Chereads / Berandal SMA inlove / Chapter 55 - Penjelasan

Chapter 55 - Penjelasan

Selamat Membaca

"Maaf, ya, Ros."

"Untuk apa?" Aku tak memandangnya. Tanganku tetap beralih menjemur pakaian ke atas jemuran bambu. Padahal pikiranku sekarang banyak pertanyaan untuknya.

"Entahlah. Sejak kejadian kemarin aku merasa banyak sekali salah sama kamu," jelasnya.

Aku berbalik dan memandang Putra. "Seharusnya kamu minta maaf ke Anne, bukan aku. Aku mah cuma orang lewat yang kebetulan tahu masalah hidup kamu."

Ia terdiam. Sementara aku kembali menjemur pakaian. Bahkan hingga selesai, Putra belum lagi mulai berbicara. Akhirnya ku ajak dia masuk kedalam agar bisa berbicara dengannya. Aku membuatkan Putra segelas teh hangat. Ia tetaplah tamu. 

"Kamu sendiri sama Anne gimana, Put," tanyaku membuka kesunyian. Aku ikut duduk di depan Putra.

"Aku sendiri bingung. Padahal kamu sudah susah payah comblangin aku sama Anne, pi baru sehari dna langsung berakhir begitu saja." Putra terlihat menahan kesedihan di matanya.

"Apa kamu tahu kalau Via itu kakaknya Ann" tanyaku dengan pertanyaan yang selalu mengganjal sejak kemarin.

Putra mengangguk lemah. Wajahnya tertunduk, tak berani menatap mataku. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Ia hanya diam saja beberapa saat sebelum menyeruput tehnya yang mulai dingin.

"Kenapa kamu gak jujur dari dulu?" tanyaku.

"Aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku. Makanya saat aku tahu ia dekat denganmu, aku berniat mendekatinya lewat kamu. Tapi, nasi sudah jadi bubur. Bahkan sekarang untuk bertemu dengannya saja aku tak bisa. Pasti sangat menyakitkan …."

"Kamu gak mencobanya? Bagaimana bisa tau apa yang akan terjadi. Harusnya kamu tetap berjalan, jadi sisi sesal itu akan terasa jauh lebih ringan." Aku memberi nasihat ringan padanya. Lagi-lagi Putra tak menjawab seperti sudah kehabisna kata-kata.

"Kamu itu cuma covernya saja yang perfect dan sempurna yah, tapi dalamnya sangat rapuh."

Putra tertawa mendengar ucapan tadi, padahal bagiku tak lucu sama sekali. 

"Kayaknys cums kamu yang sadar dnegN itu, Ros. Bahkan Tia dan teman-temanku tak ada yang tahu."

"Gak, ah. Mereka semua tahu hanya saja segan denganmu." Lagipula aku berkata jujur, karena memang itu yang mereka ceritakan padaku.

Lagi-lagi Putra menunjukan wajah penuh kesedihannya. "Mungkin jika aku gak populer, aku akan mendapat hidup biasa seperti semua orang. Menikmati hari dan hidup mereka tanpa harus berpura-pura dengan topeng demi sebuah citra belaka."

"Padahal aku yang hanya kerikil di tepi jalan ini ingin populer seperti kalian. Akan tetapi malah kalian ingin sepertiku," kataku.

"Maaf, jika menyinggungmu," ucapnya.

"Sudahlah. Lagian, jadi diri sendiri itu jauh lebih baik daripada kita harus bertahan di posisi yang tidak membuat kita nyaman. Menikmati posisi itu, tanpa mengeluh. Pasti akan ada keindahan nantinya," ucapku kemudian.

"Bersyukur ya." Putra berkata dengan suara lirih. Ia kembali menyeruput teh nya. " Lalu aku sekarang harus gimana?" tanya Putra kemudian.

"Minta maaf ke Anne dan jelaskan semuanya. Lalu …." Aku tak menyelesaikan kata-kataku.

"Apa?" ia terlihat penasaran.

Jelaskan siapa yang melecehkan Via pada polisi. Bahkan pada Anne. Mungkin itu akan bisa merubah sedikit pemikirannya tentangmu. Meski aku tak tahu apa dia akan memaafkanmu. Lalu, tolong. Jangan berbuat hal bodoh yang membuat orang lain khawatir dan panik," jawabku.

Putra mendadak terlihat ragu. Ia terus menerus menggerakan kakinya. Aku tahu ia sedang panik dan bingung sekarang, atau bahkan ada hal.lain yang tak terduga tengah bergelayut di pikirannya.

"Aku takut, mengungkapkan siapa mereka. Ini akan berdampak buruk pada semua orang. Bahkan sama kamu juga."

"Lah, kok aku?"

"Karena tanpa sadar kamu sudah terseret terlalu dalam di.masalah ini. Asalkan kamu tahu, Rosm rasa sesal tak bisa mencegah kematian Via terus terngiang di kepala. Juga rasa bersalahku pada Dhika."

Mendengar ia mengucapkan nama Dhika, aku jadi teringat dengan semalam. Dhika tampaknya memberi tahu siapa tersangka yang membuatnya seperti itu. Akan tetapi aku belum bisa mengingatnya.

"Masalah kamu dan Dhika itu sebenarnya gimana sih?" tanyaku.

"Dhika dan aku dulu bersahabat baik meski berbeda sekolah. Kepopuleran ini bahkan aku dapatkan dari ajarannya yang sesat dan gak jelas itu, hahahaha." Putra tertawa terlihat bahagia mengingat masa lalunya itu.

Ia lanjut bercerita lagi. "Dia mengenalkan seorang gadis padaku saat kami berlatih pencak silat. Dia adalah Via. Gadis cantik dengan sabuk hitam di perguruan kami." 

Putra membuka dompet kulitnya yang sangat bagusm menarik sebuah foto di sela dompetnya. Ada Putra dan Dhika yang masih sangat culun dan berantakan. Di antara mereka ada gadis berambut panjang mirip sekali dengan Anne, hanya saja jauh lebih tinggi.

"Cantik kan?" ucapnya menunjuk foto Via.

Aku mengerutkan dahi dan memfokuskan pandangan mata. Aku merasa ada yang aneh dengan mata Via. Mata kanan dan kirinya berbeda, tapi tak mengurangi sedikitpun kecantikannya. Justru terlihat indah.

"Salah satu matanya buta," ungkapnya membuatku terkejut. 

"Prestasinya sangat gemilang. Bahkan ia sangat berguna ketika berada di OSIS  bersamaku. Bahkan ia jauh lebih cantik dari hari ke hari. Semakin banyak lelaki yang tergila-gila padanya, penampilannya juga semakin berani. Aku sedikit khawatir akan hal itu dan mencoba menasehatinya debgan Dhika. Tapi percum." Putra menjelaskannya lagi.

"Percuma apa?" tanyaku.

"Ia tak mendengarkan kami. Hingga suatu hari ia menjelaskan alasannya seperti itu. Ia bilang itu semua demi aku. Tentu saja aku marah. Ia bahkan mengatakan jika mencintaiku. Aku terlalu kesal padanya saat itu dan langsung menolaknya. Lalu, saat MOS tiba, ia mengatakan bahwa banyak sekali pembullyan, tapi aku tak melihat apapun di sana. Aku kira ia berbohong dan hanya mencari simpatiku belaka. Aku menyelidiki apa yang ia katakan. Semuanya benar. Aku menyesal dan berniat minta maaf saat malam penerimaan peserta didik baru. Namun, yang aku dapati justru hal yang sangat menjijikan." Putra terlihat begitu geram.

"Kejadian itu?" selaku sudah sangat penasaran. Putra mengangguk.

"Sepertinya kamu tahu apa selanjutnya. Ya, i di gilir 5 orang dan aku mengenal baik salah satunya. Selama ini aku berpura-pura bodoh demi  bisa mengungkap semuanya. Namun, karena salah satu dari mereka anak orang terkenaL, ia menyewa pengacara untuk menutupi kasus itu dan membungkam semuanya termasuk keluargaku."

Putra menjelaskan semuanya secara rinci padaku. Terdengar lancar dan tak tersendat. Sepertinya memang itulah kejadian sebenarnya yang terjadi. Putra mengatakan, selama ini ia tak bisa bercerita pada siapapun. 

"Lalu, siapa dia? Apa aku mengenalnya?" tanyaku. 

"Felix." Jawaban Putra terdengar mantap. Artinya ia tak berbohong. 

Felix. Ya, aku ingat dia. Burhan pernah mengenalkannya padaku. Ia adalah cowok berambut keriting yang sering bersama Putra dan Burhan.

"Sebentar. Bukankah ia selalu bersamamu dan Kak Burhan?" tegasku. 

Putra mengangguk. "Ya, itu dia."

"Bukankah selama ini kalian dekat. Bahkan kalian sering bersama. Bagaimana mungkin?"

"Apa yang sudah kamu lihat tentangku selama ini, tentu kamu tahu itu semua palsu. Termasuk itu semua." 

"Bagaimana mungkin kamu bisa tetap bersama dia setelah kejadian yang menimpa Via?" Aku sudah sangat bingung dan kesal dengan sikap Putra itu.

"Aku ingin tahu bos sebenarnya, yang membuat Via meninggal. Aku juga ingin memperbaiki hubungan dengan Dhika. Aku tahu selama ini ia salah paham denganku. Aku gak pernah mampu untuk minta maaf padanya atau Via, bahkan Anne. Aku terlalu pengecut  Ros. Aku juga ingin tahu siapa saja yang terlibat. Saat itu aku hanya melihat Felix dan seseorang dengan tato matahari di samping mata kaki kirinya," jelasnya.

"Kita memang pengecut, Put. Aku, kamu dan satu orang lagi yang bersembunyi di balik pintu," ucapku menyindir Dhika yang berdiri diam sejak beberapa saat yang lalu di samping pintu masuk.

Aku hafal betul suara motornya, ditambah bayangannya terlihat dari bawah pagar kayu, karena lantainya masih tanah, sehingga terdapat jarak antar keduanya, supaya rayap tidak memakan habis pagar rumahku yang masih kayu. Dhika mengintip di pintu dengan tatapan sinis pada Putra. Sementara Putra tak berani menatap mata Dhika dan terus menunduk memandang tanah.

"Dia jauh lebih pengecut dari gue," Sindirnya pada Putra. "Liat aja, Ros. Mana mau dia ngadep gue!" adunya padaku.

"Udah, diem aja, lo!" tegasku pada Dhika. "Duduk sini. Kita selesaikan salah paham antara kalian berdua. Gak cape apa gitu terus!" omelku.

"Ya …." Mereka menjawabnya bersamaan. Kemudian saling pandang dan kemudian memalingkan muka.

"Sabar … sabar …." Aku mengelus dada melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil itu.

"Lagian kalian semua sama-sama salah kok. Gak usah gitu deh!' Aku mencoba memisahkan mereka berdua yang mungkin saja bisa memicu perkelahian di antara keduanya. Aku mencoba diam dan melihat mereka berdebat di hadapanku. Entah apa yang sedang mereka bahas. Aku hanya bisa melihat mereka beradu debat dengan kata-kata tak jelas dari mulut mereka.

"Diam!" bentakku sudah tak sabar lagi melihat keduanya. Mereka langsung diam seketika.

"Pelan-pelan ngomongnya. Sebenarnya kenapa?" tanyaku halus, tapi penuh penekanan.

"Kamu gak tahu, Ros? Kenapa badan Dhika babak belur begini?" tanya Putra sambil memukul pipi dan tangan Dhika.

"Bang …." Belum selesai Dhika dengan kata-katanya langsung di tampar bibirnya oleh Putra.

"Hahahahahaha! Kalian lagi ngapain sih?" Perutku sakit sendiri melihat tingkah mereka karena tertawa.

"Aku serius nanya nih?" tanya Putra.

"Iya, tahu. Dhika sudah cerita kemarin, tapi belum selesai mendengarnya, aku tertidur tadi pagi," jawabku.

"Tadi pagi?" tanya Putra mengernyitkan dahinya kemudian menatap dengan tatapan interogasi pada  Dhika. Seolah ia meminta kejelasan atas kejadian yang sudah terjadi.

"Apa?" tanya Dhika.

"Ngapain lo tengah malam malah pulangnya ke rumah cewek?" tanya putra.

"Bukan urusan, lo!" tegas Dhika.

"Udah, ah. Lanjut ke masalah utama," selaku agar perang itu tak berlanjut. "Jadi siapa, Dhik?" tanyaku kemudian..

"Felix." 

"Burhan."

Dhika dan Putra menjawab bersamaan dengan jawaban berbeda.  Mereka langsung bingung dengan jawaban masing-masing. Begitu juga aku yang penasaran siapa pelaku sebenarnya. Ditambah dua orang ini membuatku kesal saja dengan terus berkelahi tak jelas.

"Maksud, lo. Apaan?" tanya Dhika.

"Lo, sendiri? Kenapa nyebut Burhan. Bukannya Si Felix kemarin?" tanya Putra. "Burhan terlalu pendiam dan baik untuk hal seperti itu, kayaknya lo cari gara-gara yah sama kita!" sangkal Putra tentang sahabatnya itu.

"Mata lo buta! Jelas-jelas itu si Burhan!" kali ini Dhika tak mau kalah berdebat.

"Cukup!" bentakku lagi, tak tahan mendengar suara mereka.

"Jadi siapa yang bener? Lagipula benar kata Putra. Si Burhan terlalu polos dan biasa aja untuk ngelakuin hal bejat macam itu," belaku.

"Berarti mata kalian yang buta!" ejek Dhika. "Lplo bilang ada tato matahari di mata kaki kirinya kan , Put? Ya, di kaki Burhan ada tato itu. Gak percaya juga? Cek aja besok sana!" jelas Dhika.

Wajah Putra terlihat pucat. Sepertinya Ia tak menyangka sahabatnya bisa seperti itu dan menusuknya dari belakang. Tentu saja. Akupun tak menyangka mendengar akan hal itu. Melihat bagaimana Kak Burhan selama ini berlaku padaku.

"Bohong kan, Lo? Yang gue lihat kemarin itu si Felix. Gue yakin banget," ungkap Putra.

"Salah sendiri lo gak mau ikut ke dalem. Malah pingsan sendiri di depan gara-gara kain putih di pohon nangka," sindir Dhika.

"Lo tau sendiri gue penakut, Bambang! Ngapa gue ditinggal!"

"Lah, lo …."

Mereka terus berdebat tanpa memikirkan ada di rumah orang dan ada si tuan rumah di samping mereka. Aku hanya menghela nafas, menyerah dengan tingkah dua bayi di hadapanku ini.

Bahkan aku tak menyangka itulah sifat Putra sebenarnya. Selama ini aku selalu melihat Putra yang cool dan keren. Namun saat ini aku melihat sisi lain darinya. Malah melihatnya dan Dhika persis seperti kakak adik yang tengah berantem. Menelisik dari apa yang Dhika dan Putra katakan,  berarti mereka melihat Felix dan Burhan di tempat yang sama. Akan tetapi mereka belum mengatakan padaku mereka melihat dimana, Sedang apa mereka berdua, lalu kenapa Dhika bisa sampai pingsan seperti kemarin. 

"Jadi, kalian ngapain dan dimana tadi malam itu sampai begitu?" selaku sambil menghentikan mereka yang sebentar lagi adu jotos itu.

"Karaoke." Mereka menjawabnya bersamaan.

"Terus kenapa Dhika seperti itu sampai dua kali pula, tapi Putra tak apa?" tanyalu lagi.

"Dihajar anak buah Burhan," jawab Dhika yakin.

"Berapa orang? Emangnya Burhan ketua apaan punya anak buah?" tanyaku.

"16 orang seingatku. Separuhnya anak sekolah kalian termasuk Felix dan Burhan. Sementara separuhnya entah dari sekolah mana aja," jelas Dhika.

"Dia anggota geng?" kali ini Putranyang bertanya.

"Sundays," jawab Dhika.

"Sial! Kenapa mereka!" gerutu Putra tampak sangat kesal. 

Sebenarnya masalah apalagi ini. Aku kira kemarin sudah selesai. Kenapa harus seperti ini lagi? Lelah aku loh! 

Bersambung