Aku hanya bisa diam saat Mas Gerry pulang ke rumah. Tak bisa menampakkan senyuman, juga tidak mampu untuk berkata apa pun. Lagi-lagi dia mabuk lagi. Pasti perempuan jalang itu yang sudah membuatnya mabuk begini.
Mas Gerry sempat merangkulku, ingin menciumku. Aku buru-buru mengenyahkan kepalanya. Lalu berkata dengan begitu ketusnya. "Mas Gerry tidur saja. Sudah malam. Besok kerja dan nggak usah nakal-nakal malam ini!"
Dia hanya meraung kecil dan ambruk di tempat tidur. Aku pun membayangkan kalau aku berbagi dengan perempuan jalang bernama Emmely Belladona itu.
Aku bayangkan kalau Mas Gerry menciumnya, mencumbunya, juga melayangkan kalimat manis sebagaimana yang dia lakukan kepadaku. Semuanya ini membuatku sakit hati. Hatiku serasa koyak hanya dengan mengimajinasikan hal haram tersebut.
Pada malam itu, aku merasa pengap. Aku muak dengan kehidupan ini dan pergi ke apartemen Silvia. Tak peduli kalau gadis itu sudah tidur atau belum, yang penting aku perlu seseorang yang menjernihkan pikiranku.
Karena Silvia sudah tahu tentang keadaannya, mudah bagiku untuk menangis kepadanya. Kuketuk pintu apartemen Silvia dengan perlahan, karena tenagaku sudah habis mengingat perceraian dari Mas Gerry.
Gadis itu bertanya penuh dengan kehati-hatian, mengingat ini sudah malam. "Siapa?"
"Ini aku, Silvia... Kak Dinda..."
Ia langsung membukakan pintu untukku. Secepat kilat aku peluk tubuh Silvia begitu dia membukakan pintu. Aku menangis dan meraung di pelukan asisten penulisku yang sudah kuanggap adik sekaligus sahabatku sendiri.
Tanpa banyak bertanya, ia memelukku penuh dengan kasih sayang. Seakan dia tahu alasanku datang ke sini. Karena aku dikhianati, oleh suami yang selama ini begitu kupercayai.
* * *
"Apakah Mas Gerry nggak masalah kalau Kakak menginap di apartemenku?"
"Aku sudah mengirimkan pesan kepadanya kalau aku lembur mengerjakan naskah di apartemenmu. Toh setidaknya aku tidak berbohong, seperti dia."
Silvia mengangsurkan secangkir kopi kepadaku. Wajahnya masih memuat kekhawatiran kepadaku. Ja merasa empati dengan kondisiku.
Aku memberikan sebuah senyuman, jelas sebuah senyuman yang penuh dengan kepalsuan. "Aku bakalan bohong kalau bilang aku baik-baik saja. Tapi seenggaknya, aku masih bisa berpikir dengan waras kalau aku bersamamu. Aku takut kalau aku bunuh diri jika tidak berbicara dengan siapa pun."
"HUST!!! Masa kakak bilang begitu?! Hidup kakak masih jauh lebih berarti daripada mereka yang mengkhianati Kakak!!"
Perempuan muda ini sungguh melelehkan hatiku. Ia memelukku sekali lagi. Dengan penuh kehangatan.
* * *
Malam itu aku tidur nyenyak di tempat Silvia. Aku terbangun dengan suara telepon sialan yang berdering dari ponselku. Kujawab telepon itu dengan suara asal-asalan. Dan ternyata itu berasal dari suamiku yang keparat ini!
"Kamu ke mana? Kenapa kamu nggak ada di rumah?"
"Aku udah kirim pesan kalau aku pergi menyelesaikan lemburan naskah."
"Kamu di tempat Silvia?"
Aku mendengus. "Memangnya aku ke mana lagi kalau bukan di sini?"
"Kenapa kamu nggak bilang malam sebelumnya, jadi Mas bisa menginap dan lembur di kantor? Ada kerjaan yang menumpuk juga! Mas ini pulang karena ingin bermain denganmu!"
Cih. Menjijikkan sekali. Setelah dia menghabiskan waktu dengan Emmely di motel, dia bahkan tidak puas, dan ingin meniduriku juga?!
Lelaki ini penggila seks dan hanya memikirkan soal selangkangan wanita saja! Aku mendadak sangat jijik pada suamiku sendiri.
"Dinda! Kenapa kamu diam saja?! Bukannya kamu mestinya minta maaf?"
"Maaf? Aku tahu kalau aku pergi, tapi ini juga urusan mendadak, Mas." ketusku.
Lelaki itu mendesis. Seolah dia menyesal karena sudah pulang lebih dulu. Sebab apa? Apalagi kalau dia sebenarnya ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Emmely Belladona itu!!
"Ya sudah. Nanti sore kamu sudah harus pulang. Kita harus mengecek kandunganmu. Mengerti?"
"Hmm, ya." kataku serampangan sembari menutup telepon.
Lelaki yang bahkan tidak pantas dihargai itu, tidak sepatutnya lagi menjadi istri Dinda Kamelia, seorang wanita independen yang kaya raya.
'Tunggu saja pembalasanku, Mas. Kamu bahkan akan menderita. Aku akan nantikan dirimu berada di lubang neraka bersama dengan Emmely Bellandona, si Jalang sialan yang sedang hamil itu!!'
Aku pun segera menemui Silvia yang tengah membuatkan sarapan. Tak menahan amarahku, aku langsung menegaskan kepadanya. "Mulai saat ini, aku ingin membalaskan dendam kepada suamiku. Akan kubuat dia menderita dan bertekuk lutut di bawah kakiku sendiri. Aku bahkan tak sudi untuk tidur satu ranjang lagi dengan dia."
Lelaki pencinta seks yang gila! Bagaimana bisa selama ini aku dibutakan dengan perkataan kalau aku beruntung menikahinya?! Daripada beruntung, aku malah buntung!
* * *
Pada pagi itu, aku pergi ke kantor advokat untuk mengurus perceraianku. Aku mengatakan semuanya secara jujur pada pengacaraku.
"Bunga, aku ingin kamu mengurus perceraianku dengan dia. Aku sudah memberikan semua bukti kalau dia berselingkuh kepadamu. Termasuk testpack perempuan jalang itu. Aku ingin kamu memenangkan persidangan."
Bunga Westminster adalah salah satu teman kuliahku. Dia memiliki karier yang cemerlang dan tak terkalahkan di meja hijau. Meskipun aku malu untuk datang membawa berkas perceraianku, aku harus menggunakan jasa Bunga untuk menjatuhkan suamiku ke dalam neraka penderitaan.
"Apa yang kamu inginkan?"
"Aku ingin rumah dan mobilku kembali. Begitu juga dengan tanah yang dimilikinya di Jakarta Selatan. Karena itu semua dibeli atas jerih payah kami berdua. Bahkan aku membayarkan 75% dari totalnya. Walaupun aku begitu buta kalau dia mungkin hanya ingin menggerogoti kekayaanku."
"Tenang saja, aku akan mengurus itu semua. Kuusahakan kalau dia akan kerepotan karena semua asetnya menjadi milikmu."
"Daripada itu, aku ingin bertanya kepadamu.."
Kini, Bunga tampak welas kepadaku. Menanyakan sebuah kalimat yang sebenarnya membuatku gamang. "Apakah kamu nggak papa kalau bercerai dengannya?"
* * *