Sejujurnya aku tidak pernah mau untuk datang ke lokasi syuting. Karena aku pada dasarnya adalah seorang perempuan introvert yang malas bertemu dengan banyak orang. Tetapi, kini kehidupan Dinda Kamelia yang usang itu sudah hilang.
Perubahan ini kulakukan demi pembalasan dendamku! Aku tak mau terlihat lemah sebagai janda kembang yang mandul!
Meski aku janda, setidaknya aku harus cantik dan bahagia kan?
Kulangkahkan kakiku penuh dengan kepercayaan diri, aku mendengar beberapa staff bisik-bisik sembari melihatku.
"Bukankah dia adalah Dinda Kamelia?"
"Ah, penulis itu!"
"Katanya dia sudah bercerai dengan suaminya karena lelakinya itu berselingkuh!"
"Kasihan sekali ... Padahal dia cantik dan kaya raya ..."
"Mungkin karena dia kaya justru suaminya itu menikah dengannya?"
Aku mendengus kesal karena mendengar dua staff yang bergosip di pojokan!
Tak tanggung-tanggung, aku dekati saja mereka berdua. Mereka tampak ketakutan seperti anjing yang mengaing.
Senyumanku tersungging, jelas bukan senyuman ramah. Melainkan tatapan yang merendahkan. Tanganku meraih ID Cardnya.
Namanya Felicia, seorang Intern Make Up Artist. Dibandingkan denganku, dia hanyalah newbie yang tak tahu diri.
"Apakah membicarakan permasalahan orang lain membuatmu lebih tinggi?"
"Wah, sepertinya kau tidak tahu jalan main industri ini, ya."
"Di sini ... Kau tidak boleh sembarangan dalam berbicara. Karena sekali kau salah berkata, maka ... tamatlah riwayatmu." bisikku di tengah kepala mereka berdua.
Melangkah mundur ke belakang, menyeringai laksana perempuan yang manis, "Jadi, bukankah kalian harus memilih tumpuan yang tepat?"
Aku tak mengatakan apa pun lagi, membiarkan dua tikus got itu ketakutan.
Sementara semua orang melihat perlakuanku itu dengan merinding. Sudah jelas kuperlihatkan, aku bukanlah perempuan menye-menye yang bisa diinjak-injak seenak jidat mereka.
"Wah, Ibu Dinda makin cantik saja," kata seorang lelaki kepadaku.
Melihat ke arah sumber suara, Jordan menatapiku. Seorang artis papan atas yang lebih muda tujuh tahun dariku. Pesonanya luar biasa, dengan jumlah followers mencapai 100 juta orang.
"Hei, jaga ucapanmu, Jordan. Kau tidak lihat sekitar sini ada banyak wartawan yang mengawasimu?"
Lelaki berambut pirang kekuningan itu terkekeh, lalu mengatakan. "Kalau begitu, ayo ke ruang tungguku, Ibu Dinda. Kita sudah lama tidak bercengkrama."
Bahkan sebelum aku menjawab, dia sudah pergi dulu menuju ke Ruang Tunggu.
Begitu berjalan, ternyata Staff Felicia dan satunya ini mengikuti kami.
Wah, ternyata tikus penggibah ini adalah staff Jordan?
"Jadi, apa yang kau katakan kepada staffku sampai ketakutan begitu?" katanya sesampainya kami berdua berada di dalam ruang tunggu Jordan.
Lelaki ini memang sangat tengil. Film pertamanya sebagai bocah SMA yang tergabung dalam geng motor. Tentunya, film pertamanya itu dituliskan olehku.
Karena tabiatnya yang memang buruk, dia sering kabur dari tempat syuting. Sampai akhirnya aku harus menemukannya. Dia malah sedang menangis bombay, bersembunyi pojokan ruangan.
Well, itu adalah sejarah yang panjang.
Alasan terbesar Jordan dekat kepadaku tentu karena insiden itu.
"Aku hanya mengatakan kepadanya, kalau punya mulut itu dijaga."
"Wah, aku tidak biasa melihat sosok Ibu Dinda yang sangat arogan. Perceraian ini mempengaruhimu, huh?"
"Kau tak pernah sopan padaku. Aku ini lebih tua darimu." tukasku.
"Sejak dulu sampai sekarang, mana mungkin aku bisa bersikap sopan dan menganggapmu lebih tua dariku? Karena kalau berjalan bersampingan, kita pasti dianggap seumuran." pujinya menggodaku.
Tawaku berderai. Astaga, dia pasti mencomot salah satu kalimat di film yang dibintanginya untuk menggombal. Dasar, kebiasaan.
Namun aku tidak pernah tergoda kepadanya. Bahkan ketika dia memintaku untuk mempertimbangkan pernikahanku dengan Mas Gerry tanpa alasan. Aku tetap kukuh pada pendirianku.
Walaupun sekarang terbit sedikit penyesalan, kenapa aku tidak mendengarkan pendapat Jordan lebih dulu?
Di tengah lamunanku itu, lelaki berparas tampan dan berhidung mancung ini bertanya. "Jadi, benar kataku bukan, tidak sepantasnya Ibu Dinda menikah dengan brengsek seperti Mas Gerry. Ibu Dinda lebih berharga daripada itu."
"Ah, tunggu ... Karena Ibu Dinda sudah single sekarang ini, bagaimana kalau kusebut Dinda saja? Itu lebih intim, kan?"
Lelaki itu tersenyum menyeringai, malah rasanya dia menjadi orang yang paling bahagia mendengar berita perceraianku.
* * *