Chereads / Revenge in Marriage / Chapter 15 - Kecewa Haris

Chapter 15 - Kecewa Haris

Aleena masih terdiam di tempat yang sama seperti sebelumnya. Menatap kepergian Haris begitu saya. Goresan kekecewaan, tampak nyata dari wajah Haris. Ya, Aleena menyadari jika apa yang keluar dari mulutnya itu sudah menyakiti hati Haris. Namun, Aleena pun tidak sengaja mengatakan semua itu. Bukan ingin menyakiti Haris, tapi Aleena tidak ingin jika Haris terus menerus mengharapkan Aleena yang jelas-jelas tidak akan bisa mencintai Haris. Apalagi, sekarang ada pekerjaan yang menawarkan untuk mendekati Aslan. Tentu saja, Aleena tidak boleh berhubungan dengan lelaki manapun untuk melancarkan aksinya itu.

"Maaf, Haris, saya tidak bermaksud menyakiti kamu. Tapi, jika kita mencoba berhubungan seperti berpacaran, itu jauh lebih menyakitkan karena kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan cinta saya, dan saya pun sama sakitnya karena saya berhubungan dengan orang yang bukan saya cintai," gumam Aleena.

Sementara itu, Hanum keluar dari rumah kontrakan. Menatap Aleena yang tengah terdiam menatap kegelapan.

Hanum menatap ke arah tatapan Aleena, namun dia benar-benar tidak menemukan siapa-siapa disana. Hanya dedaunan yang bergerak kesana kemari karena terkena angin malam yang sangat menyejukkan.

'Itu Aleena. Tapi, kenapa dia ada disana? Dan kenapa juga melihat ke arah jalanan yang gelap?' batin Hanum.

"Aleena? Kau disini?" panggil seseorang yang tiba-tiba menghampiri Aleena.

Aleena yang mendapatkan panggilan, tentu saja langsung membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke sumber suara panggilan itu.

"Hanum."

"Tadi saya mencari kamu di kamar, tapi tidak ada. Sudah bertanya Faraya, tapi Faraya saja sudah tidur."

"Faraya sudah tidur?"

"Iya. Mungkin kelelahan. Tapi, pintu kamarnya belum di kunci, sepertinya dia ketiduran, bukan sengaja mau tidur cepat."

"Oh," jawab singkat Aleena.

Hanum kini menatap wajah Aleena yang seperti ditekuk. Sangat berbeda dari biasanya yang sangat ceria dan bersemangat.

"Ada apa, Aleena?" tanya Hanum.

"Hah? Saya? Tidak ada apa-apa, Hanum. Memangnya kenapa?"

"Tidak, kau seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu. Kau ada masalah? Mau bercerita kepada saya? Barangkali saya bisa membantu kamu walau tidak banyak."

Hanum tentu menyadari ada yang tidak beres dengan Aleena. Tampak dari wajah Aleena yang seperti memikirkan sesuatu.

Aleena menghela nafasnya perlahan. Sebenarnya, Aleena tidak ingin mengatakan kepada Hanum, tapi Aleena pun ingin menceritakan semuanya kepada seseorang. Tidak mungkin dengan Faraya yang memiliki rasa kepada Haris. Jadi, bercerita kepada Hanum, itu adalah pilihan yang tepat. Aleena hanya berdiam diri dan asyik berpikir, tidak ada tanda-tanda dia akan berbicara dan menjawab pertanyaan Hanum.

'Ada apa dengan Aleena? Ada masalah? Tapi, keuangan dia tidak ada masalah apapun,' batin Hanum.

"Aleena? Kenapa?" tanya Hanum lagi disaat Aleena hanya bisa terdiam saja.

"Haris."

Hanum mengerutkan dahinya seolah tidak mengerti dengan ucapan Aleena yang hanya menyebut nama Haris.

"Haris? Ada apa dengan Haris?"

"Ada Haris."

Hanum langsung melebarkan pandangannya untuk mencari nama yang disebutkan oleh Aleena.

"Mana? Saya tidak melihat Haris? Apa kau salah liat?" tanya Hanum yang tidak melihat orang disekitar mereka.

"Ya, maksud saya tadi ada Haris kesini."

"Oh, bilang dong. Ada apa memangnya? Menggoda kamu lagi?" tanya Hanum.

"Saya memang belum cerita, Hanum. Dulu, Haris pernah mengatakan cintanya kepada saya. Lalu, dia menginginkan saya jadi kekasihnya, bahkan jadi istrinya."

"Bagus dong, kamu kan tidak memiliki pasangan, terus dia juga sama. Lalu, apa yang kamu permasalahkan?"

"Saya tidak memiliki cinta untuknya, Hanum."

"Hei, cinta itu akan muncul seiring berjalannya waktu. Kau juga sudah banyak bekerja, Aleena. Sudah sewajarnya jika kamu mencari lelaki untuk menjadi pendamping hidupmu itu."

Aleena menghela nafasnya perlahan. Ucapan Hanum terlalu gampang untuk diucapkan namun sangat sulit untuk dilakukan.

"Kau berbicara dengan asal, Hanum. Soal hati itu tidak bisa dipaksakan. Jadi, mana mungkin saya bersamanya."

"Saya sering membaca novel online, di sana sering dituliskan jika cinta itu akan muncul jika terbiasa. Dan novel-novelnya itu kebanyakan tentang perjodohan yang akhirnya menjadi cinta. Nah, itu bisa jadi kamu mengalami hal yang serupa, kan?"

"Hentikan imajinasi kamu itu. Hanum, kau tahu betul jika waktu sekolah dulu saya pernah ditertawakan oleh teman-teman kalau lukisan saya jelek. Saya sedikit trauma karena itu, jadi saya tidak bisa mendekati seorang pelukis."

Gelak tawa langsung terdengar oleh Aleena yang keluar dari mulut Hanum. Hanum benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Aleena.

"Dan kau mempermasalahkan itu, Aleena?"

"Ya, jelas. Tapi Haris mengatakan jika dia akan berhenti dari pekerjaannya yang melukis agar saya bisa menerima dia."

"Apa?" Hanum langsung membulatkan matanya.

"Saya tidak mengerti dengan isi otaknya itu, Hanum."

"Haris senekat itu?"

"Iya. Saya juga tidak mengerti."

"Aleena, dia seperti itu karena dia terlalu mencintai kamu."

"Hm, ya, saya tahu itu, Hanum. Tapi, saya tidak bisa membohongi hati ini. Banyak pertimbangan yang saya pikirkan. Kau tahu sendiri, memilih pasangan itu tidak boleh asal pilih. Lagi pula, umur kita yang sudah sangat tua ini, tidak direkomendasikan untuk bermain-main dalam mencintai seseorang," ucap bijak Aleena.

Hanum kembali tertawa, temannya ini seolah sudah jauh berubah. Ya, Aleena terlihat sangat jauh berubah menjadi lebih dewasa. Hanum merasakan itu.

"Aleena, mencari pasangan memang tidak semudah itu. Saya tidak menyangka, sekarang otak kamu sudah jauh berubah. Dari Aleena yang sedikit pecicilan, kini dia sudah sangat dewasa dan bijak dalam hubungan percintaan."

"Semua orang juga bisa berubah, Hanum."

"Ya, kau benar juga. Semua juga pasti berubah. Tapi, satu hal yang kamu harus tahu, Aleena. Haris adalah orang baik. Hanya otaknya yang sedikit sakit hingga suka mencari perempuan lain. Tapi, mendengar cerita kamu dan melihat sikap dia ke kamu, saya yakin jika denganmu itu dia sangat sungguh-sungguh."

"Iya, saya paham itu, Hanum. Namun, jangan memaksa. Sekali tidak tetap tidak. Hati saya tetap tidak bisa dengan Haris walau seribu kebaikan yang datang darinya."

Hanum menghela nafasnya perlahan. Ini sudah sangat malam, lebih baik menjauhkan diri dari perdebatan kecil dengan Aleena.

"Baiklah, terserah kamu bagaimana maunya. Semua keputusan yang kamu ambil, tentu saja kami mendukungmu. Anggap kami keluarga kamu."

"Terima kasih, Hanum. Kamu sudah menjadi sahabat yang baik. Hm, apa kau merasakan udara semakin dingin?"

"Ya, saya merasakan. Hari sudah semakin malam juga. Bagaimana kalau kita masuk ke dalam dan langsung tidur. Lagipula, besok kita harus bekerja lagi, jadi kita harus menyiapkan tenaga yang banyak untuk bekerja besok."

Aleena tersenyum dan mengangguk kecil kepada Hanum. Kini, kedua sahabat itu berjalan menuju ke rumah kontrakan kecil yang memiliki tiga kamar. Malam yang indah, berlalu begitu saja. Ada hati yang tidak tenang, dan ada hati yang tengah patah. Semua bercampur menjadi satu.