Sepanjang perjalanan menuju tempat pertemuan Aleena dan Evano, Aleena tak berhenti berdoa. Ya, doa keselamatan. Aleena yakin jika Evano melihatnya bersenang-senang dengan kedua sahabatnya. Bisa dipastikan Evano akan marah kepada Aleena.
Aleena meratapi nasib sialnya, jika boleh waktu diulang, Aleena tidak akan mau pergi ke mall. Niat jalan-jalan ke mall adalah untuk bersenang-senang, bukan mengantarkan nyawa kepada Evano.
"Huh, sial sekali saya. Bisakah waktu diulang? Rasanya menyesal sekali menerima ajakan Hanum dan Faraya," gumam Aleena.
Kini langkah Aleena sudah berhenti di lantai paling atas, Aleena melihat ke kiri dan ke kanan, mencari ruang operator yang disebutkan oleh Evano.
Aleena melihat ada seorang satpam yang sepertinya sedang bertugas. Letak ruang operator ini tak jauh dari bioskop, jadi, Aleena tidak akan terlalu lama nantinya untuk menyusul kedua sahabatnya. Aleena berjalan menuju satpam tersebut, berniat untuk menanyakan ruang operator yang dimaksud.
"Pak, ruang operator dimana, yah?"
"Ruang operator? Anda mau melakukan apa, Nona? Mau cek CCTV? Barang anda ada yang ketinggalan?" tanya satpam tersebut.
"Oh, tidak. Saya ada janji."
"Janji?"
'Duh, bagaimana yah bilangnya? Apa bilang bertemu dengan Tuan Evano? Apakah aman?' pikir Aleena yang terdiam.
"Hm, Tuan Evano."
"Oh, anda mau bertemu dengan Tuan Evano?"
"Ya, begitu. Apa Tuan Evano ada disana?"
"Kenapa tidak ngomong langsung, Nona? Anda terlalu banyak berpikir. Ayo, saya antarkan kepada Tuan Evano, jangan khawatir, selama berhubungan dengan Tuan Evano, itu aman dan tidak ada yang bisa mengetahuinya," ucap satpam tersebut seolah mengerti dengan pikiran Aleena.
Aleena hanya tersenyum menanggapi ucapan satpam tersebut, sambil mengikuti langkah kakinya yang menuju ke ruangan paling ujung dan tidak terlalu besar.
"Silahkan masuk, Nona. Tuan Evano ada di dalam sana," ujar satpam saat dirinya menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah ruangan paling ujung.
"Hm, baiklah. Terima kasih sudah mengantarkan saya," ucap Aleena.
Satpam tersebut mengangguk kecil lalu pergi begitu saja dari hadapan Aleena. Aleena terdiam, sedikit memikirkan kenapa satpam tersebut seolah sangat menjaga Tuan Evano. Buktinya dia mengatakan jika selama berhubungan dengan Tuan Evano, maka akan aman dan tidak ada yang mengetahuinya.
Aleena tersadar, pikirannya kali ini sama sekali tidak penting, ada yang lebih penting, yaitu berhadapan dengan orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Seolah sedang menenangkan diri disaat ingin masuk ke kandang macan, ya, begitu rasanya.
Aleena menghela nafasnya perlahan, mengontrol rasa takutnya dan berusaha untuk lebih tenang untuk berhadapan dengan Evano.
Dengan pelan, Aleena mun membuka pintu.
Krek!
Pintu terbuka dengan pelan, Aleena langsung bisa menemui Evano yang sudah ada di dalam, seorang diri, seolah sudah menunggu kehadiran Aleena.
"Masuklah, disini hanya ada saya dan kamu. Pembicaraan kita akan lebih terjaga dibandingkan mengobrol di meja steak mahal," ucap sindir Evano.
Aleena pun melangkah dengan perlahan, mencoba mendekati Evano dengan tubuh yang bergetar. namun sebisa mungkin Aleena tidak menunjukkannya di depan Evano.
Aleena menghentikan langkahnya tepat di hadapan Evano yang tengah duduk di sebuah kursi dan di depannya ada meja yang menghalangi jarak mereka.
Evano langsung melihat ke arah jam yang ada di tangannya. Mengerutkan dahinya lalu menatap lekat ke arah Aleena yang ada di depannya.
"Lewat 10 menit dari perjanjian pertemuan kita hari ini. Saya seolah menyesali mengajak kamu untuk bekerja sama, Aleena," ketus Evano.
Aleena yang mendapat ucapan ketus dari Evano, seketika langsung menundukkan kepalanya. Seolah menyerahkan semua keadaan kepada sang pengendali hati umatnya.
"Maaf." Satu kata itu yang hanya bisa dikeluarkan oleh Aleena saat ini. Ya, dia seolah tidak mampu menjelaskan lebih banyak kata lagi karena rasa takutnya membawa Aleena ke arah diam.
"Kenapa kau tidak mengangkat telepon saya?" tanya langsung Evano.
"Hah? Oh, saya tidak melihat panggilan anda," jawab spontan Aleena.
Evano langsung tersenyum sinis, wanita yang ada di hadapannya ini memang sedang bermain-main dengannya.
"Kau tengah membohongi saya, Aleena?"
Aleena langsung menyesali ucapannya barusan. Tentu saja Aleena menyadari jika Evano melihat semua kegiatan Aleena dari kejauhan, hanya saja Aleena tidak mengetahui di sisi mana Evano berada saat ini.
'Aleena, lebih baik kamu diam saja. Ucapan kamu tentu saja tidak membuat kamu dalam kondisi baik-baik saja, malah sebaliknya, ucapan kamu justru membuat kamu dalam kondisi yang berbahaya,' batin Aleena menyalahkan dirinya sendiri.
"Maaf, Tuan. Tadi saya lagi makan. Tidak sebaiknya makan sambil berbicara, bukan?"
"Tapi, kau sedang makan steak mahal sambil tertawa bahagia dengan teman-temanmu. Apakah itu baik?"
Aleena terdiam mendengar ucapan Evano. Seolah tidak dapat lagi mengelak. Lebih baik diam, bukan?
"Kau bersenang-senang dengan uang saya, Aleena?" tanya Evano lagi setelah keheningan antara mereka berdua tercipta.
"Tidak," jawab spontan Aleena.
"Bohong. Saya tahu betul bagaimana keuangan kamu, Aleena. Makan direstoran mahal, mungkin setara dengan gajimu satu bulan, bukan? Jadi, kamu pasti tidak akan mampu makan disana jika hanya mengandalkan uang gaji kamu dari bekerja di restoran."
'Hah? Dia mempertidak sekali. Memangnya saya semiskin itu? Tapi, memang tidak bisa dipungkiri jika saya makan menggunakan uang yang diberikan oleh Tuan Evano untuk makan steak dan juga mentraktir Hanum dan Faraya, tapi apa itu salah? Kan uang itu sudah diberikan kepada saya, artinya uang itu sudah menjadi milik saya,' pikir Aleena.
Aleena hanya berdiam lagi, ucapan Evano kadang membuat hatinya sakit, tapi, memang sudah seperti ini, bukan? Orang yang miskin akan terus tertindas oleh orang kaya yang suka semena-mena. Begitu pikir Aleena yang tidak ingin memperpanjang masalah.
"Satu bulan lamanya saya tidak memberikan perintah apapun kepadamu, berharap kamu bisa menyelesaikan sendiri, tapi, ternyata kamu tidak melakukannya sama sekali. Malah kau asik jalan-jalan dengan sahabatmu dengan menghabiskan uang yang saya berikan kepadamu, padahal kamu belum melakukan pekerjaan dengan benar, tapi kau sudah mau menghabiskan uangnya dengan segera. Kau anggap pekerjaan ini seperti main-main, Aleena?"
"Bukan, maksud saya, tidak seperti itu, Tuan Evano. Sama sekali saya tidak memposisikan pekerjaan anda itu main-main. Saya hanya sedang mempersiapkan rencana," ucap Aleena mengasal.
"Satu bulan mempersiapkan rencana? Apa kau sudah tidak waras? Jika selama itu merencanakan rencana selanjutnya, mau berapa tahun kamu melaksanakan pekerjaan yang saya berikan? Hah?" Kali ini, nada bicara Evano seolah semakin tinggi. Secara reflek, Aleena mengaitkan kedua jari jemarinya agar sedikit bisa mengusir rasa takut yang semakin lama semakin meninggi.
"Tuan, ini bukan pekerjaan yang mudah, bukan? Semuanya butuh pertimbangan yang matang. Saya tidak ingin sampai mengorbankan nyawa saya seperti yang anda lakukan kepada saya waktu acara pemeran."
"Lalu, apa kau sudah menemukan rencana selanjutnya?"