Aleena masih menatap layar ponselnya yang memperlihatkan nama Tuan Evano. Seketika, jantung Aleena terasa sangat sesak. Setiap berbincang dengan Tuan Evano, Aleena memang tidak pernah tenang.
Sambil menelan salivanya dengan susah, kini Aleena menggulir tombol hijau di atas layar ponsel. Dan panggilan telepon berlangsung.
"Kau dimana?" tanya Evano langsung.
"Di restoran, Tuan. Ada apa?" tanya Aleena pura-pura tidak tahu.
"Kita harus berbicara sebentar. Kau keluar sekarang! Saya tunggu."
'Hm, saya juga ingin bicara dengan anda, Tuan. Rasanya ingin marah semarah-marahnya dengan anda saat ini. Bisa-bisanya mengancam nyawa saya demi kepentingan pribadi,' batin kesal Aleena.
"Kalau sekarang tidak bisa, Tuan. Ini hari pertama saya bekerja. Lagi pula, sebentar lagi saya akan pulang, jadi bisakah kita bertemu nanti?"
"Saya tidak punya banyak waktu Aleena. Kau izin dengan Ardan. Apapun alasannya, saya tidak peduli. Saya tunggu 15 menit lagi."
Panggilan telepon kini langsung berakhir. Seketika Aleena langsung kembali menghela nafasnya perlahan. 'Tidak bisakah membuat jantung saya aman, Tuan Evano? Kenapa senang sekali membuat saya gemetaran?' kesal Aleena lagi.
Aleena langsung mengganti pakaiannya, beruntungnya Aleena masih punya satu alasan untuk keluar dari restoran sebelum jam pulang. Berpura-pura sakit. Hanya itu yang bisa Aleena lakukan sekarang.
"Aleena, kau mau pulang?" tanya Ardan saat melihat Aleena keluar dari ruang istirahat dengan memakai pakaian biasa.
"Pak, bolehkah saya izin pulang? Kepala saya tiba-tiba sangat sakit. Mungkin karena sudah lama saya tidak bekerja."
"Aleena, tentu saja tidak masalah. Sedari tadi, saya sudah mengatakan, jika kamu boleh saja pulang dulu, tak usah menunggu waktu jam pulang."
"Terima kasih banyak, Pak. Anda memang bos yang sangat baik."
"Sama-sama, Aleena. Saya akan mengantarkan kamu pulang."
"Eh, tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri, kok. Tidak perlu mengantarkan saya."
"Hei, kau itu sedang tidak baik-baik saja, Aleena. Jika di jalan kamu kenapa-kenapa, bagaimana?"
"Pak, kontrakan saya tidak jauh dari sini, kok. Jadi, saya bisa pakai ojek online setelah itu sampai rumah paling 15 menit saja. Tidak perlu waktu yang lama. Lagi pula, di restoran ini banyak sekali pengunjung yang datang, tidak mungkin Bapak meninggalkan restoran."
Ardan terdiam, ucapan Aleena memang ada benarnya. Namun, melihat Aleena yang katanya sakit kepala, mana mungkin Ardan tega meninggalkan Aleena dan pulang sendirian.
"Aleena."
"Pak, tolong jangan memperlama saya pulang, yah. Saya benar-benar ingin pulang sekarang. Saya harap Bapak mengerti dan jangan mengantarkan saya pulang."
"Baiklah kalau begitu, Jangan lupa kabari saya jika kamu sudah sampai di rumah."
"Baiklah, terima kasih, Pak." Aleena tersenyum dan langsung meninggalkan Ardan.
Aleena keluar restoran dengan cepat, lalu, sedikit memperlambat langkah disaat dirinya sudah berada di wilayah parkiran.
Aleena melebarkan pandangannya melihat ke kiri dan ke kanan untuk mencari mobil milik Evano. Mobil hitam di ujung parkiran, kini, Aleena melihat mobil yang diduga milik Evano. Dengan langkah perlahan, Aleena mendekati mobil tersebut. Benar saja, jendela bagian kemudi terbuka sedikit. Wajah Evano terpampang jelas dari mata Aleena.
"Masuklah!"
Aleena mengangguk mengerti.
Kini Aleena sudah duduk tepat di samping Evano.
"Bagaimana?" tanya langsung Evano.
"Bagaimana apanya?" tanya Aleena.
"Rencana saya berjalan mulus? Kau dan Aslan menjadi lebih dekat, kan? Dia terlihat sangat perhatian kepadamu, bukan?"
Aleena menghela nafasnya perlahan seolah tidak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang ada di sampingnya itu. Bisa-bisanya, mengorbankan nyawa seseorang demi membalaskan dendam.
"Tuan, apa ada rencana yang lebih gila daripada ini?" tanya Aleena.
Evano langsung tertawa mendengar perkataan Aleena kepadanya. "Aleena, Aleena, kau hidup terlalu kuno. Hal semacam ini sudah sering terjadi."
"Yang saya tahu, kejadian seperti ini hanya di dunia perfilman dan juga dunia pernovelan. Saya rasa otak anda harus segera dibersihkan."
"Dunia lebih keras dibandingkan pikiran kamu, Aleena. Jika kamu bermain dengan lembut, tidak akan mendapatkan pengakuan dari dunia jika kau hebat."
"Menunjukkan kehebatan tidak harus dengan nyawa seseorang, Tuan Evano. Saya rasa otak anda lebih berkelas dibandingkan otak saya."
"Maka dari itu, otak saya yang lebih berkelas tentu saja berpikir dengan sangat rinci."
Aleena menghela nafasnya lagi. Tentu saja, Aleena tidak menyangka jika berhadapan dengan Evano bukan suatu hal yang mudah. Karakternya yang keras dan kuat serta berani membuat Aleena berada di kondisi tersulit.
"Otak yang berkelas namun minim hati nurani maksud anda?"
"Jaga ucapan kamu, Aleena. Kau adalah bawahan saya. Dan saya adalah atasan kamu. Apapun yang terjadi, tetap semuanya saya yang mengatur. Saya sudah membayar mahal untuk kinerja kamu. Tentu saja kamu tidak lupa itu, kan?"
Aleena tersentak mendengar ucapan Evano. Dari tadi, nada bicara Aleena sedikit meninggi. Ya, tentu saja karena Aleena geram kepada Evano yang seenaknya mempermainkan Aleena.
'Kenapa dapatkan uang itu sangat susah, yah? Menjadi orang kaya ternyata tidak semudah yang dibayangkan,' batin Aleena.
"Yang penting, kan kamu masih bisa bernafas dengan baik sampai saat ini. Itu sudah lebih dari cukup, bukan?"
"Tuan, saya tahu jika sampai saat ini saya masih bernafas dan saya bersyukur untuk itu. Tapi, tolong hargai saya, jangan membuat kondisi saya dalam kondisi yang sulit. Bermain dengan cara lembut tanpa mempertaruhkan nyawa seseorang. Saya rasa itu lebih baik daripada anda mengorbankan nyawa saya."
Senyuman sinis langsung tergambar oleh Evano. "Saya sudah memberikan waktu untuk kamu, tapi kamu tidak kunjung melakukan hal untuk mendekati Aslan. Kau menunggu apa, Aleena? Menunggu uang yang banyak untuk datang kepada kamu? Saya sudah membayar mahal, dan kamu tidak bekerja apapun. Yang rugi siapa? Saya, bukan? Saya ingin semuanya segera terlaksana."
"Saya tahu, Tuan. Tapi, saya harap anda tidak melibatkan nyawa saya. Saya masih ingin hidup lebih lama lagi."
Evano menghela nafasnya perlahan. Apa yang dilakukan oleh Evano memang salah. Mengorbankan nyawa Aleena. Untungnya, lampu sorot itu terjatuh tidak pada kepala Aleena, jika jatuh di kepala, mungkin kondisi Aleena lebih parah dari sekarang.
"Dendam saya juga belum terbalaskan, Aleena. Itu artinya, saya tidak mungkin membunuh kamu secepat itu."
Aleena tersentak mendengar ucapan Evano kepadanya. 'Apa artinya jika dendam terbalaskan lalu Tuan Evano akan menghabisi saya?' batin Aleena.
Aleena menelan salivanya dengan susah payah. "Saya akan mencoba melakukan sesuatu yang tidak akan membuat nyawa saya atau pekerjaan saya dalam bahaya. Tapi tolong, berikan saya waktu untuk memikirkan semuanya dan melakukannya."
"Baiklah, saya berikan kamu satu minggu untuk melaksanakan langkah selanjutnya. Aslan sudah mulai menyadari kehadiran kamu, jangan sampai semua itu menghilang beriringan dengan kamu yang tak lagi muncul di hadapan Aslan. Apa kau mengerti Aleena?"