"Aleena Maiserin Diratama, apa memiliki banyak uang membuat kamu menjadi tuli?"
Aleena menelan salivanya dengan susah, tentu saja dia belum memiliki rencana apapun untuk Aslan. Selama satu bulan, Aleena sibuk mengurus diri sendiri untuk membahagiakannya. Seketika Aleena melupakan semuanya, bahkan sangat senang disaat Evano tidak menghubunginya sama sekali.
'Aleena, kau sudah bermain-main dengan harimau ternyata, nyalimu sangat besar juga,' batin Aleena yang membicarakan dirinya sendiri.
"Aleena, saya tidak pernah main-main!"
"Tuan, saya pun tidak main-main. Mana berani saya bermain-main. Hanya saja, selama satu bulan kemarin...hm..."
"Apa? Saya tidak menghubungimu selama satu bulan?" tanya Evano yang seolah mengerti dengan ucapan gugup Aleena.
Aleena mengangguk.
"Anda yang tidak menghubungi saya membuat saya sedikit memikirkannya dengan santai. Maaf. Memang saya salah, saya akui itu, Tuan."
"Kau benar-benar sudah lancang, Aleena. Saya menyesal sudah mengajak kamu kerja sama. Ternyata kau sama sekali tidak profesional. Beda sekali dengan ucapan orang-orang yang sering membanggakan kamu. Hm, saya rasa mereka sudah diakali oleh tampangmu yang terlihat anak baik," ujar sindir Evano.
"Tuan, saya meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Sama sekali tidak ada niatan untuk melalaikan tugas yang anda berikan atau lain sebagainya, saya hanya memikirkan semuanya dengan baik. Tapi, sampai sekarang saya tidak menemukan cara untuk mendekati Tuan Aslan. Dia bukan orang yang sembarangan, Tuan. Tuan Aslan tidak akan mudah terpengaruh dengan wanita yang tidak memiliki status ekonomi yang sepadan dengan kalian."
'Hm, saya melupakan itu, seharusnya saya membayar wanita cantik dengan ekonomi yang tepat untuk membalaskan beban saya. Aleena benar, dia bukan apa-apa. Mendekati Aslan pastinya sangat sulit untuk ditembus,' batin Evano.
"Tapi, apa yang sudah kita mulai, tidak akan bisa dihentikan, Aleena. Kau bahkan sudah memakai uang saya, bukan?"
Aleena terdiam, kembali menelan salivanya dengan susah disaat ucapan Evano penuh dengan intonasi yang sangat menekan. Ya, Aleena menyadari memang sangat susah untuk menghentikan sesuatu yang sudah dimulai dengan perlahan.
'Sepertinya, Tuan Evano tidak akan bisa melepaskan saya begitu saja. Hm, baiklah, mungkin takdir saya memang seperti ini, tapi, saya harus berhati-hati, jangan sampai Tuan Evano membahayakan saya lagi,' batin Aleena.
"Saya mengerti, Tuan Evano. Apa yang sudah dimulai memang tidak akan bisa dibatalkan, semuanya harus dituntaskan dengan benar, bukan begitu, Tuan?"
"Ya. Saya memberikan kamu ruang, bukan untuk istirahat, Aleena. Tapi untuk kamu memikirkan rencana semuanya. Dengan baik. Tanpa ada kecurigaan dari Aslan. Jangan pernah macam-macam dengan saya, Aleena, itupun jika kamu masih ingin hidup dengan baik."
"Tentu saja saya masih mau hidup dengan baik, Tuan Evano."
"Kau harus ingat, jangan pernah memainkan saya. Saya benci itu. Lakukan apapun yang kamu inginkan dengan uang yang saya kasih, tapi tolong bekerja sama dengan baik."
"Pasti, saya akan merencanakan semuanya untuk mendekatkan diri pada Tuan Aslan."
Evano berdiri dari duduknya, dengan tatapan tajam, Evano menyipitkan matanya sambil menyelusuri tatapan Aleena, seolah mencari sebuah ketidakseriusan dengan Evano.
"Saya tidak akan segan mengambil uang saya kembali jika kamu masih tidak melakukan semuanya dengan benar. Disaat itu juga, saya pastikan jika hidup kamu akan menderita."
Aleena kembali menelan salivanya disaat mendapatkan ancaman dari Evano tanpa kenal jika lawan bicaranya itu adalah seorang wanita.
"Saya mengerti, Tuan."
"Baguslah, saya tidak perlu banyak penjelasan kalau begitu. Jangan pernah melupakan apapun yang sudah menjadi pekerjaan kamu. Siapkan rencana selanjutnya, saya akan memantau dari jauh. Untuk sementara, saya tidak bisa merencanakan sesuatu karena saya sedang banyak pekerjaan, jadi, kamu bekerja sama lah dengan baik!"
"Baiklah, Tuan Evano."
Mendengar jawaban Aleena yang terdengar dengan sedikit keyakinan, membuat Evano langsung meninggalkan Aleena tanpa sepatah kata.
Aleena langsung bernafas lega saat mendengar suara pintu telah ditutup. Itu artinya Evano sudah meninggalkan Aleena sendirian di ruangan ini.
"Aleena, ayo berpikir untuk selanjutnya bagaimana? Kau tidak boleh asal-asalan lagi, Tuan Evano tidak pernah bercanda dengan segala ucapan yang keluar dari mulutnya. Jadi, kau harus menjalankan pekerjaan ini dengan benar-benar," gumam Aleena.
Krek!
Pintu terbuka, memperlihatkan pria yang asing masuk ke dalam ruangan operator.
"Nona, Tuan Evano sudah keluar, apa anda ingin melakukan sesuatu lagi disini?" tanya seseorang yang tak lain adalah pak satpam.
"Eh, tidak, saya sudah mau keluar, kok. Terima kasih atas ruangannya, Pak."
"Sama-sama, Nona. Saya berdoa jika anda baik-baik saja," ucap pak satpam dengan senyumannya.
Aleena langsung mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Seseorang yang berhubungan dengan Tuan Evano. jika tidak menjalankan tugasnya, maka akan berakhir sia-sia, atau dalam artinya mati tanpa ditemukan jasadnya."
Aleena kembali mengerutkan dahinya tak mengerti dengan ucapan pak satpam yang terdengar sok tahu dengan hubungan Aleena dan Evano.
"Sudah banyak orang yang bertemu dengan Tuan Evano di ruangan ini, kemudian beberapa hari kemudian, dinyatakan sebagai orang hilang," lanjut pak satpam itu lagi.
Aleena menelan salivanya dengan susah kemudian menatap tajam kepada satpam yang berbicara sedari tadi.
"Saya hanya tidak ingin ada nyawa lagi, Nona. Jangan berpikiran jika saya menakutkan anda. Tapi, ini sebagai rahasia kita saja, yah. Jangan sampai ada yang mendengarnya."
"Ya. Terima kasih atas informasi anda, Pak."
"Sama-sama, Nona."
Aleena langsung beranjak dari ruangan menakutkan itu. Namun, di dalam hati Aleena masih teringat ucapan satpam kepadanya.
'Apa sebelum saya sudah banyak wanita yang diminta untuk membalaskan dendamnya? Dan semuanya gagal?' pikir Aleena.
Aleena menghela nafasnya dengan kasar, mencoba tidak memikirkan ucapan satpam tadi dan kembali bekerja tanpa melakukan kesalahan. Ya, saat ini hanya itu yang bisa dilakukan oleh Aleena yang bekerja seorang diri. Evano terlihat sedikit sibuk, jadi, jangan sampai Aleena membuatnya marah, atau hidupnya berakhir seperti yang diungkapkan oleh satpam tadi.
"Sudahlah, saya harus ke bioskop sekarang. Sudah 1 jam meninggalkan mereka, mereka pasti menunggu," ujar Aleena yang melangkahkan kakinya menuju ke bioskop. Jaraknya yang tidak terlalu jauh dari ruangan pertemuan Aleena dan Evano, membuat jalan Aleena tidak membutuhkan waktu yang lama. Aleena melihat ke kiri dan ke kanan begitu sampai di bioskop.
"Aleena," teriak seseorang.
Aleena langsung memutar tubuhnya, mencari sumber suara yang memanggilnya itu. Benar saja, Faraya dan Hanum sudah duduk di kursi tepatnya di depan ruang bioskop.
"Hai," sapa Aleena langsung.
"Kau lama sekali," ujar Faraya.
"Maaf, tapi filmnya belum mulai kan?"
"15 menit lagi mulai, tapi pintu sudah dibuka."
"Hm, baiklah, kalau begitu ayo kita langsung masuk saja biar nanti enak di dalam duduknya."
"Aleena, kau terlihat pucat, apa kau baik-baik saja? Atau kita pulang saja?" tanya Hanum.
"Saya? Baik-baik saja, kok. Mungkin karena sedikit dingin jadi saya terlihat pucat," ucap Aleena ngasal.
"Oke, baiklah, jika kau sakit, katakan, yah."
"Pasti."