Chereads / Berandal SMA inlove / Chapter 26 - Timbulnya Rasa Benci

Chapter 26 - Timbulnya Rasa Benci

Selamat Membaca

Terlihat dengan jelas di mata kepala Abila, bagaimana laki-laki yang ia cintai memperlakukan kekasih hatinya dengan sangat baik. Semua yang ia harapkan itu adalah untuk dirinya, tapi ternyata untuk gadis lain. Gadis yang sayangnya tidak masuk di akal Abila, bagaimana bisa ia terkalahkan oleh gadis seperti Gina. Semua kata-kata indah yang Reynand ucapkan di UKS dapat Abila dengar dengan jelas di balik pintu. Abila juga bisa melihat bagaimana laki-laki itu mendekap tubuh Gina lembut. Semua itu ia harapkan akan terjadi padanya, dari seorang Kenzaki Reynand Regantara. Padahal baru dua minggu semenjak kepindahannya ke SMA Tunas Bangsa. Namun, rasa cintanya pada Reynand sudah sedalam ini. Abila sendiri tidak mengerti, apa alasan sebenarnya ia jatuh cinta pada laki-laki itu.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Abila. "Aku benci kamu, Gina! Iya, memang kamu yang lebih dulu mengenal Reynand. Jauh dari semua alasan itu, kamu gak ada apa-apanya dibanding aku, Ka. Kamu bisu, gak pantas dapetin laki-laki setulus dan sebaik Reynand. Akan aku pastikan, Reynand jadi milik aku!"

Abila menyeka air matanya kasar lantas berlalu pergi dari UKS.

***

'Kok kamu diam-diam aja, Bil? Biasanya cerewet banget, ha-ha-ha.' Ucap Gina di buku kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana.

"Gak papa."

'Kamu lagi badmood, ya? Kalau ada masalah, cerita aja. Aku siap, kok, jadi tempat curhat kamu.' Ucap Gina kembali.

"Aku bilang gak papa, ya, gak papa! Mendingan kamu lanjutin baca buku aja, deh!" Tanpa sadar Abila berbicara dengan nada yang naik satu oktaf. 

Gina yang mendengar itu sangat terkejut. Sontak, gadis itu kembali membaca bukunya yang ia tutup demi menyapa Abila. Jujur, Gina takut saat Abila berbicara seperti tadi. Ia tidak ada bedanya dengan siswa-siswi lain yang membenci dirinya. Abila bangkit dari kursinya lalu berjalan keluar kelas. Entahlah, mungkin mencari angin segar. Kelas Unggulan 1 saat ini sedang jam kosong karena guru yang seharusnya mengajar sedang menghadiri rapat. Reynand, laki-laki itu membantu Bu Tari membereskan buku di majelis guru. Seperti biasa, selalu Reynand orang yang disuruh.

Abila duduk di taman belakang sekolah. Memandang lurus ke depan. Pandangannya tampak kosong. 

"Semakin aku mencoba untuk ikhlasin kamu sama Reynand, semakin hati aku menyimpan rasa yang dalam untuk Reynand, Ka. Rasanya susah banget buat lupain dia," monolog Abila.

"Abila."

Abila menoleh ke belakang. "Iya?"

"Kenalin, gue Renal dari Kelas Unggulan 3."

Abila tersenyum simpul. "Salam kenal. Seperti yang lo ketahui, gue dari Kelas Unggulan 1."

Renal menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Lantas, ia duduk di sebelah Abila. 

"Sebenarnya, tujuan gue kesini mau nyatain perasaan gue, Bil. Hmm ... gue tahu kita baru kenal, tapi gue gak bisa bohongin perasaan gue sendiri. Gue suka sama lo, Abila. Gue kagum sama keberanian lo di kantin waktu itu. Lo cewek pertama yang berani ngelawan anak-anak Aodra. Gue sebagai cowok otomatis salut dan kagum sama keberanian lo, Bil. Selain itu, lo juga pinter. Baru masuk ke sekolah ini, tapi langsung masuk ke kelas unggulan. Ya ... gitu aja, sih. Gimana kedepannya, itu tergantung lo. Gue cuma mau lo tahu aja, kok, kalau gue punya rasa sama lo."

Abila terkejut bukan main. Mendadak suasana menjadi canggung. "Gu—gue ... hmm, sebelumnya makasih karena lo suka sama gue dan berani nyatain perasaan lo secara langsung kayak gini. Gue hargai banget keberanian lo itu, tapi maaf, Ren. Gue gak bisa balas perasaan lo."

Renal tersenyum simpul. "Iya, gak papa, kok. Gue berharap lo selalu bahagia, dan bisa dapetin orang yang lo suka, ya, Bil. Gue akan selalu dukung lo, kok."

"Makasih banyak, Renal."

Renal berdiri dan berlalu pergi. Sedih, itu pasti. Namun, cinta tidak harus memiliki, bukan?

Abila menghela napas panjang. "Ternyata sama aja, disekolah ini juga ada yang suka sama aku. Kenapa, Tuhan? Kenapa Bila harus terkalahkan sama cewek gadis itu?"

"Ehem!"

Deheman seorang cowok membuat Abila terlonjak kaget. Ia tahu betul siapa pemilik suara itu. Benar saja, Reynand baru saja duduk di sebelah gadis itu.

"Belum bisa move on, hm? Yang tadi ... lo tahu pacar gue itu Gina? Siapa yang kasih tahu? Dia?"

Abila menggeleng pelan. "Gue gak sengaja liat lo sama Gina di taman. Dari perlakuan kalian, gue tahu kalau orang yang lo maksud adalah Alaska."

"Maaf. Asal lo tahu, satu-satunya manusia yang mau berteman sama gue di sekolah ini cuma dia. Jadi bukan hal aneh kalau gue jatuh cinta sama Gina. Terlebih lagi, dia itu cantik, baik, lemah lembut, bertanggung jawab lagi."

"Terus aja, Nand. Terus aja puji-puji pacar lo itu di depan gue. Apa lo gak sadar kalau gue itu cemburu, s*al*n!" batin Abila.

"Kalau kata gue, dia itu definisi hampir mendekati sempurna. Kekurangannya cuma satu, kok, dia terlahir sebagai gadis biasa. Sisanya, she's perfect," sambung Reynand tanpa memikirkan perasaan Abila.

"Iya. Gue setuju sama semua yang lo omongin, Nand. Gina memang sepantas itu untuk dicintai sama lo," jawab Abila, "gue ke kelas duluan, ya."

Reynand mengangguk samar. Setelah kepergian Abila, dia tetap di taman. Memandang ke depan, dengan tatapan kosong. "Maaf, Bil. Cuma dengan cara ini gue bisa bikin lo benci sama gue."

"Ssst," lirih Reynand seraya memegang perut sebelah kanan, "jangan sekarang, Ya Allah."

Laki-laki itu merintih kesakitan. Ia terus memegang perut bagian kanannya. "Jangan di sini, Ya Allah. Sakit...."

Reynand berdiri lalu jalan tertatih-tatih menuju toilet sekolah. Hanya tempat itu yang aman untuk dia membebaskan segala rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Sesampainya di toilet, Reynand duduk di WC yang sudah ditutup. Ia menggigit bibirnya untuk meminimalisir suara rintihan. Setetes air mata jatuh membasahi pipi Reynand. Rasanya sangat-sangat sakit. Bisa kalian bayangkan sesakit apa Reynand sekarang?.Dengan tubuh yang sangat lemah, Reynand berdiri. Dia harus balik ke kelas. Jam pelajaran Bu Revita sudah dimulai. Guru Biologi itu sangat galak. Bisa-bisa Reynand diamuk karena masuk terlambat.Reynand melangkahkan kakinya dengan berat. Ia sedang mencoba mati-matian untuk menormalkan mimik wajahnya. Rasa sakit itu masih terus menggerogoti tubuh Reynand.Reynand menghela nafas lega setelah melihat Bu Revita belum masuk ke kelas. Lantas, ia duduk di sebelah Alaska dan bersandar di bangku.

"Kamu dari mana aja, Nand?"

"Bukunya tadi berantakan banget, Gina. Jadi lama, deh, beresinnya."

Gina mengangguk paham. "Muka kamu kenapa pucet banget? Sumpah, ini kamu beda banget, Reynand. Kamu sakit?"

Reynand menyunggingkan senyumnya. "Aku gak papa, kok. Cuma gak enak badan aja."

"Kalau gitu besok gak usah sekolah. Istirahat di rumah, supaya sakitnya gak tambah parah."

"Gak bisa gitu, dong, Ka. Aku harus selalu melindungi kamu. Bisa-bisa Vanya bully kamu lagi pas aku gak ada."

"Kamu itu lagi sakit, Nand. Gak boleh maksain diri. Aku bisa, kok, jaga diri aku sendiri."

"Aku liat besok, ya. Kalau sakitnya parah banget aku izin gak masuk, tapi kalau gak terlalu parah aku tetap masuk. Oke?"

"Oke."

Reynand tersenyum simpul. Ia mengambil tangan Gina lalu menggenggamnya. Tangan keduanya terpaut di tengah-tengah mereka, sehingga tidak ada yang sadar akan hal itu. Lihatlah betapa bucinnya Reynand dan Gina. Padahal laki-laki itu sedang menahan sakit. Mungkin, berpegangan tangan Gina dapat menghilangkan sedikit rasa sakit di tubuh Reynand.

"Tuhan, jangan ambil Rey dalam waktu dekat ini. Rey masih harus menjaga gadis cantik ini. Gak ada yang sayang sama dia selain Rey."

Bersambung