"Ah, tunggu ... Karena Ibu Dinda sudah single sekarang ini, bagaimana kalau kusebut Dinda saja? Itu lebih intim, kan?"
Lelaki itu tersenyum menyeringai, malah rasanya dia menjadi orang yang paling bahagia mendengar berita perceraianku.
Tentu saja aku langsung protes. "Hei, aku ini baru saja bercerai tahu."
"Terus kenapa? Apa yang salah kalau aku mendekat pada seorang perempuan yang baru saja cerai? Kan sama saja. Single. Tak punya pasangan."
Bletak. Aku menjitak kepalanya. Mulut bocah ini ... memang terlalu sering menggoda. Masa iya, Ibu-ibu usia 30 tahun digoda sama dia?
"Kamu beruntung karena menggodaku. Coba kalau merayu tante-tante lainnya! Bisa jadi skandal kamu!!"
Jordan malah yang tertawa. Karena dia artis papan atas, terbiasa menjadi tokoh antagonis di film-film, sehingga tidak perlu takut pada reputasinya yang buruk.
Meski tetap saja, dia harus menghindari skandal pacaran. Mengingat usianya yang masih setara pada brondong jagung, 23 tahun!
"Omong-omong, bagaimana kabarmu, tiga tahun ini kamu nggak ada kabar." kataku.
Memang selama tiga tahun belakangan, aku kehilangan relasi dengan banyak orang. Artis-artis yang biasa kutemui di set, juga produser film lain.
Untungnya, aku sudah menandatangani perjanjian kontrak dengan salah satu perusahaan sinema, sehingga aku tidak perlu khawatir untuk menulis, hanya fokus meluncurkan karya di tempat Cinema MaLove saja.
"Ah, aku nggak mau menjadi orang ketiga di hubungan kalian. Luka dalam hatiku juga perlu sembuh tahu."
"Tapi lihatlah sekarang, kamu malah datang ke sini begitu cerai. Apakah ini salah satu petunjuk Tuhan kalau kamu memang ditakdirkan untukku?" tanyanya membual. Sepertinya dia terlalu banyak memerankan film, jadi otaknya agak gesrek.
"Huh. Percuma rasanya ngomong sama kamu. Sudahlah, aku juga harus bertemu dengan Produser. Dia sering merengek memintaku datang, tapi aku malas ke kantor."
Aku pun hendak keluar dari Ruang Tunggu Jordan, tetapi lelaki itu malah menarik tanganku, membuatku terjerembab dan jatuh ke sofanya.
Kini, aku melihat wajahnya secara dekat.
Tiga tahun lalu, saat aku bertemu dengan dia, Jordan masih berusia dua puluh tahun. Wajahnya masih imut-imut. Dia masih sering memerankan tokoh anak SMA.
Sekarang, tanpa aku sadari, Jordan sudah tumbuh dengan dewasa ... dan sialnya seksi.
Jakunnya pun turun –pertanda dia meneguk ludahnya. Lalu, dia membelai rambutku yang lembut –BIG THANKS TO MBAK SALON!!— sembari berbisik. "Kamu tahu kan, sekarang ini aku bukan anak kecil lagi?"
"Tidak peduli berapapun usiamu, aku akan mengejarmu."
"Karena ... aku tidak akan melepaskanmu lagi, Dinda."
Pipiku langsung memerah. Sedekat ini, dengan menghirup udara yang sama, jantungku pun bergemuruh dengan sangat kencang.
"Jadi, jangan pernah meremehkanku, mengerti?" bisiknya dengan nada berat.
Sekejap mata, aku pun mendorong tubuhnya yang ternyata kekar, huhuhu. Ia terhempas ke belakang, sedangkan aku langsung keluar dari Ruang Tunggu Jordan dengan tubuh yang panas dingin!
'Sialan! Apa-apaan itu tadi! Kenapa dia malah menggodaku begitu, sih!' batinku dengan perasaan yang berkecamuk tidak karuan.
Menepukkan pipiku sendiri. 'Sadarlah, sadarlah! Dia pasti sedang latihan dialog drama apalah entah!! Aku tidak boleh tertipu pada lelaki!!'
Bahkan luka di hatiku karena Mas Gerry belum sepenuhnya mengering, jangankan untuk membuka hati. Untuk memaafkan diri sendiri saja aku masih belum mampu.
Apalagi aku harus berhadapan dengan bocah brondong jagung yang jelas-jelas tidak dewasa? Yang benar saja?
Memangnya aku mau menggali kuburanku sendiri? Kan tidak mungkin!!
* * *