untuk pergi dari sana setelah meraih tas dari sofa tamu.
"Rival tunggu aku!" Ia mengejar Rival mengikuti dari belakang. "Bagaimana kau mau membantuku?" tanyanya.
"Aku harus mencari bukti terlebih dahulu."
"Selamat pagi Rival." Sapa Lisa berpapasan dengannya.
Arwah itu menoleh. "Wow, selera mu Asia ya?"
"Memang kau apa!" ucap Rival pelan.
Lisa tersenyum melihat kedatangan Rival.
"Pagi Lisa." Balas Rival.
"Aaakh!" Teriak Green yang tiba-tiba datang mengejutkan mereka.
"Green ada apa?" tanya Lisa.
Green menunjuk gemetar.