Green meletakkan album foto di atas meja kerja Habil. Kedua saudara laki-laki itu menatap album foto tersebut lalu melihat Green.
"Apa maksudnya ini, Green?" tanya Habil.
"Rival-"
"Ada apa lagi dengan bocah itu!?" tanya Qabil kesal memotong ucapan Green, karena seharian ini ia selalu mendengar masalah, hingga membuat telinganya begitu sensitif saat mendengar nama Rival.
Klo boleh jujur, masalah ini terus berdatangan saat mereka membawa Rival ke sekolah sihir ini.
"Kak diamlah. Berikan Green kesempatan untuk bicara." ucap Habil.
Qabil pun menurut, memilih kembali duduk di kursi kerjanya menahan amarah yang sedari tadi ia tahan karena masalah Rival. Green yang masih takut dengan kemarahan Qabil, mencoba mendekati Habil dengan hati-hati.
"Apa kakak kenal dengan murid yang ada di foto ini?" tanya Green menunjukkan foto pada Habil menunjuk tepat pada murid laki-laki tersebut.
"Bukankah kau sekelas denganmu?" tanya Habil, menatap Green.
"Aku tidak terlalu dekat dengannya." ucap Green begitu canggung di depan Habil, jantungnya yang hening kini berdetak dengan cepat. Tentu saja Habil mendengarnya, namun ia bersikap tetap tenang.
"Selain dirimu, siapa yang dekat dengannya?" tanya Habil.
Buk!
Qabil mulai kesal, dibantingnya map yang ada di tangannya pada meja. Bangkit dari tempat duduk mendekati mereka.
"Apa kak Qabil kenal dengan murid ini?" tanya Green mengambil kesempatan untuk menghilangkan kegugupannya.
Qabil mencoba mengambil foto tersebut dari tangan Green. Butuh beberapa detik untuk Qabil mengingat masa lalu dari foto tersebut.
"Kau tanya Lyne, sepertinya dia lebih mengenalnya." ucap Qabil memberikan foto tersebut.
Green menerima foto tersebut, menatap sosok murid laki-lakitersebut. "Lyne?" Sebut Green.
"Bagaimana bisa Lyne mengenal murid ini?" tanya Green penasaran.
Qabil menatap Habil, saudaranya memberi isyarat berupa gelenggan pelan, tanda tidak menyetujui untuk dirinya berbicara tentang apa yang ia lihat.
"Maaf Green itu melawan hukum kekuatan kami." ucap Qabil.
"Begitu ya." Green menunduk kecewa.
Kriinngg!!
Mereka bersamaan menoleh melihat ke arah letak telepon di sudut ruangan. Telepon kuno berwarna merah terus berkeringat memanggil pemiliknya untuk segera mengangkat. Qabil mencoba meraih telepon tersebut.
"Halo." Sapa Qabil. "Ya Tuan, kami akan ke sana." Qabil menutup telepon memandang Green. Remaja berambut hijau muda itu mengerti maksud dari tatapan tajam mata Qabil yang abu-abu. Dengan segera Green membungkuk dan berjalan keluar dari ruangan mereka.
"Ada apa kak?" tanya Habil berjalan pelan menghampiri.
"Bocah itu membuat masalah lagi." ucap Qabil membenarkan dasi. "Segera kau jemput dia." tambahnya.
~*~
Rival terbangun dari pingsannya. Menatap sekitar yang menurutnya begitu asing.
"Kau sudah sadar?" tanya seorang pria dari balik kegelapan.
Rival tidak bisa melihat dengan jelas seperti apa wajahnya. "Siapa kau?" tanya Rival, berusaha untuk melihat pria yang ada di balik kegelapan itu. Dengan susah payah ia berusaha bangun dari pembaringan, menahan rasa sakit pada dadanya.
Sempat berhasil berdiri dari ranjang, mencoba berjalan menuju tempat berdirinya pria misterius, namun ada beberapa orang dengan berpakain serba putih menutup seluruh tubuh, bahkan tangan mereka memakai sarung dengan warna senada, menahan dirinya.
"Lepaskan! Aku bilang lepaskan! Kau! Siapa kau!!" teriak Rival.
Salah satu dari mereka mencoba menyuntik pergelangan Rival, entah apa itu membuat Rival kembali tertidur, Samar-samar Rival melihat sosok pria itu namun tidak jelas.
"Siapa kau?" tanyanya lirih terjatuh dengan perlahan karena pengaruh obat yang disuntik padanya.
~*~
Lyne menatap pintu menyambut kedatangan Green dan Lisa yang entah dari mana.
"Dari mana kalian?" tanyanya.
"Dari lu-"
"Tumben kau begitu peduli!" ucap Lisa memotong ucapan Green yang dengan nada sedikit kesal.
Dengan cepat Green mencoba menenangkan Lisa untuk tidak berkata kasar dan menahan emosi yang bisa merugikan mereka yang ingin tahu informasi tentang remaja laki-laki bernama Rizal itu.
"Tentu saja, kalau terjadi sesuatu pada kalian maka ada seseorang yang akan bersedih. Green dengan alam semesta yang akan rusak dan Lisa mungkin keluarga mu masih membutuhkan dirimu." Jelas Lyne kembali fokus dengan tugas sekolahnya.
"Lalu bagaimana dengan kau? Apa ada orang yang spesial dihidupkan, seperti seorang pria misalnya?" tanya Lisa, Green mencoba mencegah dengan menarik pundak remaja itu tapi Lisa malah menangis ya dengan sikut.
"Tidak, aku tidak semurah itu."
"Jadi maksud mu kami murahan!!?" teriak Lisa.
"Aku tidak mengatakan kalian, aku mengatakan diriku." ucap Lyne membela diri.
"Hentikan! Lisa, lebih baik kau mandi, ini sudah sore." ucap Green mencoba menahan Lisa dengan menganti posisinya di tengah antara Lisa dan Lyne.
Lisa menurut, ia pun berjalan menuju kamar mandi dengan kesal, mata yang masih menatap sinis Lyne. Begitu juga dengan Lyne seperti tidak peduli dengan tatapan sinis tersebut dan kembali ke meja belajar tanpa mempedulikan Green yang berdiri di depannya.
"Lyne." Panggil Green lembut.
"Aku tidak kenal dengan laki-laki yang kau bahas itu." ucap Lyne sudah meramalkan bahwa Green akan menanyakan hal itu. "Jadi jangan ganggu hidupku dengan pertanyaan mu yang tidak bermutu itu." tambahnya dingin.
"Apa kau yakin, karena aku lihat album foto kenangan, kau jauh lebih akrab dengannya?" tanya Green mencoba memancing.
Tanpa sepengetahuan Green, Lyne mengepal tangan kanannya mencoba menahan amarah, jika ia tidak bisa maka kekuatannya akan membakar seluruh kamar asrama, bukan hanya kamar mereka saja tapi kamar murid lain pun akan kena dampaknya.
"Apa kau tidak ingat? Dia sudah dimusnahkan oleh tuan Eric di kamar rahasia itu dan aku dengar Rival pun akan seperti itu." jelas Lyne.
Iris mata hijau Green melebar. "Apa maksud mu?"
"Pergilah mandi, aku yakin kau sangat lelah hari ini." Pintah Lyne melangkah keluar dari kamar.
"Apa maksudnya? Apa maksud dari dimusnahkan itu?" Green bergegas mengejar Lyne, namun sayangnya ia sudah kehilangan jejak.
"Ke mana dia?"
~*~
Dengan perlahan Rival kembali membuka matanya, melihat langit-langit yang ia kenal.
"Sial." Rival mencoba bangkit dari pembaringan, memegang kepalanya yang masih terasa pusing.
"Kau sudah bangun? Kami menemukanmu di lorong sekolah lama." jelas Habil meletakkan segelas teh panas di atas meja.
Rival mencoba mengingat apa yang terjadi, nyatanya dia tidak bisa mengingat apapun. Ia mencoba duduk bersandar pada penyangga ranjang.
"Jangan banyak mikir, tugas mu di sini hanya untuk belajar. Bukan ikut campur urusan orang lain." ucap Qabil.
"Sejak awal juga aku tidak ingin ke sekolah ini, kalianlah yang membawaku dengan paksa!"
"Sudahlah, lebih baik kau istirahat saja." Habil mencoba menyelimuti Rival.
Dengan kasar Rival menolak. "Keluarlah!" Usir Rival.
Qabil pun berjalan keluar terlebih dahulu sebelum Habil akhirnya menyusul.
"Selamat malam." Sapa Habil menutup pintu dengan perlahan.