Chereads / Revenge in Marriage / Chapter 11 - Khawatir Ardan

Chapter 11 - Khawatir Ardan

"Hei, siapa namamu?" teriak Aslan.

Aleena kini sudah menjauhi mobil Aslan. Tentu saja, Aleena tidak ingin Aslan sampai melihat kontrakannya yang sangat sederhana itu. Malu. Ya, itu yang ada dipikiran Aleena. Kontrakan yang penuh dengan kesederhanaan, tentu saja sangat berbeda dengan rumah milik Aslan, yang mungkin sangat besar.

"Aleena," jawab Aleena.

Tubuh Aleena kini telah menghilang dari penglihatan Aslan. Entah kemana tubuh itu, namun Aleena tiba-tiba saja menghilang begitu saja disaat banyaknya orang yang melewati gang sempit itu.

"Aleena, yah?"

Kini, Aslan melajukan mobilnya menjauhi gang tempatnya menuruni Aleena. Entah ini sebuah kisah baru antara Aslan dan Aleena atau bukan. Tapi yang jelas, timbul rasa penasaran dalam hati Aslan kepada Aleena.

Beberapa hari berlalu, Aleena sengaja meminta izin kepada Ardan agar bisa istirahat di kontrakan kecilnya. Ya, memang Aleena tidak kenapa-kenapa, hasil pemeriksaan rontgen pun menyatakan jika tidak ada tulang ataupun yang patah. Aleena baik-baik saja, namun masih sedikit pusing. Untungnya, Ardan mengizinkan Aleena untuk beristirahat di rumah untuk beberapa hari.

Hari ini, Aleena merasa jika tubuhnya sudah sangat membaik, itu artinya, Aleena bisa pergi ke restoran untuk menjalankan tugasnya sama seperti biasanya.

"Aleena, kau sudah membaik?" tanya Ardan yang mendekati Aleena.

"Pak Ardan, saya sudah lebih membaik kok."

"Baguslah. Jika memang masih pusing atau masih sakit, kau bisa pulang ke rumah terlebih dahulu dan beristirahatlah."

"Tidak. Kondisi saya sudah jauh lebih membaik, Pak. Tidak usa khawatir."

"Baguslah. Saya benar-benar panik karena lampu itu tiba-tiba jatuh ke tubuh kamu."

"Musibah memang tidak tahu dimana dan kapanpun, Pak."

"Kau benar, maka dari itu kita harus siap kapanpun itu."

Aleena tersenyum sambil mengangguk kepada Ardan. "Aleena."

"Ya?"

"Jika kau lelah, istirahatlah. Jangan memaksakan diri untuk bekerja. Masih banyak pelayan yang lain yang bisa mengerjakan tugas kamu. Hanum dan Faraya juga pasti akan membantu kamu."

"Iya, Pak. Mereka pasti akan membantu saya, kok. Tidak usa khawatir sama sekali. Dokter pun sudah mengatakan jika tidak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan. Jadi, anda bisa tenang, Pak."

"Baguslah, kalau begitu kau bisa bekerja dengan baik. Saya akan mengurus laporan keuangan restoran."

"Baiklah."

Aleena dan Ardan kini saling berpisah dan melanjutkan tugas mereka masing-masing. Aleena pun sudah bisa melangkah dengan lincah. Pusing kepalanya tidak terlalu terasa. Jam berlalu begitu saja.

Kini, tiba pukul 2 siang, Aleena, Faraya dan Hanum kini sedang beristirahat sambil makan siang. Banyaknya pengunjung pada jam makan siang, membuat mereka tidak bisa meninggalkan pengunjung yang datang.

"Aleena, kau tidak apa-apa, kan?" tanya Hanum.

"Maksudnya?"

"Masih pusing atau bagaimana?"

"Oh, tidak, kok. Sudah lebih membaik. Saya rasa obat Dokter yang bernama Kevan itu sangat manjur."

"Oh Dokter ganteng itu?" tanya Faraya.

Aleena mengerutkan dahinya mendengar ucapan Faraya.

"Dokter ganteng?"

"Iya, dokter ganteng. Kan memang dia ganteng, kan?"

"Hei, kenapa kau genit sekali?" Hanum langsung menyenggol tangan Faraya.

"Siapa yang genit? Saya cuman bilang dia ganten. Wajar, kan? Kan memang dia ganteng. Masih untung mata saya ini normal dan bisa mengatakan dia ganteng."

"Iya, saya tahu itu. Tapi, rasanya tidak pantas kamu mengatakan itu."

"Sudahlah, kalian berdebat tidak ada gunanya sama sekali," ucap Aleena.

"Iya, kau ini menyebalkan sekali! Saya hanya bilang dia ganteng, kok," ucap kesal Faraya.

"Oh iya, Aleena, saya masih bingung sama Tuan Aslan, kok bisa dia mengantarkan kamu?" tanya Faraya.

Aleena menatap kearah Faraya dengan sangat lekat. Pertanyaan dengan nada kecurigaan kini berhasil keluar dari mulut Faraya langsung. Entah apa yang dipikirkan oleh Faraya saat bertanya seperti itu. Dan, wajah Hanun pun seolah sedang menunggu jawaban sama halnya dengan Faraya.

Aleena menghela nafasnya perlahan. 'Mereka mengharapkan apa dari jawaban saya?' batin Aleena.

"Aleena, kok kamu diam sih?" Kali ini, Hanum benar-benar menunjukkan jika mereka sedang menunggu jawaban Aleena.

"Ya bisa lah, kan itu acaranya yang diselenggarakan oleh Tuan Aslan dan beberapa pengusaha. Saya mengalami kecelakaan karena kelalaian pada acara dia, kan? Jadi, wajar saja dia sangat perhatian. Kalau saya sampai mati saat itu, pastinya akan membahayakan karir mereka," jelas Aleena mengasal.

"Oh. Jadi, bukan karena kalian ada hubungan?" tanya Faraya.

"Saya kira juga kamu ada hubungan dengan Tuan Aslan, Aleena," ujar Hanum seolah mengikuti kecurigaan Faraya.

"Hei, kalian ini berpikirnya kejauhan. Saya dan Tuan Aslan itu tidak mengenal satu sama lain. Bahkan, pertama kali berdekatan itu waktu di restoran pas saya menumpahkan air minum ke jas nya. Setelah itu, kami tidak memiliki hubungan apapun lagi."

"Hm, begitu yah."

"Kau berharap apa, Faraya?"

"Ah tidak, saya hanya sedikit melihat kalian ada hubungan lebih."

"Hei, Faraya. Tapi, ucapan Aleena itu ada benarnya juga. Mungkin pikiran kamu saja itu yang terlalu luas. Saya juga melihat Tuan Aslan perhatian karena Aleena kecelakaan pada acaranya." Kali ini, Hanum sudah berpikir benar. Tidak mengikuti pikiran Faraya yang mencurigai Aleena lagi.

"Sudahlah, pikiran kalian itu terlalu luas. Saya dan Tuan Aslan tidak memiliki hubungan apapun. Bahkan, setelah dia mengantarkan saya, dia langsung pulang kok."

"Oh, begitu. Baiklah, jika kau sampai berhubungan dengan Tuan Aslan, jangan lupa kenalkan kenalkan teman Tuan Aslan kepada kamu, haha." Gelak tawa langsung terdengar dari mulut Faraya seraya memberikan kebercandaan kepada Hanum dan Aleena.

Aleena hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah temannya yang kadang aneh menurut Aleena. Faraya kini berjalan menjauhi Aleena dan Hanum.

"Aleena, maafkan ucapan Faraya yang mencurigai kamu, yah," ucap Hanum.

"Kenapa kamu yang meminta maaf?"

"Kadang, mulut Faraya suka tidak bisa dikontrol dengan baik. Ya, entahlah kenapa dia suka tidak berpikir dulu sebelum berbicara."

"Tidak apa-apa, Hanum. Lagi pula, kita kan sudah lama berteman, jadi saya pun sudah memahami karakter Faraya yang seperti itu."

"Baiklah, Aleena. Kalau begitu, saya duluan ke luar yah. Kasihan teman yang lainnya yang bekerja jika kita kelamaan disini. Mereka pasti kewalahan."

"Iya, kamu duluan saja. Saya mau ke toilet sebentar."

Hanum mengangguk perlahan lalu meninggalkan Aleena yang masih berdiam di dalam ruangan istirahat. Helaan nafasnya perlahan dihembuskan oleh Aleena seolah mencari ketenangan dari semua kejadian yang menimpanya.

'Baru berapa kali melakukan sesuatu, tapi rasanya saya sudah tidak kuat dan hampir mati,' batin Aleena.

Dret! Dret!

Ponsel Aleena kini bergetar. Dengan segera, Aleena mengambilnya dari tas yang selalu dia bawa.

Deg!

Kerutan di dahi Aleena langsung terlihat dengan jelas disaat melihat nama pemanggil telepon. Jantung Aleena langsung berdetak tak karuan. Entah kenapa, setiap berhubungan dengan penelpon ini, Aleena selalu dalam bahaya.

"Tidak bisakah membuat saya tenang paling tidak selama satu bulan saja," kesal Aleena.