Tampak sekali wajah Bunga yang khawatir pada keadaanku. Bagaimana pun, dia adalah teman kuliahku. Meski tak dekat, dia pasti punya empati yang besar pada diriku.
Apalagi aku juga terkenal punya kehidupan yang nyaman dan enak sepanjang hidup.
"Maksudku, bercerai itu bukan perkara yang mudah. Kalian akan kehilangan kebiasaan kalian berdua. Misalnya, diantar, dijemput, membuat sarapan pagi bersama, atau sebatas tidur ditemani oleh dirinya."
"Kamu sudah siap untuk itu semua?"
Aku menyeringai. Agak tertawa. Siapa sih manusia di muka bumi ini yang mengatakan bercerai itu mudah?
Sepasang kekasih yang sudah berjanji untuk sehidup semati, pernah menjadi orang yang paling menyayangi...
Tiba-tiba semuanya runtuh seketika.
Tetapi, apa yang bisa kupertahankan dari rumah tangga yang jelas rusak ini?
Cepat atau lambat, hubunganku dengan Mas Gerry akan berakhir. Tinggal menunggu dirinya membuka aibnya sendiri. Dan di saat itu, aku pasti menjadi sosok yang lemah.
Aku tidak bisa bertahan di waktu itu.
Dengan keteguhan hati yang penuh lara, aku menjawab. "Mungkin aku belum mampu melakukannya. Tetapi, aku makin tersiksa jika melihatnya bersama dengan Emmely."
"Cintanya kepadaku sebatas cinta pada uangku dan tubuhku. Mungkin dia tak pernah tulus padaku." kataku membendung perih.
Kuulaskan senyuman lagi pada Bunga. "Jadi, untuk apa aku menggenggam erat tangannya, sedangkan dia sudah tidak peduli padaku, sejak dia bermain ranjang dengan perempuan lain?"
Aku pun langsung pergi dari kantor advokat dengan kondisi yang gontai. Bunga mengatakan kalau surat pengajuan perceraian itu akan terbit dua hari lagi. Dan aku harus bersabar berpura-pura baik kepadanya lebih dulu, sebelum dia mengendus usahaku ini.
Maka dari itu, sebelum aku pulang, kuputuskan untuk memeriksakan kandunganku sendiri. Aku sudah antipati pada Mas Gerry.
Risih sekali kalau dia harus menemaniku ke dokter kandungan.
"Bagaimana, Ibu Rindu? Kondisi rahimku baik-baik saja, kan?"
Entah berapa kalinya aku datang ke klinik ini. Mempertanyakan hal yang sama. Kelainan pada rahimku. Namun, Dokter Rindu selalu memberikan jawaban yang sama sembari memperlihatkan hasil USG kandunganku.
"Tidak ada yang salah dengan kandungan Ibu Dinda. Sangat bersih. Tidak ada kista, tidak ada gangguan apa pun juga."
"Terus kenapa aku selama tiga tahun ini tidak pernah punya anak, Dok?"
"Apakah Mas Gerry suami Ibu sudah pernah diperiksakan?"
Aku menggangguk. Mas Gerry sudah berkata kalau dia juga sudah pernah ke dokter kandungan. Dan tak ada yang salah dengan dirinya.
Bahkan, dia juga bisa menghamili perempuan sundal bernama Emmely itu, kan. Tandanya dia tidak mandul.
Kalau begitu, kenapa kami berdua tak kunjung punya anak?
Dokter Rindu pun menjelaskan. "Masalah anak ini memang kuasa Tuhan. Tidak ada yang pernah tahu kapan diberi dan apa jenis kelaminnya. Jadi, tunggu saja berkah itu, Bu."
Menyunggingkan senyuman tipis, kuucapkan terima kasih. Aku meminta hasil USG-ku itu untuk kukirimkan kepada Bunga. Sebagai jaga-jaga kalau gadis itu membutuhkannya.
Walaupun hatiku juga bertanya-tanya. Jangan-jangan ini juga salah satu petunjuk dari Yang Maha Kuasa, kalau Gerry itu lelaki pemain pro player, sehingga aku tak pantas jika bersama dengan dirinya?
Jalan Tuhan memang luar biasa.
Kulangkahkan kakiku untuk pergi dari tempat ini.
Pada malam ini, aku harus pulang ke rumah. Cih. Lagi-lagi, aku harus menghadapi Si Gerry yang jelek itu.
* * *
Kupikir, Mas Gerry belum pulang. Aku bisa beristirahat dan masuk kamar. Tidak tahunya, dia malah sudah nongol saja. Lelaki itu bahkan berkacak pinggang marah saat aku menunjukkan mukaku. "Kamu habis dari mana? Sekarang sudah jam enam malam. Kan Mas sudah bilang kalau kita mau ke dokter kandungan!!"
"Aku sudah pergi sendiri." kataku sembari melemparkan hasil testku. Biar dia puas sekalian kalau aku memang tidak mandul!!
"Kamu sudah ke sana?" tanyanya tidak berfaedah.
Mas Gerry lelaki yang kucinta sepenuh hati pada mulanya itu membuka amplop berasal dari Dokter Rindu. Ia melihat kalau hasil tesnnya selalu sama. Tidak ada yang salah dengan diriku.
Lihatlah, sekarang alisnya ini berkerut seakan dia tidak percaya dengan hasilnya.
"Aku bilang juga apa, Mas. Aku nggak mandul." tegasku dengan nada menukik tinggi.
"Ya, ya, ya. Tapi kan aneh. Kalau kamu nggak mandul, kenapa kita belum menikah? Padahal aku juga nggak mandul?"
Aku mendengus. Sekalian saja aku sindir dirinya yang menyebalkan ini. "Tahu dari mana kalau Mas nggak mandul?"
"—Ya jelas dari hasil dokter."
Kan. Jawaban bodong. Padahal aslinya dia tahu karena sudah berhubungan intim dengan si Emmely itu, kan?
Idih. Aku jadi merinding sendiri.
Kuputuskan untuk meninggalkan Mas Gerry di ruang tamu sendirian. "Aku pusing, Mas. Aku mau istirahat."
"Lho? Kamu nggak buatin makanan dulu?"
"Mas bisa makan apa saja yang ada di kulkas. Atau pesan makanan kan bisa. Aku capek."
Naif sekali kalau aku harus berpura-pura jadi malaikat untuk membuatkannya makanan. Mana aku mau. Aku sudah terlanjur benci, bagaimana lagi?
* * *
Dua hari kemudian, sesuai dengan janjinya, Bunga memberikan sebuah pesan kepadaku. Kalau seluruh gugatan dan juga surat perceraian sudah dibuat olehnya.
Dengan langkah yang penuh dengan keyakinan, aku pun pergi ke kantor Bunga.
* * *