Chereads / Berandal SMA inlove / Chapter 56 - Bersihkan Nama Sahabat Gue

Chapter 56 - Bersihkan Nama Sahabat Gue

Selamat. Membaca

Hari sudah sore ketika Putra dan Dhika berhenti berdebat tak jelas. Aku tak menyangka mereka berdua memiliki hubungan persahabatan. Selama ini Dhika hanya selalu bilang bahwa ia membenci Putra. Aku juga baru mengenal Putra baru-baru ini dan tak paham sifat aslinya. 

Aku hanya tahu apa yang selama ini aku lihat di sekolah. Putra yang cool, keren dan jenius. Namun, rupanya ia sangat manja dan seperti anak kecil yang tak mendapat perhatian, juga terkesan menggemaskan. Dhika juga tampak seperti kakak yang baik baginya. Aku jadi penasaran seperti apa hubungan Via, Putra, dan Dhika dahulu.

Melihat apa yang terjadi sekarang, aku jadi sadar satu hal. Rupanya semua orang memakai topeng. Menyembunyikan sifat asli mereka. Bahkan mungkin aku juga melakukannya selama ini.

Melihat selama ini aku selalu terkucilkan dari yang lain. Entah saat kecil, SD, SMP bahkan di sekitar rumahku pun, aku selalu merasa sendiri. Namun, sekarang semuanya tampak berubah. Berawal dari aku menyukai Putra, hidupku mulai berubah satu persatu. Bahkan memiliki teman.

"Hoi! Ros! Dengerin gue gak sih?" tanya Dhika.

"Yah, dengar," jawabku. Sedari tadi aku memang tengah mendengar penjelasan Dhika dan Putra mengenai geng sundays.

"Ros, singkong rebus kemarin ada lagi gak?" tanya Tia. Ya, ia tiba-tiba saja ada di rumahku sekarang. Katanya sih mengikuti Putra dan sampailah ia di rumahku. Namun ia sempat menjemput Melisa.

"Maaf, ya, Ros. Kita ngerepotin," ucap Melisa yang tadi ditarik paksa Tia saat akan kemari.

Rumahku terasa sangat sempit sekarang. Ditambah keributan Putra dan Dhika yang tak ada habisnya.

"Anak-anak, ini singkongnya. Maaf ya lama. Ada mendoan juga." Ibu keluar dengan membawa singkong rebus dan Mendoan di tangannya dan di sambut hangat boleh Tia dan Dhika yang sangat suka makan. Ibu terlihat sangat semangat saat pulang dan tahu banyak teman-temanku di rumah.

"Maaf, ya. Cuma ada ini. Ini pertama kalinya ada teman-teman Rosa kesini. Oh ya, Ayah Rosa juga udah petikin kelapa muda di depan. Nanti di minum ya," kata Ibu.

"Makasih, Bu. Maaf kami merepotkan," ucap Putra dengan sopan.

"Gak apa-apa. Ibu senang malahan," ungkap Ibu.

"Loh, gak bilang aku, Bu. Tahu gitu tadi aku bantuin Bapak," ungkap Dhika, tapi Putra langsung menyela.

"Halah, kaya bisa manjat aja," sindir Putra.

"Lo, itu yang kagak bisa manjat. Gue mah kecil."

"Kecil. Nyalinya!"

"Woy!" 

Dimulailah lagi keributan yang sempat tenang tadi. 

"Bisa diem gak! Sumpah gue pusing dengerin kalian dari tadi!" Aku menjewer telinga mereka agar mereka berhenti berdebat hal yang gak jelas. 

"Katanya tadi ingin menyingkap kesalahpahaman kalian tentang kematian Via. Apalagi di sini ada pelaku yang gak kita duga sama sekali. Malah kalian berantem mulu!" omel ku.

"Ini juga! Katanya pengen banget ungkapin sampai manfaatin orang! Malah makan mulu!" omel ku pada Tia yang tak berhenti makan dari tadi. Sementara Melisa hanya diam karena bingung sendiri.

Setelah beberapa saat akhirnya mereka terdiam. Itu juga karena aku terus mengomeli mereka tanpa henti. Kemudian aku membawakan kelapa muda yang Ayah petik tadi ke hadapan mereka. Sambil di minum sambil membahas apa yang akan kami lakukan agar pelaku sebenarnya tertangkap dan tak timbul fitnah baru lainnya.

"Oke. Dari penjelasan Dhika dan Putra tadi, Sundays adalah geng motor yang cukup terkenal di kota. Mereka sangat ditakuti karena sudah banyak menaklukan berbagai wilayah di Rawabangun. Bahkan Dhika yang sabuk hitam pencak silat saja di buat begini sama mereka, dan menurut kalian mereka yang sudah melakukan hal itu pada Via. Begitu?" tanyaku mengulang apa yang Dhika dan Putra jelaskan tadi. Mereka mengangguk mengiyakan.

"Kalau begitu. Kita harus melawan mereka dengan otak, karena disini otot hanya berguna di garis akhir. Lagipula ada dua orang jenius di sini." Aku menunjuk ke arah Putra dan Tia yang asyik menyeruput kelapa muda. Mereka hanya saling tatap satu sama lain, kemudian menunjuk diri mereka sendiri.

"Pertama, Dhik, lo yakin tato di kaki Burhan?" tanyaku meyakinkan bahwa pelaku di sini sudah benar.

"Ya, gue lihat dengan sangat jelas," jawabnya.

"Oke, kalau begitu Putra dan Tia tetap biasa saja pada Burhan. Jangan sampai menunjukan bahwa kita sedang menyelidikinya. Kalau dia emang ketua Sundays, posisi kita terlalu bahaya. Sebaiknya disini kita harus berhati-hati dalam melangkah dan mengambil keputusan. Cari bukti sebanyak-banyaknya. Aku dan Melisa akan melakukannya, kami tak terlalu dikenal orang. Ini akan menguntungkan kami. Lalu, Dhika. Lo, jaga kita dari belakang. Misi ini kita mulai besok. Demi membersihkan kembali nama Via dan Putra. Juga demi kebaikan sekolah kita," jelasku panjang lebar. "Gimana? Setuju?" tanyaku.

"Oke," jawab Dhika.

"Aku gak apa-apa sih. Aku juga harus mastiin kalau Burhan gak seperti yang kita sangka," jawab Putra.

"Aku juga," Tia menimpali.

"Aku takut, tapi yah baiklah." Melisa terlihat ragu tapi akhirnya setuju.

"Oke. Kita mulai main detektif-detektifan besok," titahku.

"Kamu cocok sebenarnya jadi kapten ya, Ros. Nanti jadi ketua OSIS aja gantiin aku. Gimana?" tawar Putra.

"Gak ah, malu aku," tolakku. "Aku gak percaya diri seperti itu."

"Gak. Kamu tuh cerewet abis ternyata. Aku kira kamu super pendiam loh dulu," ungkap Putra membuatku malu.

"Rosa itu aslinya berisik. Kalian aja gak tau." Dhika menimpali sambil melirikku.

"Terserah dah." Aku pasrah saja.

Setelah itu kami berlima bercengkrama biasa sambil menikmati matahari senja. Tertawa dengan lelucon garing dari Dhika. Bahkan Melisa bisa tertawa di sana. Terasa hangat. Jadi, ini yang namanya teman.

*****

Malam sudah tiba. Putra, Tia dan Melisa akhirnya pulang. Setelah Mang Agus—sopir Tia mengomel. Ia  dimarahi Ibu Tia karena tak pulang-pulang main. Sementara Dhika masih tetap tinggal hingga malam. Bahkan ia mandi dan makan malam disini. Alasannya, Ibunya sedang ke Bandung untuk bertemu Kakaknya yang tinggal di sana.

Selesai mandi, aku menghampiri Dhika yang tengah mengobrol dengan Arya di teras depan. Ditemani kopi hitam dan sisa mendoan siang tadi yang sudah di goreng kembali.

Aku duduk di sampingnya. Arya langsung pergi begitu saja saat aku keluar. Meski aku tahu, ia diam-diam mengintip dari jendela ruang tamu.

"Gue baru tahu, kalau lo sedekat itu sama Putra. Kenapa ga cerita dari dulu?" tanyaku.

"Buat apa. Gak ada yang berubah juga. Gue sama Putra yah gitu emang dari dulu," jawab Dhika.

"Tapi, yang gue lihat kalian sangat senang bisa tertawa seperti tadi lagi."

"Mana ada! Kesel gue sama dia," sangkal Dhika. Namun, mukanya memerah. Ia pasti malu untuk mengungkapkannya. Ia terlihat sangat bahagia sebenarnya tadi, begitu juga dengan Putra. 

"Gue jadi penasaran. Seperti apa hubungan lo sama Putra dan Via dulu."

"Sama aja, sih. Kita berantem mulu. Via selalu misahin kami," ungkap Dhika. Mukanya berubah sedih.

"Lo, kenapa pengen banget mengungkap kematian Via?" tanyaku.

Dhika terdiam lebih dulu. Ia menyalakan rokoknya sebelum mulai menjawab pertanyaanku.

"Gue, pengen bersihin nama sahabat-sahabat gue. Seperti yang lo katakan siang tadi. Gue benci hidup seperti kemarin terus. Gue merasa sangat bersalah karena gak bisa ngelindungin cewek yang gue suka." 

Putra terlihat kikuk di hadapan Burhan. Tampaknya ini akan sulit baginya. Burhan sudah dianggap sebagai sahabatnya. Selama ini Putra hanya curiga terhadap pada Felix. Namun, fakta yang Dhika ungkap kemarin sepertinya mengganggunya. Seharian aku memperhatikannya. Membuatku tak tega. Saat itu aku juga melihat Anne yang diam-diam menatap Putra. Meski ia benci karena kejadian yang menimpa kakaknya, tapi sepertinya rasa cinta itu masih ada di hati Anne. Bahkan Putra sendiri juga begitu.

Mungkin memang rasa sukaku pada Putra hanyalah rasa kagum semata. Aku tak ada celah sedikitpun saat melihat mereka berdua. Sekarang saja aku tak bisa merasakan debaran itu lagi.

"Lo sendiri gak ada hubungannya sama sekali dengan mereka dan masalah mereka aslinya. Kenapa lo mau bantuin? Padahal lo bisa kan pura-pura aja gak tau atau ga usahlah bantu. Lo bisa bebas dan gak perlu masuk dalam masalah kaya kami," kata Dhika semalam.

"Gue cuma seneng, bisa punya sahabat dan teman. Selama ini gue kesepian dan sendiri. Mereka selalu malu dengan latar belakang gue. Anggaplah ini sebagai ucapan terima kasih karena mau berteman sama gue," jawabku.

"Gue temenan sama lo tulus. Dalam persahabatan yang sebenarnya, lo gak bakal menang bagaimanapun sahabat lo. Sama seperti cinta. Nomor satu adalah ketulusan. Menerima kekurangan dan kelebihan pasangan atau sahabat masing-masing. Kalian juga akan saling membantu dan melengkapi satu sama lain. Ngerti?". Mungkin ada benarnya ucapan Dhika meski belibet saat bicara. Namun, anehnya aku mengerti akan maksudnya itu. Padahal biasanya aku selalu bingung dengan ucapannya.

***

Seharian mengawasi Burhan, kami tak mendapatkan apapun. Ia tampak seperti biasa ramah pada semua orang dengan senyumannya yang khas. Bahkan Putra juga tak merasakan gelagat aneh apapun dari Burhan. Hanya satu hal yang bisa memastikan adalah dengan melihat tato di mata kakinya. Namun itu selalu tertutup kaos kaki. Saat bel pulang, Aku, Tia, dan Putra bertemu di warung bakso depan sekolah. Melisa tak ikut karena ia mengikuti extrakulikuler Tata Busana. Di sana aku dan Tia di traktir bakso oleh Putra. Sekalian membahas apa saja temuan kami.

"Aku gak dapat apa-apa. Burhan terlihat sangat biasa saja," ungkapku sambil menuangkan sambal ke bakso yang sudah sampai di mejaku.

"Aku juga. Burhan seperti biasa. Tak ada apapun yang mencurigakan. Apa Andika bohong, ya?" Putra terlihat ragu.

"Dhika kayaknya bukan orang yang mudH ngerjain temen-temennya gitu  apalagi ini menyangkut Via," belaku.

"Akan tetapi aku tetap saja ragu," ungkap Putra.

"Hoi, gue ada info kok," sela Tia. Aku lupa jika ia ada bersama kami.

"Apa?" tanyaku dan Putra antusias.

"Pin di tas Burhan. Kalian sadar gak sih itu logo Sundays. Logo Matahari berwarna Hitam," jelas Tia. Wajah Putra menyiratkan bahwa ia tahu persis akan hal itu. Sementara aku tak terlalu memperhatikan detail itu. Ketelitian Tia bisa diacungi jempol.

"Aku juga berharap Kak Burhan sebenarnya baik. Selama ini ia sangat baik ke semua orang. Maka dari itu, kita harus membuktikan kalau itu semua gak benar." Aku mencoba menghibur Putra yang mulai diam saja. 

"Sudah. Kita makan saja baksonya." kata Tia. Perlahan kami bertiga menikmati semangkuk bakso di hadapan kami.

"Kalian sedang apa di warung kaya gini!" bentak Kartika yang tiba-tiba muncul

"Keluarga Wijaya ngapain di tempat seperti ini! Gak pantes tau gak?" bentak Kartika saat itu pada Putra.

Putra mendengus kesal. Ia tak mau menatap Kartika sama sekali. Sepertinya sejak dulu, aku selalu melihat Putra bersikap begini pada Kartika. Tia sendiri juga pernah bilang, bahwa Kartika ditolak berulang kali oleh Putra. Namun aku tak tahu apa alasannya.

"Kenapa sih? Saat kamu sama mereka selalu saja tertawa dan bahagia. Bahkan sama si gadis miskin itu, kenapa kamu selalu sama dia!" Kartika menunjuk ke arahku.

"Mending lo pergi dari sini deh," usir Tia.

"Gue gak ngomong sama lo ya nenek cerewet," bentak Kartika. Padahal selama ini ia selalu tampak takut pada Tia. Kartika kemudian berjalan pada Putra kemudian menarik tangannya agar mengikutinya. Putra langsung menepis tangan Kartika. Namun, Kartika tetap kekeh mempertahankan kemauannya itu.

"Sudahlah, ikuti saja dulu. Kami gak apa-apa kok," ucapku, karena terlihat di matanya bahwa ia tak enak meninggalkan aku dan Tia. Namun mungkin juga ia tak mau sama sekali. 

Aku memberi kode dengan jari dan menunjuk Kartika pada Putra. Semoga ia paham untuk mengorek info darinya. Rupanya ia paham dan langsung mengikuti kemauan Kartika meski berat. Merek menuju mobil Kartika. Sementara aku dan Tia termenung sambil menatap kuah bakso yang tak habis.

"Kenapa Kartika rerkihat tergika-gila begitu sama Putra. Sampai-sampai dia pernah melabrak dulu. Sekolah Putra adakah harta yang begitu berharga bagi Kartika?" tanyaku pada Tia. 

"Aku gak tahu pasti alasannya. Hanya saja Kartika sudah seperti itu sejak masih anak-anak. Namun, Putra sangat tidak suka anak yang caper sama dia kaya si Kartika itu. Jadilah begitu," jelas Tia.

"Tapi, rasanya aku melihat kebencian di mata Putra?" ungkapku.

"Masa sih? Aku udah biasa lihat mereka gitu jadi gak pernah perhatiin," jawab Tia.

"Iya."

Sudahlah. Aku tak ingin terlibat masalah baru lagi. Cukup masalah tentang Via saja cukup. Otakku tak bisa untuk berpikir jauh lebih banyak.

"Non Tia, ayo pulang. Mami nanyain. Katanya ada acara." Mang Agus tiba-tiba muncul dan mengajak Dia pulang. Tia merengek tak ingin pulang, tapi supirnya itu berhasil membujuknya.

Kadang aku kira Tia adalah gadis cool dan keren. Rupanya ia sama seperti Putra, manja sekali. Sungguh diluar ekspektasi.

Akhirnya aku hanya sendiri menikmati sisa es tehku. Setelah habis aku memutuskan untuk duduk di halte dan menunggu angkot lewat kemudian pulang dan istirahat.

"Yuk pulang." 

Saat sedang melamun, tiba-tiba Dhika muncul dihadapanku dengan senyuman yang merekah di wajahnya. Aku membalas senyumannya dan membonceng di belakangnya.

Aku merasakan aroma wangi dari tubuh Dhika. Rasanya selama ini aku tak pernah melihat Dhika  terlihat rapi dan wangi. Ia tak seperti biasanya yang tampak berantakan.

Tak lama, Putra muncul berlari ke arah kami dengan terengah-engah. Seolah ia akan mengajukan sebuah surat penting kerajaan. Namun sebelum ia menyampaikannya, hujan malah turun dengan sangat deras..

Bersambung