Chereads / Berandal SMA inlove / Chapter 53 - Mencoba Melupakan Semua

Chapter 53 - Mencoba Melupakan Semua

Selamat Membaca

Hari minggu akhirnya tiba juga. Aku lelah bukan karena tumpukan pelajaran. Namun, karena pusingnya masalah hidup orang lain, dimana aku terpaksa ikut terlibat.

"Salah sendiri terlalu dipikirin," kata Dhika tadi malam saat ke rumahku. 

"Yah, gimana gak mikir coba. Lo juga sebabnya," tuduhku.

"Lah kok gue!" wajah Dhika terlihat bingung.

"Ya, pokoknya lo juga ikut salah!" ucapku melampiaskan kekesalan pada Dhika.

"Bodo, ah." Dhika berlagak tak memperdulikanku sambil menyruput kopinya.

Aku membaringkan tubuh di dipan bambu yang baru beberapa hari Ayah buat di teras rumah. Aku dan Dhika duduk disana sambil menikmati angin malam dan bintang yang bertaburan indah di gelapnya langit malam.

"Romantis ya, Ros," ucap Dhika. Aku menoleh padanya dan mengerutkan dahi.

"Kaya lagi pacaran ya?" ucapnya lagi.

"Ngigau?" tanyaku.

"Gue gak tidur," jawabnya datar. "Lo belum jawab pertanyaan gue, kan?" lanjutnya.

"Gue kira lo bercanda, beneran ya?" Aku berusaha menyembunyikan perasaanku sebenarnya yang tengah berdebar-debar gak jelas.

"Yah udah kalau lo anggep cuma bercanda." Ia mengatakan seolah tak peduli dan benar-benar itu hanyalah bercandaannya semata. Aku mendengus kesal dan menimpuk kepalanya dengan tanganku. Membuat Dhika meringis kesakitan.

"Lagipula perasaan lo masih ada buat almarhum Via,  kan?" tanyaku.

"Gue udah menguburnya bersama jasadnya saat itu. Sekarang yang ada hanya kenangan saja, tapi, bagaimana. Gue tetap kesal sama si Putra. Wajah ganteng, dompet tebal, keren, tapi tanggung jawabnya sama cewek zonk. Kok bisa lo suka sama cowok kaya gitu?" Dhika berkata dengan nada menyindirku. 

"Gue juga bingung. Apalagi dengan fakta bahwa gue dimanfaatkan orang di sekitarnya begini. Rasanya gue dikelilingi kepalsuan. Mungkin karena dia menolongku sekali waktu itu. Bagi gue dia adalah seorang ksatria berkuda putih." Ada rasa sakit dan sesak saat aku mengatakannya. Tangan Dhika tiba-tiba berada di atas kepalaku. Mengelus rambutku dengan lembut. Aku menoleh padanya, melihat Dhika yang tengah tersenyum padaku. Membuatku terpana sesaat dengan pesonanya yang tak kusadari selama ini.

"Makanya, jadi cewek jangan polos-polos amat. Bodoh!" ucapnya dengan jitakan di kepalaku di akhir kalimatnya.

"Ih, kesel!" Aku memukuli tangannya karena kesal. Dhika tertawa lepas saat itu. Membuat jantungku berdebar-debar tak karuan. Dia sangat tampan.

"Tapi, tampaknya cewek bernama Tia itu gak ada maksud buruk meski manfaatin lo," ucap Dhika setelah aku bercerita tentang Tia. Lagi pula aku juga berpikiran serupa dengan Dhika. Tia adalah anak yang baik. Tidak, Putra juga sebenarnya baik. Hanya saja, dia masuk ke jalan yang salah. 

"Apa gue bantu mereka aja ya?" Aku meminta pendapat pada Dhika. 

"Terserah lo. Kalau lo yakin mau terlibat masalah mereka lebih jauh ya silahkan. Akan tetapi gue gak mau kalau lo sampai berakhir kaya Via  ya!" jawab Dhika.

"Amit-amit, naudzubillah. Begini-begini gue masih punya iman!" ucapku.

"Soalnya lo terlalu polos dan bodoh begitu. Kemarin aja lo bertekad pengen jadi populer, tapi percuma. Dunia populer penuh kebohongan," ucapnya menyindirku.

"Habisnya, selama ini orang-orang populer dan terpandang selalu saja menang dalam hal apapun. Sementara gue yang gak populer harus selalu menerima kekalahan dan hanya selalu di injak-injak …."

"Itu karena lo gak berani bangkit dan melawan mereka. Lo bisa melawan mereka kok. Gak harus dengan kekerasan atau lo populer. Lo, cukup jadi diri lo sendiri, dan jadi berani," saran Dhika.Aku menatapnya datar. Bingung dengan Dhika yang ada di hadapanku ini. 

"Tatapan lo, apaan dah?" tanya Dhika menampakan ekspresi takut.

"Lo, Dhika kan?"

"Bukan. Gue Pasha Ungu," jawabnya spontan.

"Oke berarti lo benar-benar Dhika." Aku bernafas lega. "Lagian, sejak kapan lo bisa kata-kata bijak kek gitu?" tanyaku.

"Sejak aku mencintaimu," bisiknya mendekatkan wajahnya ke wajahku sambil tersenyum.

Dadaku berdebar-debar. Mataku tak bisa beralih dari tatapan Dhika. Seolah tersihir olehnya. Bahkan waktu terasa berhenti saat itu.Aku mendorongnya menjauh dariku saat aku tersadar dengan suara motor yang lewat depan rumah. Aku menjadi salah tingkah sendiri karena hal itu. 

"A-anu, gue masuk dulu bentar." Aku langsung berlari masuk ke dalam tanpa mendengar jawaban Dhika. 

"Loh, Dhika di tinggalin?" tanya Ibu saat aku melewatinya yang tengah menonton TV di TV kecil rumah kami.

"Mau ke sumur sebentar," jawabku. Aku langsung berlari ke kamar mandi rumahku yg hanya berdinding bambu dengan sumur air di tengahnya. Aku mengambil air dengan menimbanya dan segera ku basuhkan ke muka untuk menyadarkan diri. Bahkan saat bersama Putra aku tak pernah merasa berdebar-debar seperti ini. Bahkan mukaku terasa sangat panas. Oh, jantungku pelanlah sedikit suaramu. Pasti tadi Dhika bisa mendengarnya. Benar-benar memalukan.

"Rosa," panggil Anne padaku yang tengah menyapu halaman sambil membayangkan kejadian semalam. Sejak kapan ia berdiri di depan rumahku.

"Anne? Ada apa?" tanyaku. Namun, tiba-tiba dia meneteskan air mata dan menangis di sana. Ia sampai berjongkok sambil menangis, membuatku panik sendiri dan melempar sapu lidi yang aku pegang ke sembarang tempat.

"Eh, jangan nangis di sini. Ada apa?" tanyaku mencoba menenangkannya sambil memapahnya ke dipan bambu di teras.

Aku mengambilkan teh hangat untuknya agar jauh lebih tenang. Ia meminumnya dengan tangan yang gemetar. Sebenarnya ada masalah apa hingga ia tiba-tiba kemari.

"Aku cuma gak tahu harus cerita sama siapa, Ros. Aku ngerasa sendirian sejak masalah kemarin. Padahal aku kira Putra benar-benar baik. Aku gak tahu sama sekali tentang masalah jika ia terlibat dengan kematian Kak Via," ungkapnya setelah terlihat tenang. Namun, tak lama ia kembali terisak.

Aku menepuk punggungnya pelan agar ia jauh lebih tenang. "Maaf, An. Aku gak bisa kasih solusi apapun karena aku juga gak sengaja terlibat dalam hal ini. Aku juga gak tau masalahnya seribet itu."

"Gak apa-apa, Ros. Ini bukan salah kamu juga." ucapnya.

"Maaf, ya, An. Aku udah comblangin kamu sama Putra," ucapku menyesal.

"Aku yang harusnya minta maaf. Aku tahu kalau kamu suka sama Putra dan kamu tetap bantuin dia deketin aku. Akan tetapi saat itu aku gak bisa lepas dari perhatian sama pesonanya, dan ternyata …." Anne mulai meneteskan air mata lagi.

"Eh jangan menangis lagi," ucapku kembali menenangkannya.

"Jadi kamu tahu ya aku suka sama Putra?" tanyaku saat ia jauh lebih tenang dari sebelumnya.

Anne mengangguk. "Aku terlalu serakah saat itu. Aku kemari untuk minta maaf sama kamu. Maafkan aku juga yang buat Melisa ngejauh dari kamu."

"Maksud kamu?" Aku terkejut dengan pernyataan barusan.

"Aku yang buat dia ngejauh dari kamu. Saat itu aku dibutakan rasa cemburu karena kamu selalu dekat dengan Putra. Aku gak tahu kalau saat itu kamu bantuin kami. Maafin aku …." 

"Bukannya selama ini kamu selalu yang bantuin aku? Dan … aku kira kamu …." Aku merasa sangat kecewa dengan Anne. Padahal selama ini aku selalu kagum pada keberanian dan semua yang ada dalam dirinya.

"Selama ini aku bantuin kamu tulus, karena aku iri dengan kamu yang bisa bebas ngapain aja meski ga pernah dipedulikan dan direndahkan orang lain. Sementara aku harus selalu terlihat sempurna agar aku tak pernah kehilangan perhatian-perhatian itu. Anne yang kamu lihat selama ini palsu," ungkapnya.

"Kamu tau gak, kamu udah ngebuat sahabat aku satu-satunya menjauh! Kamu tau gak sakitnya kaya apa! Bahkan saat ini aku lebih baik dihina Kartika daripada tahu fakta ini!" tegasku. Anne terlihat menyesal.

"Sudahlah. Lagipula kamu juga punya masalah sendiri dengan Putra. Aku anggap itu adalah karma buat keserakahan kamu," lanjutku sambil mengatur emosi agar tak lepas kendali.

"Maaf," ucapnya lagi terlihat penuh penyesalan.

"Kalian mirip ya," ucapku.

"Hah?" Anne memandangku bingung.

"Kamu dan Putra, selalu bisa membuat orang lain luluh dengan muka memelas kalian. Mungkin kalian adalah jodoh di masa depan. Kalian juga sebenarnya orang baik, hanya saja salah mengambil jalan. Aku hanya berharap ini akan jadi pelajaran buat kalian."

Anne pulang setelah menangis dan terus meminta maaf. Aku tidak menyangka Anne yang selalu cool dan hebat  bisa seperti itu. Mungkin baginya itu masalah sepele, tapi bagiku yang hanya memiliki melisa sebagai sahabatku itu rasanya begitu hampa dan sepi. Apa saat itu Anne memikirkan ini ya?

Benar kata Dhika. Bukan populer yang membuat hidupku sempurna. Akan tetapi dengan menerima apa adanya diriku sendiri itu akan jauh lebih baik. Apa aku selama ini tak menerima diriku sebenarnya. 

Aku memandang diri di cermin pada lemari kayu berwarna hitam di hadapanku. Hitam bukan karena cat nya, tapi karena sudah turun temurun sejak nenek buyutku. Di dalam bayang cermin yang buram, aku melihat diriku sendiri. Mencoba memahami bagian mana yang hatiku tak menerimanya.Badanku sedikit gendut dengan pipi yang chubby. Rambutku sekarang pendek karena dipotong kartika saat itu. Kulitku kusam ternyata. Aku jelek banget ya. Tambah badanku yang pendek. Sudahlah, gak ada bagus-bagusnya. Percuma.

Aku mendengus kesal dan membaringkan tubuh di kasur. Memandang pepohonan di luar jendela kamar. Terasa tenang saat angin meniupnya.

'Kamu harus jadi diri kamu sendiri ….' Ucapan Dhika terlintas di pikiranku. Membuatku bangun dan memandang kembali ke dalam cermin. Jadi diri sendiri ya. Apa aku bisa? 

'Kamu itu aslinya cerewet ya, kenapa gak gitu aja di sekolah, jadi gak pada jauhin kamu ….' Kali ini ucapan Tia yang melintas begitu saja.

Emang aku secerewet itu ya? 

****

Hari senin akhirnya tiba. Aku berangkat seperti biasa menggunakan angkot. Aku mencoba melupakan semua masalah kemarin agar tak membebaniku lagi. Toh, itu bukan masalah pribadiku juga.Akhirnya baju yang aku kecilkan di Mbak Asih penjahit desa, selesai juga. Aku tak membuatnya memperlihatkan lekuk tubuh, hanya mengurangi ukurannya yang sebelumnya oversize menjadi ukuran bajuku sebenarnya. Begitu juga dengan rokku. 

Poni yang biasa menutup mataku kini aku jepit rapi dengan jepit rambut yang aku beli di abang-abang seharga seribu. Dengan senyum bangga aku melangkah memulai hariku lagi. Seolah aku benar-benar sedang mengubah jalan ceritaku yang buruk kemarin.

"Melisa!" Seru saat melihat Melisa yang baru datang setelah diantar Ayahnya di depan gerbang. Aku melambaikan tangan padanya. Wajahnya terlihat panik, tapi aku tetap menghampirinya dan langsung menggandeng tangannya.

"Ros, jangan gini, ah." Melisa terus berusaha menyingkirkan tanganku, tapi aku tepis. 

"Aku kangen. Udah diam aja, ayo jalan!" tegasku. 

"Rosa …." 

"Ssst! Diem. Aku udah tahu semuanya kok. Anne juga udah minta maaf sama aku. Sekarang gak ada yang sok-sokan ngancem-ngancem kamu biar jauhin aku. Terus jangan pernah lagi jadi pembantu dari cewek-cewek manja itu lagi. Ngerti!" Tegasku lagi pada Melisa.

"Maaf ya, Ros." Melisa sedikit terisak. Mungkin terharu.

"Gak usah baper-baperan. Bentar lagi upacara. Ayo cepetan." Aku menarik tubuh Melisa ke kelas. Siswa lain dari kelas ku memandang kami bingung. 

"Awas ya kalian jadiin melisa pembantu lagi! Terutama lo Sisil!" ancamku pada cewek gendut dengan kacamata itu. "Gue gak peduli lo rangking 1 dan anak dari guru Matematika. Oke!" ancamku lagi mengeluarkan kekesalan selama berhari-hari, karena selalu melihat Melisa yang menjadi seorang penyuruh.

Sisil dan teman-temannya hanya melongo melihat kami. Aku tak peduli dan berjalan ke belakang. Tia tersenyum pada kami berdua di sana. 

"Akhirnya keluar juga Rosa yang asli," ucapnya dengan seringaian.

"Aku masih kesel ya sama kamu." Aku pura-pura merajuk padanya. 

"Gak cocok akting," ucapnya. Diakhiri tawa oleh Melisa. Rupanya seperti ini memiliki sahabat. Terasa hangat. Saat aku tengah bercanda dengan Tia dan Melisa sebelum ke lapangan, Anne sampai di kelas. Ia seperti biasa cool dan seakan tak peduli dengan sekitarnya. Ia menatap padaku sesaat sebelum mengirimkannya. Tampaknya ia masih segan padaku.

Hari ini ada rapat OSIS seperti biasa untuk hari senin. Biasanya aku bersama Anne, tapi hari ini dia tak pergi. Entah karena tak ingin bertemu Putra atau ada masalah lain. Rapat dimulai 10 menit lagi, aku memutuskan untuk ke toilet dulu karena kadang rapat akan berlangsung lama. Saat aku ke toilet rupanya Kartika menungguku disana. Seniat itu mereka menungguku di toilet.

"Nah ini orangnya, Ka!" Si cewek sipit langsung menarikku saat aku muncul di pintu depan toilet.

"Apaan sih?" Aku bertanya sambil menyingkirkan tangan cewek sipit dari lenganku.

"Wah, lihat, Ka. Ini cewek makin hari makin berani aja!" adunya.

"Berisik!" bentakku membuatnya langsung terdiam. Aku melihat sekeliling Kartika. Tumben sekali ia hanya ditemani si sipit itu.

"Apa yang lo lakuin sama Putra?" tanya Kartika dengan nada mengancam. 

"Lakuin apa?" aku bertanya balik.

Namun malah Kartika mendorongku dan memojokkanku ke tembok. Ia menatapku dari atas ke bawah dan berdecak setelahnya.

"Mau sok cantik ya!" Kartika menarik jepit rambut dan membuangnya. 

"Tanpa sadar, lo udah iri sama gue. Iya kan? Lo iri sama gue, Ka?" goda ku sengaja membuatnya kesal. Muka Kartika langsung terlihat kesal. Kartika menggebrak pintu kamar mandi dengan keras. "Gue. Iri sama cewek kayak lo! Gak. Lihat aja lo. Apa yang bakal gue lakuin sama Anne. Pelajaran buat lo juga biar gak macem-macem sma Putra, ancamnya menggunakan Anne.

"Gila, ya, lo!" Situsku membuat Kartika tambah naik darah. Ia mengayunkan tangannya hendak menampar dan ia berhenti, saat sebuah tangan menahannya.

"Heh! Gak ada tobat-tobatnya lo, ya!" seru Tia bak seorang pahlawan karena tiba-tiba muncul.

"Lo, gak usah ikut campur, Ti! Napa sih, Lo, belain cewek miskin ini. Keluarga Wijaya harusnya gak bergaul sama anak-anak kaya mereka …." Kartika terhenti ketika tamparan tangan Tia mendarat mulus di pipi kemerahan milik Kartika. Membuat pipi itu semakin memerah. Sementara si sipit terlihat bingung harus bagaimana.

"Bawa bos lo pergi," titahku. Ia bergegas langsung menarik Kartika menjauh dan menahan Kartika agar tak lepas kendali.

"Gak apa-apa?" tanya Tia khawatir.

Aku nyengir kuda sebagai jawaban pertanyaannya, karena sekarang seluruh tubuhku gemetar dan aku langsung duduk lemas di lantai. Sungguh lelah menjadi orang sok kuat.

Bersambung