Selamat Membaca
"Aku kaget kamu bisa kaya gitu tadi," ungkap Tia usai aku rapat OSIS.
Ia dan Melisa menungguku di depan sekolah, karena memang jam pelajaran sudah usai. Mereka duduk bersamaku di depan ruko tutup sambil menunggu angkot.
"Aku juga kaget banget, Ros. Ternyata kamu aslinya serem gitu." Kali ini Melisa menimpali.
"Ah, mana ada. Sebenarnya aku gemeteran abis. Ini pertama kalinya. Soalnya ngeliat kejadian akhir-akhir ini, kayaknya memang tepat aku mengubah sikapku yang pengecut ini," ungkapku.
"Aku juga pengecut, ya." Melisa langsung berubah ekspresi menjadi sedih.
"Eh, gak …."
"Iya. Seharusnya kamu gak ninggalin sahabat kamu cuma gara-gara ancaman kecil kaya gitu." Tia memotong ucapanku.
"Kamu juga! Jangan seenaknya manfaatin orang!" sindirku. Tia langsung pura-pura tak peduli dan memakan cilok di tangannya.
"Hahahaha. Ternyata ngobrol sama kalian asik ya. Aku baru pernah punya teman lagi selain Rosa," Kata Melisa.
Aku dan Tia bersamaan menepuk pundaknya pelan.
"Oh ya, Tia. Ngapain kamu di sini? Bukannya arah pulang kita beda ya?" tanyaku yang baru sadar kenapa ada Tia disini bersama aku dan Melisa sekarang.
"Haha, anu. Mobilku mogok. Mang Agus lagi ke bengkel dulu. Um, gimana kalau kalian aku antar saja nanti. Lagian aku pengen jalan-jalan juga." Tia menawarkan diri.
"Gak, ah, makasih. Rumahku jauh banget," tolakku.
Namun percuma saja menolak gadis mungil satu itu. Pendiriannya sangat kuat. Akhirnya setelah menunggu hampir satu jam, Tia benar-benar mengantarkanku dan Melisa. Pertama kami mengantar Melisa dulu, kemudian barulah ke rumahku.
"Jadi, gimana Putra setelah kejadian kemarin, Ti?" tanyaku membuka pembicaraan setelah beberapa saat terdiam.
"Yang aku tahu hanya, ia dimarahi habis-habisan oleh papinya. Selain itu aku gak tahu lagi. Putra jadi diam saja. Anne juga langsung memutuskan hubungan dengan Putra," jelasnya. "Tadi di rapat Putra gimana emang?" tanya Tia.
"Burhan gantiin dia. Tampaknya Putra gak bisa konsentrasi sama sekali," jawabku.
Kami terdiam lagi. Aku tak menyangka jika orang-orang yang aku suka dan kagumi rupanya tak sebaik bayanganku selama ini. Sekarang saja aku bingung apa perasaanku ini masih menyukai Putra atau sudah hilang begitu saja, karena aku tak pernah lagi merasakan debaran itu ketika mengingat Putra. Justru debaran itu kini berpindah tiap kali bersama Dhika.
Eh, kenapa aku malah membayangkan Dhika? Gara-gara ucapannya kemarin membuat pikiranku kacau begini.
"Lagi ngelamunin apa sih? Heboh banget?" tanya Tia mengejutkanku.
"Enggak. Gak apa-apa." Aku menyangkalnya. "Anu, bukanya kamu bilang Putra ngeliat saat Almarhum Via di …." Aku menghentikan kata-kataku, tak enak jika menyebutnya. "Yah pokoknya itu. Akan tetapi kenapa pelakunya belum terungkap?" tanyaku merasa ada yang ganjil.
"Sudah aku bilang kan, semua kasus ini ditutupi pihak sekolah. Meski ini bukan sekolah swasta, tapi jika peringkat nasional SMK ini turun, itu akan gawat. Putra sebenarnya tahu siapa mereka, tapi mereka semua tutup mata dan telinga. Itu yang membuat Putra sempat akan bunuh diri," jelas Tia. Aku tak menyangka Tia bisa tahu semua informasi itu.
"Kamu masih cari tahu tentang misteri kematian Via?" tanyaku. Tia mengangguk mengiyakan.
"Bagaimana kalau aku bantu?" tawarku.
Tia langsung sumringah. "Beneran! Oke, sip. Thank you."
Aku harap dengan membantu Tia aku bisa membuat perselisihan antara Dhika dan Putra, juga Putra dan Anne bisa terselesaikan. Agar hidupku juga jauh lebih tenang seperti sebelumnya.
Setelah naik, turun, dan berkelok melewati jalanan pegunungan, kami pun sampai di rumahku. Ayah dan Ibu terkejut saat aku diantar oleh mobil mewah.
Tia disambut sangat hangat di rumah kami. Ia dan Mang Agus juga sama sekali tak merasa terbebani saat singgah di gubuk kami. Justru Tia sangat antusias dan sempat tak mau pulang. Hingga matahari senja mulai menghilang di balik bukit. Tia berpamitan pulang.
*****
Malam sudah tiba. Kulihat sudah pukul sebelas malam. Hanya suara jangkrik dan hewan malam yang menemaniku. Juga suara gamelan wayang dari radio yang Ayah nyalakan sebagai pemecah kesunyian.
Aku melongok ke ruang keluarga. Melihat Ibu dan Ayah yang sudah terlelap di sana. Begitu juga dengan Arya di kamarnya.
Aku berjalan membuat teh di dapur secara perlahan. Takut membangunkan mereka. Pekerjaan rumah dari sekolahhari ini cukup banyak, sehingga aku butuh amunisi agar mataku tetap bugar saat mengerjakan soal-soal itu. Apalagi besok ada presentasi penjualan, malam ini akan terasa panjang.
Setelah membuat segelas teh panas, ditambah tempe mendoan yang Ibu buat saat makan malam tadi, akhirnya amunisiku selesai. Aku kembali lagi ke kamar untuk mengerjakan kembali tugas yang belum selesai.
Baru saja menaruh Teh dan mendoan di meja belajar, aku mendengar seseorang memarkirkan sepeda motor di depan rumahku. Aku yang penasaran langsung berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang tengah malam begini.
Benar saja, belum sampai aku di depan, seseorang mengetuk pintu pelan. "Assalamu'alaikum, Ros. Ini gue, Dhika," ucapnya.
Dhika? Ngapain dia malam-malam gini kemari.
Lekas aku membuka pintu. Namun, saat pintu dibuka aku terkejut melihat penampilan Dhika yang berantakan dengan nafas terengah-engah. Ia tersenyum padaku sebelum pingsan ke dalam pelukanku.
"Woy! Kenapa pingsan! Lo kenapa? Dhik, Dhika!" Aku mencoba menyadarkanya. Badannya juga sangat berat, menyusahkanku ketika akan menggesernya.
"Ada apa, Ros?" tanya Ayah yang terbangun karena mendengar suaraku berteriak.
"Ayah, tolong. Dhika pingsan," ucapku masih menahan tubuhnya yang berat.
Ayah langsung membantuku menarik tubuh Dhika ke dipan ruang tamu dan membaringkannya. Aku langsung berlari ke dalam mengambil bantal dan minyak kayu putih. Ibu juga ikut terbangun karena kaget, begitu juga Arya.
"Kok bisa pingsan sih, Ros?" tanya Ibu yang berusaha menyadarkan Dhika menggunakan minyak kayu putih yang aku bawa.
"Gak tahu. Dhika dateng. Te-terus … hiks, pingsan." Aku terisak saking paniknya. Hingga tanganku gemetar parah.
"Ung …." Dhika mulai tersadar. Matanya perlahan terbuka.
Aku langsung memeluknya dan menangis saking paniknya. Apalagi ditambah luka-luka di tubuh Dhika yang membuatku ketakutan hal buruk telah terjadi padanya.
"Hey, gue gak apa-apa. Makasih, ya," ucapnya lirih.
"Gimana gak panik, hah! Lo, tengah malam datang babak belur gini!" teriakku. Namun, malah di balas tawa oleh Dhika.
"Kamu kenapa, Dhik? Bisa-bisanya begini?" tanya Ayahku yang juga panik tadi.
"Anu, Pak. Tadi gak sengaja kecelakaan di jalan dekat sini, karena udah gak kuat di jalan, jadinya aku kesini," jawabnya. Namun, aku merasa bukan itu kejadian sebenarnya. Ada yang Dhika sembunyikan.
Malam kian larut. Dhika tertidur setelah meminum paracetamol yang Ibu berikan. Ayah langsung berlari ke warung dekat rumah untuk membeli obat. Untunglah warung itu buka hingga larut malam. Aku menunggu Dhika di sampingnya. Bertanya-tanya, kenapa ia sering berakhir seperti ini. Bahkan luka di lehernya saja belum sembuh. Sekarang harus tambah lagi dengan luka-luka di wajah dan tubuhnya. Kulihat Ibu dan Ayah sudah kembali tertidur di kamar mereka setelah kepanikan tadi. Sementara Arya tampaknya menonton TV karena tak bisa kembali tertidur.
"Lo, gak tidur?" tanya Dhika mengejutkanku. Rupanya ia terbangun.
"Lo, sendiri. Ngapain bangun? Tidur lagi sana," jawabku.
"Udah gak ngantuk gue," ungkapnya. Perlahan ia bangun untuk duduk. "Jam berapa sih?" tanya Dhika.
Aku menunjuk jam di atas pintu penghubung ruang keluarga, pada jam yang sudah menunjukan pukul setengah 4 pagi.
"Loh, kok udah jam segini?" ucapnya. "Terus, Lo, ngapain gak tidur? Nungguin gue? Kasihan badan lo!" Dhika malah memarahiku.
Aku lantas menarik semua buku-buku yang berserakan di meja ke hadapan Dhika. Ia kemudian terkekeh dan mengatakan,"semangat."
"Sudah selesai. Telat! Ini gara-gara lo yang tiba-tiba datang dan babak belur. Tugas sekolah gue jadi berantakan," kataku kesal.
"Itu mah lo sendiri yang males," balas Dhika.
"Lagian, lo kenapa bisa begitu? Terakhir kali leher lo yang luka. Sekarang seluruh badan, lo?" tanyaku sudah tak sabar mendengar penjelasannya.
"Gue kan udah bilang. Kecelakaan di depan sana, gue gak kuat jadi gue kesini." Ia menjawab hal yang sama seperti malam tadi.
"Gue yakin lo lagi bohong, Dhik."
Ia menghela nafas panjang. Menatapku dengan senyuman setelahnya.
"Kayaknya gue emang gak bisa sembunyiin apa-apa dari lo, ya," ucapnya.
Aku hanya menguap dan tak menjawabnya. Tampaknya mataku sudah mulai protes dan meminta untuk dipejamkan karena hatiku sudah cukup tenang mengetahui bahwa Dhika baik-baik saja.
"Gue selama ini nyari yang udah ngelakuin hal tak senonoh itu sama Via. Gue kesana-sini mencari informasi, sampai gue ketemu sama orang-orang gak jelas yang bikin gue kaya kemarin," jelasnya.
"Terus kali ini lo kenapa?" tanyaku sudah tak sabar.
"Gue, udah nemuin mereka yang ngelakuin itu, tapi rupanya gue berurusan dengan orang yang salah …."
"Bodoh!" sela ku sebelum ia selesai menjelaskan. Aku langsung menimpuk kepalanya dengan buku. "Lo, tau gak? Gue khawatir nya kayak apa tadi, hah! Gue takut lo kenapa-kenapa. Jantung gue kaya mau berhenti tau gak!" Cecarku sudah sangat kesal karena kekhawatiran yang menumpuk semalaman tadi, hingga aku menangis.
"Udah, kesalnya? Jelek banget tau gak sih, lo," goda Dhika tiba-tiba mengelus kepala dan membuatku berhenti memukulnya saat itu.
"Lo, gak cocok ngegombal kek gitu," ucapku dibalas tawa olehnya.
Aku berbaring di dipan satunya di seberang dipan tempat Dhika tidur, karena mata dan badanku sudah mulai lelah. "Memang mereka siapa?" tanyaku.
"Lo kenal kok sama mereka. Kakak kelas lo. Bahkan dia deket sama Putra. Namanya …."
Mataku terlalu ngantuk untuk mendengar lanjutan kalimatnya. Hanya samar aku melihat ia tersenyum sebelum aku terlelap.Aku membuka mata saat sinar matahari dari sela jendela membuatku silau. Ku terperanjat bangun. Biasanya aku bangun matahari masih belum seterang ini. Aku menoleh ke arah jam, sudah setengah tujuh.
"Ibu! Kok gak bangunin aku!" Teriakku sambil membereskan buku dan memasukkannya ke dalam tas.
"Dhika bilang kamu baru tidur tadi. Jadi ibu biarkan. Lagian ini tanggal merah, apa kamu lupa?"
Aku langsung beralih ke kalender bergambar ST12 di sisi TV. Rupanya memang tanggal merah. Bagaimana aku bisa lupa. Lalu, sia-sia aku belajar semalaman suntuk.
"Oh ya, Dhika dimana?" tanyaku langsung mencari keberadaan anak itu.
"Subuh tadi Dhika pamit pulang. Kayaknya dia udah baik-baik saja. Katanya makasih." Ibu langsung kembali ke dapur lagi setelah mengatakannya. Aku juga baru sadar jika aku tadi memakai selimut dan bantal yang Dhika gunakan untuk tidur. Lalu, semalam ia mengatakan apa? Siapa juga pelakunya. Ah, kenapa aku harus tertidur di saat penting sih! Aku hanya ingat dia mengatakan kakak kelas, tapi siapa? Ah, pusing.
*****
Aku masih merasa sedikit mengantuk. Namun nyonyah rumah tidak lagi membolehkanku tidur dan memaksaku membereskan semua pekerjaan rumah. Katanya mumpung libur. Padahal aku ingin bersantai hari ini.
Sejak pagi aku sibuk membereskan ini itu, menyapu halaman juga mencuci baju di sungai dekat kebun di bawah bukit sana. Sebenarnya bisa saja aku mencuci di sumur belakang rumah. Akan tetapi aku hanya ingin menenangkan diri dengan menikmati suara gemericik air di sungai.
Setumpuk keranjang besar pakaian sudah selesai aku cuci. Namun aku masih ingin duduk di tepi sungai. Memandang pepohonan dan rimbunnya bambu yang tertiup angin. Menimbulkan suara gemericik yang sangat menenangkan.
"Sendirian aja, Mbak."
"Astaghfirullah!" Aku terkejut bukan main saat sebuah suara berbisik di telingaku. Jantungku seakan berhenti berdetak sementara saat itu.
"Hahahahahaha, ekspresi kamu lucu!" tawanya terlihat sangat puas.
"Putra?"
"Hai," sapanya.
Aku menoleh ke sana kemari. Takut jika ia hanya hantu yang berwujud Putra, karna ini di pinggir sungai dan hari sudah menjelang siang. Hingga aku melihat motornya yang terparkir di pinggir jalan di atas bukit sana.
"Tadi aku mau ke rumah kamu, tapi gak sengaja lihat kamu di sini. Lagi ngapain sih?" Putra menjelaskan tujuannya.
Aku menunjuk setumpuk cucian di sampingku. Aku masih termangu tak menyangka siapa yang ada di hadapanku saat ini.
"Udah, sih. Gak usah terkejut gitu," ucapnya. Namun, aku memang sangat terkejut sekarang. "Sini aku bantuin," tawarnya kemudian mengangkat keranjang besar itu tanpa keraguan.
"Eh, jangan! Nanti baju kamu basah," tolakku. Namun, ia tetap bersikukuh membawanya.
Aku mengikutinya di belakang. Khawatir ia tak kuat menanjak sambil membawa beban berat dipundaknya. Namun, perkiraanku salah. Ia bisa membawanya hingga depan rumahku.
"Rumah kamu sepi?" tanya Putra sesampainya kami di rumahku.
"Ya. Ayah lagi kerja, Adikku gak tahu kemana. Ibu lagi cari kayu bakar," jawabku.
Putra hanya manggut-manggut. "Boleh aku duduk?" ia meminta izin duduk di dipan depan rumah.
"Silahkan."
"Kamu gak tanya aku ngapain ke sini?" tanya Putra.
Aku menggeleng. Putra hanya terkekeh.
"Duduk sini." Putra menepuk dipan, menyuruhku duduk di sampingnya.
"Sini aja." Aku tetap berdiri di tempatku.
"Kamu gak mau lagi y duduk sama aku, Ros?" tanya Putra membuatku tak nyaman.
"Gak kok. Cuma aku mau sambil jemur pakaian. Gak apa-apa kan?" Aku menunjuk tumpukan cucian di sampingku. Lagi-lagi ia hanya terkekeh. Sebenarnya apa tujuannya tiba-tiba kemari. Dan kenapa aku tidak seantusias dulu saat bertemu dengannya.
"Maafkan aku, ya, Ros." ucapnya.
Bersambung