Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu terdengar sangat nyaring. Aleena yang sedari awal tertidur nyenyak, tiba-tiba terbangun dan merasa kesal dengan suara yang sangat menjengkelkan itu.
Ya, siapa pun yang sedang tidur dan dibangunkan dengan cara seperti itu pastinya akan kesal. Begitupun dengan Aleena.
Aleena berdiri dari tidurnya, dengan mata yang masih mengantuk, Aleena membukakan pintu kamarnya. Kini, kedua sahabatnya sudah berdiri tepat di depan Aleena.
"Aleena, kau tidak apa-apa?" tanya Faraya dan Hanum dengan nada khawatir disaat melihat wajah Aleena dihadapan mereka.
"Hah?"
Aleena yang masih mengantuk, tentu saja tidak bisa berpikir dengan baik. Pertanyaan kedua sahabatnya tentu saja aneh bagi Aleena karena dirinya sama sekali tidak kenapa-kenapa.
"Kau sakit, kan?" tanya Faraya seolah menyakitkan kekhawatiran mereka.
Aleena tersentak. Mengingat jika dirinya yang meminta izin pulang cepat karena sakit, nyatanya sakit itu tidak ada. Aleena pulang lebih awal karena ingin mengobrol terlebih dahulu dengan Evano yang sudah menunggu di depan restoran.
"Hah? Hm iya, tadi saya sedikit pusing. Tapi, tidak apa-apa, kok. Saya sudah sembuh," jawab Aleena gugup.
"Kalau kau sakit, harusnya kau memberitahu kami, Aleena. Kita kan tinggal di kontrakan yang sama walaupun berbeda kamar, tapi, bukan berarti kamu bisa menyembunyikan sesuatu dari kami. Ayolah! Kami ini sahabat kamu," ucap Faraya.
"Hm, kalian berlebihan. Saya ini bukan sakit yang tidak bangkit ataupun tidak bisa melakukan apapun. Hanya pusing sedikit setelah itu saya pun akan sembuh."
"Mau kamu sakit parah atau sakit ringan, kami ada kewajiban untuk merawat kamu. Itulah cara berteman yang baik dan benar." Kali ini, Hanum yang berbicara.
Mereka berdua seolah sangat kompak menyalahkan Aleena yang tidak pernah mengabari tentang kondisinya kepada para sahabatnya. Namun, Aleena bukan tipe orang yang senang merepotkan orang lain. Aleena memiliki prinsip, jika bisa dikerjakan sendiri, kenapa harus dikerjakan oleh orang lain.
'Mereka berlebihan sekali. Saya bukan mau mati, kok. Kenapa berperilaku seolah saya sudah sekarat,' batin Aleena.
Aleena menghela nafasnya dengan perlahan. Menatap kedua sahabatnya yang masih dengan wajah ketegangan dan kecemasan. Terlihat aneh, orang yang mereka cemaskan itu sebenarnya sama sekali tidak sakit. Semua hanya berpura-pura. Tapi mungkin, mereka terlalu sayang kepada Aleena sehingga mereka khawatir seperti ini.
"Aleena, kita kan sudah berteman dengan baik sedari dahulu, jadi, tidak ada salahnya kamu berbagi dengan kami. Apapun yang sedang mengganggu kamu, tolong katakan kepada kami," ucap Hanum.
Kali ini, Hanum sedikit lebih lembut. Mungkin Hanum sudah menyadari jika sikapnya yang mendesak Aleena, membuat Aleena tidak nyaman.
"Terima kasih, Hanum, Faraya. Kalian memang sangat baik. Tidak usah khawatirkan saya. Saya akan selalu merepotkan kalian jika memang saya membutuhkan kalian."
"Kami senang jika kamu merepotkan kami, Aleena. Jadi, jangan sungkan," jawab Hanum.
"Ya. Saya tidak akan pernah sungkan kok."
"Baiklah, kalau begitu, saya dan Faraya kembali ke kamar dulu, yah."
"Hm, silahkan." Aleena memberikan senyuman kepada Hanum dan Faraya yang beranjak dari hadapan Aleena.
'Kalian memang sangat perhatian, sangat susah mendapatkan sahabat seperti kalian ini,' batin Aleena.
Aleena menutup pintunya dengan rapat, kembali ke kasurnya disaat melihat jam baru menunjukkan pukul 5 sore. Masih ada waktu 1 jam untuk melanjutkan tidurnya yang belum puas.
***
Malam tiba, Aleena masih berdiam di kamar sedari tadi. Selesai makan bersama dengan Hanum dan Faraya di meja makan, Aleena langsung kembali ke kamarnya untuk mengistirahatkan kembali tubuhnya. Aleena memejamkan matanya sambil menghela nafasnya perlahan seolah mencari ketenangan, tapi, tidak kunjung mendapatkan ketenangan. Aleena memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar kontrakan. Mencari angin segar, mungkin saja bisa sedikit menenangkan Aleena malam ini.
Kini, Aleena duduk di kursi depan rumah, tepatnya di bawah pohon. Tempat ini adalah tempat favorite Aleena ditengah dirinya yang sedang menggalau ria. Benar saja, angin segar yang menerpa tubuh Aleena dengan sangat lembut, nyatanya bisa membuat Aleena sedikit lebih tenang.
Aleena kembali berpikir tentang pekerjaan yang dia ambil dari Evano. Sangat beresiko. Terutama bagi nyawa Aleena sendiri. Selain nyawa, pekerjaan tersebut juga mengancam psikologis Aleena. Ya, tidak bisa dipungkiri jika Aleena mulai merasa gila.
"Bagaimana? Saya harus lanjut atau terus?" ucap Aleena seorang diri.
"Ah, sayangnya saya tidak punya pilihan lanjut atau terus. Karena saya hanya punya pilihan lanjut. Saya harus tetap melanjutkan semua itu, kalau tidak, saya tidak tahu harus bagaimana untuk membayar. Saya merasa bodoh disaat tidak memikirkan semuanya dengan matang-matang. Kini, penyesalan yang hanya tersisa di dalam diri saya," lanjut ucap Aleena.
"Kau sangat sering disini, Nona?" tanya seseorang yang tiba-tiba mengejutkan Aleena.
Aleena menatap ke arah sumber suara lelaki. Ya, Aleena mengenal lelaki itu. Lelaki yang sering mengganggu Aleena dengan kejahilannya. Dia adalah Haris. Tetangga Aleena yang memiliki pekerjaan sebagai pelukis.
"Kenapa kau kesini? Apa tidak bosan hidupmu mengganggu saya terus?" tanya Aleena.
"Tidak ada yang membosankan dari melihat dirimu, Aleena. Kau bagai bulan yang menerangi gelapnya malam saya." Haris memang senang memainkan bahasa-bahasa yang pastinya membuat perempuan langsung jatuh hati kepadanya. Namun, tidak dengan Aleena. Aleena cenderung cuek, dan tidak mempedulikan Haris.
Bukan tanpa sebab, Aleena sangat paham bagaimana otak lelaki seperti Haris ini bekerja. Memainkan perasaan wanita dan setelah itu ditinggalkannya. Aleena sudah pernah bertemu dengan lelaki seperti itu, Ya, itu sangat menyakitkan. Aleena tentu saja tidak ingin kembali memiliki hubungan dengan lelaki seperti itu.
"Kalau kau hanya ingin menggombal, sepertinya salah alamat, Tuan Haris yang terhormat yang paling disanjung dari warga sini," ucap ketus Aleena.
"Haha, tidak ada yang disanjung disini, Aleena. Semuanya sama."
Haris memang sering disanjung dari warga sekitar sini karena prestasi melukisnya yang sangat luar biasa. Namun, ada sesuatu yang bisa dicontoh oleh Haris. Sikapnya yang sangat baik kepada orang tua dan juga tidak pernah membanggakan secara berlebihan prestasi yang dia dapatkan. Buruknya dari Haris hanya sering mempermainkan wanita yang mendekatinya.
"Hm, iya," jawab Aleena seolah menghentikan pembicaraan lanjutan. Baik Aleena dan Haris, keduanya sama-sama terdiam. Keheningan seolah tercipta, namun, Haris seolah tidak kehabisan ide untuk mengobrol dengan Aleena.
"Aleena."
"Ya."
"Bagaimana dengan pertanyaan saya malam itu?"
Aleena langsung menatap letak ke arah Haris sambil memikirkan pertanyaan apa yang dimaksud oleh Haris. Kerutan di dahi Aleena tentu saja langsung tercipta. Aleena benar-benar lupa, pertanyaan apa yang dimaksud oleh Haris. Sepertinya, tidak pernah ada pertanyaan penting yang ditanyakan oleh Haris kepada Aleena.
Haris menghela nafasnya perlahan. "Sudah saya duga, kau pasti lupa, Aleena. Mungkin memang terdengar tidak penting."