Selamat Membaca
Seorang laki-laki telah terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memperjelas pandangannya. Suara lenguhan dapat terdengar di kamar itu. Reynand duduk lalu memijat kepalanya yang terasa pusing.
Dia benar-benar sakit. Bahkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi saja rasanya Reynand tidak sanggup. Lagi, penyakit itu semakin memperjelas keberadaannya di tubuh Reynand.
"Tuhan ... sampai kapan, ya, Rey bisa bertahan? Rey harap masih lama. Soalnya Rey harus nepatin janji, buat selalu menjadi pelindung si cantik," monolognya.
Reynand terkekeh pelan. Tiba-tiba ia rindu sang kekasih. Hari ini Reynand terpaksa tidak masuk sekolah karena sakitnya yang semakin parah. Laki-laki itu meraih ponselnya lalu membuka aplikasi hijau. Langsung saja Reynand mengirimkan pesan kepada Gina.
Reynand "Cantik, hari ini aku gak sekolah ya. Sakit aku makin parah soalnya."
"Kamu jangan lupa makan dan belajar yang bener. Semangat, Cantik!" Reynand tersenyum simpul. Ia meletakkan kembali ponselnya di nakas lalu beranjak dari tempat tidur. Reynand mencuci muka dan menggosok gigi, lalu turun ke lantai bawah. Badannya panas. Maka dari itu, Reynand lap badan saja, tidak mandi.
"Pagi, Nand. Kamu kenapa gak sekolah?" sapa Nagita yang sedang duduk di meja makan bersama Reno. Reynand ingin menjawab pertanyaan ibunya, tetapi rasa pusing kembali menyerang kepalanya. Saat hampir sampai ke meja makan, tubuh Reynand ambruk.
"Reynand!" seru Nagita dan Reno panik.
Sontak, kedua orang tua itu menghampiri anak mereka. Reno memangku kepala sang anak di pahanya. "Badannya panas banget, Qi."
"Ayo! Kita bawa ke rumah sakit," titah Nagita.
Reno mengangkat tubuh bongsor Reynand dibantu oleh Mang Ijat Supir Keluarga Reynand. Beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di Rumah Sakit Cahaya Medika. Reynand langsung ditangani di IGD.
Dokter Fara berujar, "Kanker Liver Stadium 3 yang Reynand derita sudah semakin parah, Bapak, Ibu. Sekarang Stadium 3 ini sudah mencapai level 3B. Ini berarti sel kanker sudah menyebar ke salah satu pembuluh darah besar di hati, tetapi tidak menyebar ke kelenjar getah bening atau organ sekitar."
Nagita dan Reno terhenyak di tempat. Seperti ada listrik jutaan volt yang menyambar tubuh mereka. Bagaimana bisa? Fakta macam apa ini?
Nagita menangis tersedu-sedu. Ia syok, begitu pun dengan suaminya. "Gi—gimana bisa anak saya mengidap Kanker Liver, Dok? Dia gak pernah kasih tahu apa-apa tentang ini."
Dokter Ghea yang turut menangani Reynand pun tidak kalah terkejut. Apakah ini berarti Reynand menghadapi kanker ini seorang diri? Di umur semuda ini? "Reynand gak kasih tahu kalian? Dia setiap minggu kontrol sama saya, Dokter Spesialis Onkologi di rumah sakit ini. Makanya saya suka heran, kenapa dia pergi kontrol sendiri. Pernah sekali dia ditemani sama seorang wanita dan pria, kalau gak salah namanya Sarti dan Ijat. Saya kira mereka orang tuanya Reynand."
"Dia gak kasih tahu apa-apa, Dok," ujar Nagita, "hmm ... Sarti dan Ijat itu, mereka asisten rumah tangga dan supir kami." Dokter Fara dan Dokter Ghea menghela napas berat.
"Setelah kalian tahu tentang kondisi Reynand, saya harap kalian menjaga dia dengan telaten. Selain perawatan medis, Reynand juga butuh support secara mental, Pak Reno, Bu Naqia. Dia harus selalu didampingi," ujar Dokter Fara.
"Baik, Dok. Terima kasih atas penjelasannya. Kami akan lebih memperhatikan anak kami setelah ini," ujar Reno.
"Kami tinggal dulu, ya. Nanti akan kita urus untuk pemindahan Reynand ke ruang rawat." Setelah itu Dokter Fara dan Dokter Ghea berlalu pergi.
Nagita duduk di kursi yang disediakan untuk penjaga pasien. Ia mengelus rambut anaknya lembut. "Kenapa kamu gak pernah kasih tahu mama dan Papa, Nak?"
"Kamu, sih, sibuk aja sama perkumpulan sosialita kamu itu! Lihat sekarang, anak kita berjuang sendiri, Nagita! Entah sejak kapan dia mengidap kanker ini," sahut Reno menyalahkan sang istri.
"Kamu jangan salahin aku aja, dong, Mas! Kamu pikir kamu udah jadi Papa yang baik untuk Reynand? Jangan kamu pikir aku gak tahu, ya, kalau kamu suka main perempuan di luar! Kerjaan kamu gak sepadat itu!"
Reno memijat pelipisnya yang terasa pusing. "Sudah, jangan ribut di sini! Kita bahas di rumah nanti."
"Nghh," lenguh Reynand.
"Kamu sudah sadar, Nak? Apa yang sakit?" tanya Reno yang langsung mendekati anak semata wayangnya itu.
"I—ini di mana?" tanya Reynand.
"Ini di Rumah Sakit Cahaya Medika, Nand. Kamu pingsan tadi. Mama dan Papa baru tahu satu fakta menyakitkan tentang kamu, Reynand. Kenapa kamu gak kasih tahu kami tentang penyakit kamu, Nak? Kamu anggap kami ini apa? Gimana bisa Bi Surti dan Mang Ijat yang tahu duluan daripada mama dan Papa?"
Reynand tersenyum miris. "Reynand udah beberapa kali berusaha buat kasih tahu kalian tentang ini, tapi kalian gak pernah mau luangin waktu buat Rey."
"Waktu itu...."
Seorang laki-laki memandang lamat kertas di tangannya. Dia Kenzaki Reynand Regantara. Laki-laki yang hari ini menerima fakta, bahwa dia mengidap Kanker Liver Stadium 2. Di umur 17 tahun, tepatnya saat dia Kelas XI. Reynand menyeka air mata yang entah sejak kapan jatuh membasahi pipinya. Ia berinisiatif untuk memberitahu Nagita dan Reno tentang ini. Lantas, Reynand menghampiri kedua orang tuanya yang sedang duduk di ruang keluarga. Mereka tampak sibuk. Naqia sedang bermain ponsel, dan Reno sedang berkutat dengan laptopnya.
"Ma, Pa," panggil Reynand.
"Iya," sahut keduanya tanpa mengalihkan pandangan mereka.
"Rey mau kasih tahu sesuatu, nih. Ini penting banget."
Nagita memandang Reynand lalu tersenyum. "Mama lagi sibuk, Sayang. Nanti aja, ya."
Reynand menghembuskan nafasnya kasar. "Papa."
"Nanti aja, ya, Rey. Papa lagi sibuk banget ini sama kerjaan papa."
Reynand mengepalkan tangannya kuat. Ia berlari menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Lihat, mereka tidak mau meninggalkan pekerjaan mereka barang sebentar saja. Padahal, Reynand hanya ingin memberitahu tentang penyakit yang ia derita.
"Kalian sibuk sama hal kalian masing-masing. Gak mau luangin waktu buat Rey sedikit... aja," kata Reynand, "kalian tahu? Rey butuh keberanian yang besar untuk kasih tahu kalian tentang ini. Karena apa? Karena Rey takut kalian menganggap Rey sebagai anak yang bisanya nyusahin orang tua doang. Banggain enggak, yang ada nyusahin!"
"Pernah suatu hari, Rey memutuskan untuk coba lagi ngasih tahu kalian tentang kanker ini. Lagi dan lagi...." Nagita sedang duduk di taman rumahnya. Wanita itu memandang ke depan dengan tatapan kosong.
"Mama."
Sontak, Naqia berbalik. "Iya, Nand."
"Rey mau kasih tahu sesuatu. Waktu itu Rey pernah mau ngasih tahu, tapi Mama dan Papa lagi sibuk."
Nagita menghembuskan nafasnya pelan. "Mama habis berantem sama Papa kamu, Nand. Mama harap kamu gak gangguin mama untuk saat ini. Mama bener-bener pusing banget sekarang. Udah, mendingan kamu balik aja ke kamar kamu."
Reynand pergi dari hadapan sang mama tanpa menjawab terlebih dahulu. Ia menghampiri Reno di ruang kerjanya.
"Papa."
"Iya, Nak."
"Papa ingat, kan, beberapa bulan yang lalu Rey pernah mau ngasih tahu Papa tentang sesuatu. Papa sibuk pas itu, jadi Rey tunda dulu kasih tahunya. Bisa Rey kasih tahu sekarang?"
"Maaf, Nak. Tunda lagi, ya. Papa lagi sibuk sekarang. Permintaan client ini pada ribet-ribet. Papa harus turun tangan jadinya."
"Iya."
Reynand lagi-lagi gagal memberi tahu orang tuanya tentang Kanker Hati Stadium 2 yang ia derita. Mereka selalu saja punya alasan untuk menolak berbicara dengan Reynand.
"Kalian tahu? Semenjak itu, aku ngerasa kalian emang gak mau peduli sama aku. Sampai ada dua orang yang aku beranikan diri untuk kasih tahu mereka, dan dua orang itu adalah Bi Sarti dan Mang Ijat. Mereka selalu ada untuk Rey. Mereka selalu bersedia mendengarkan semua keluh kesah Rey. Sialnya, itu semua gak ada di kalian, Ma, Pa."
Tangis kedua orang tua itu pecah. Mereka tidak menyangka, kesibukan mereka akan berdampak besar bagi Reynand. Nagita berhambur memeluk putranya. "Maafin mama, Sayang. Maafin mama." Reynand tidak menghiraukan ucapan Naqia. Hatinya sudah terlalu rapuh. Sangat sulit untuk memaafkan mereka.
"Mana HP Rey?" tanya laki-laki itu.
Reno dengan sikap memberi ponsel Reynand yang disimpan di sakunya. "Ini, Nak."Reynand membuka aplikasi hijau lalu mengetikkan pesan kepada si cantik Gina.
Reynand "Cantik, sebelumnya aku minta maaf kalau aku bikin kamu khawatir.
Aku cuma mau kasih tau, kalau aku di rumah sakit sekarang. Kalau kamu gak keberatan, pulang sekolah ini ke Rumah Sakit Cahaya Medika, ya. Aku butuh kamu, Cantik."
***
Gina berlari di lorong rumah sakit. Wajahnya tampak sangat cemas. Air matanya pun sudah tak terbendung lagi.
Ceklek!
Gina berlari mendekati pacarnya. Ia memeluk tubuh yang rapuh itu.
"Kamu datang, Cantik."
"Aku pasti datang," balas Gina melalui bahasa isyaratnya, "kamu kenapa di sini? Kamu sebenernya sakit apa?"
"Janji, ya, jangan tambah nangis? Kamu, kan, cewek kuat!"
Gina mengangguk-angguk. "Iya, aku gak akan nangis lagi."
"Kanker Hati Stadium 3B." Gina terkejut bukan main. Ia memegang dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Ternyata Tuhan belum selesai memberinya penderitaan, ya?
"Kanker Hati? Stadium 3? Kamu bercanda, 'kan? Ini gak mungkin!" Alaska menangis tersedu-sedu. Ia mengguncang lengan Reynand. Laki-laki itu pun akhirnya ikut menangis.
"Maaf, Gina. Emang gitu kenyataannya."
"Jadi ini yang kamu maksud di mall kemarin? Tentang kamu yang bakal pergi suatu hari nanti? Kenapa, Nand? Kenapa kamu lakuin ini sama aku?" Reynand mengambil tubuh Gina masuk ke dalam dekapannya. Ia mengecup pucuk kepala gadis itu berkali-kali. "Maaf, Cantik. Ini takdir yang Tuhan kasih buat hidup aku."
"Kok, Tuhan jahat banget, ya, sama kita? Kita salah apa, sih, Nand? Dosa kita sebanyak itu emangnya? Sampai gak ada celah sama sekali untuk kita bahagia."
"Tuhan itu baik, Ka. Dia baik banget. Mungkin ini ujian yang Tuhan berikan untuk kita, sebelum kita dapat kebahagiaan yang banyak ... banget."
"Aku harap begitu. Oh, ya, orang tua kamu mana?"
"Mereka lagi pulang ke rumah, ambil baju untuk dibawa ke sini." Gadis itu mengangguk paham. Ia kembali memeluk Reynand. Gina terus menangis di pelukan Reynand. Gadis itu syok berat. Ia kira Reynand hanya demam tinggi, hingga harus dirawat di rumah sakit. Ternyata, pahlawannya sedang melawan kanker.
"Jangan pergi, Pelindungku. Aku masih butuh laki-laki kuat ini."
Bersambung